Korupsi
Sejak mobil yang kami tumpangi memasuki kawasan
perumahan elit, budhe -yang duduk di kursi belakang- tidak berhenti
berkomentar.
“Rumah kok gedhenya minta ampun. Pasti ini rumah-rumah para koruptor. Pasti dibangun pake duit hasil korupsi.”
“Masak dia itu istri lurah kok ke pasar cuma pake daster.”
“Dapet tiketnya?” tanyaku. Mas Aji mengangguk. “Maen jam berapa?” tanyaku lagi.
Ada senyuman pahit di bibirnya. Budhe lantas mendesah.
“Iya, ya,” kata budhe pelan yang disusul oleh desahan lagi. “Ah, aku ini bodoh
sekali.”
Aku yang
duduk di kursi belakang lagi-lagi hanya diam, terlalu syok mendengar kata-kata
budhe dan kehilangan semangatku yang lima detik lalu masih berkobar. Aku gagal. Korupsi –
Tamat (9 Desember 2010 – Hari Anti Korupsi)
“Rumah kok gedhenya minta ampun. Pasti ini rumah-rumah para koruptor. Pasti dibangun pake duit hasil korupsi.”
Biasanya aku akan menjawab komentar yang hanya
berdasarkan asumsi. Tapi kali ini tidak ada sepatah katapun yang keluar dari
mulutku, entah karena kecapean setelah perjalanan jauh demi liburan di kota
besar ini atau memang sedang malas bicara.
“Mereka itu buta kali ya? Mereka nggak melihat
rakyatnya pada kelaparan, kena gizi buruk, nggak bisa sekolah, nggak bisa
berobat kalo sakit gara-gara nggak punya duit. Tega-teganya mereka korupsi dan
bangun istananya."
Aku melirik Mas Aji, anak budhe, yang memegang setir
di sebelahku. Dia balas menatapku dan tersenyum. Sebelah tangannya mengacak
rambutku kemudian.
“Ngantuk?” tanyanya. Aku mengangguk. “Tidur aja. Nanti
kalo sudah sampai aku bangunin.”
Aku menurut, menutup mata, mencoba untuk tidur.
“Aku tu gemes sama mereka. Kalo ketemu sama koruptor,
bakalan ta marahi.”
Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir budhe sebelum
aku akhirnya terlelap.
***
“Bangun, dek. Sudah sampai.”
Aku merasakan tangan besar Mas Aji mengguncang bahuku.
Aku membuka mata, meluruskan punggung lalu menatap keluar jendela. Iya, sudah
sampai di rumah budhe. Dengan malas aku turun dari mobil, mengambil ransel di
bagasi mobil, lalu mengikuti budhe melangkah masuk ke dalam rumah.
“Kamu tidur di kamar tamu sini ya?” Budhe membukakan
pintu kamar yang ada di dekat ruang tamu.
Sebuah kamar berukuran 3x4 m2 dan sebuah tempat tidur
yang telah tertata rapi langsung menyambutku.
“Mandi terus istirahat dulu, ya?” Budhe lantas mencium
keningku dan keluar dari kamar.
Tanpa disuruh dua kali aku langsung mandi. Tapi
siraman air segar di kepala ternyata berhasil menghilangkan rasa kantukku.
Rencana bergumul dengan bantal dan guling akhirnya aku tunda.
“Nggak istirahat dulu, Din?” tanya Mas Aji waktu aku
menjatuhkan diri di kasur depan televisi, di sisinya.
Aku menggeleng. “Udah nggak ngantuk,” jawabku.
Mas Aji mengangguk-angguk.
“Eh, Mas Aji nggak ngantor?”
“Nggak. Masak aku tega ninggalin kamu?”
“Halah! Alesan. Emang dasar pengen bolos aja pasti.”
Mas Aji tertawa.
“Masmu itu nggak pernah cuti, Din. Ya baru sekarang
ini dia ngambil cuti. Katanya pengen ngajak kamu jalan-jalan.” Budhe datang
dengan setoples kripik singkong pedas kesukaanku dan Mas Aji.
“Asik. Berarti Dinda dapet pelayanan penuh, nih.”
Mas Aji menarik rambutku. Aku balas menarik lengan
kaosnya.
“Eh, sudah, sudah. Lihat tuh. Gayus akhirnya mengaku
kalo dia pergi ke Bali.” Kata-kata budhe menghentikan candaku dan Mas Aji. Kita
langsung ikut menyimak berita di televisi.
“Pasti Mas Gayus ini terlalu banyak nonton sinetron,”
celetukku.
“Kok bisa?” tanya budhe bingung.
“Iya, Budhe. Habis dia kemakan kebodohannya sinetron
si. Dia kira cuma dengan pake wig sama kacamata, orang-orang nggak ngenalin
dia?”
Mas Aji tertawa dan memukul bahuku. “Dasar.”
Acara televisi kemudian berubah menjadi sinetron.
“Jangan menghina sinetron, yah?” Budhe menepuk pahaku.
“Nah lo, dimarahin sama penggemar sinetron.” Mas Aji
lantas mengambil keripik dari dalam stoples yang tadi sempat direbutnya dari
tangan budhe.
“Iya, Budhe. Ampuunn..” Aku memohon sambil tertawa.
“Eh tapi kasihan loh Mas Gayus itu, dijadikan tumbal.”
Budhe mencibir, “Halah. Tumbal apa?. Dia itu kan juga
ikut makan.”
“Tapi kan yang makannya lebih banyak dari dia kagak
ditangkep walaupun sudah jelas.” Aku berusaha mempertahankan pendapatku.
“Salah dia sendiri dia mau makan.” Budhe memindah
saluran televisi lagi. “Oya, kemarin mama ketemu sama bu Lurah pas belanja di
pasar.”
“He em,” respon Mas Aji sambil mengunyah keripik
singkong.
“Masak dia itu istri lurah kok ke pasar cuma pake daster.”
Aku melirik Mas Aji. Dia mengangguk-angguk dengan
mulut penuh keripik singkong. Dari tampangnya, aku yakin dia sama sekali tidak
peduli dengan apa yang dikatakan budhe.
“Eh iya. Mama jadi inget. Masak pas acara nikahan
mbakmu tahun lalu, dia cuma nyumbang lima puluh ribu.”
“Lha emang kenapa, Budhe? Emang sekarang uang lima
puluh ribuan sudah nggak laku?” tanyaku bingung.
“Ya bukannya gitu. Secara, suami dia itu lurah, PNS
pula. Masak cuma nyumbang lima puluh ribu. Harusnya kan di nyumbang lebih
banyak dari warganya yang lain.”
Aku mendengar Mas Aji menghela napas. Dia menutup
stoples yang sedari tadi dipegangnya.
“Kamu capek, Din?” tanyanya begitu berpaling padaku,
nampak sekali berusaha menghindari melanjutkan pembicaraan dengan budhe.
“Nggak. Kenapa, Mas?”
“Keluar, yuk! Temenin Mas nonton.” Mas Aji berdiri.
“Ganti baju,” katanya sebelum kemudian melangkah ke kamarnya.
Aku memandang budhe, meminta ijin secara non verbal
untuk meninggalkannya.
“Iya, nggak papa. Temenin masmu sana.”
Aku berdiri, melangkah ke kamar, lalu mengganti
pakaian.
***
Mas Aji menjatuhkan diri, ikut duduk di sofa ruang
tunggu bioskop tempat aku sedari tadi duduk.
“Dapet tiketnya?” tanyaku. Mas Aji mengangguk. “Maen jam berapa?” tanyaku lagi.
“Setengah jam lagi.” Mas Aji memasukkan tiket yang
tadi dia beli ke dalam saku belakang celana jeans-nya.
Beberapa detik berlalu tanpa ada yang bicara. Aku
mendengar Mas Aji beberapa kali menghela napas.
“Kok tiba-tiba jadi suntuk gitu, Mas?” tanyaku setelah
mulai bosan mendengar helaan napasnya yang mengandung kekesalan.
“Lagi sebel aja sama mama.”
“Emang kenapa?”
“Mama itu dimana-mana nyeritain betapa dia membenci
koruptor, korupsi, dan tetek bengeknya. Kalo liat berita tentang korupsi pasti
langsung heboh menghujat. Nggak di rumah, nggak di acara temu keluarga, nggak
di acara arisan, pasti seperti itu.”
“Ya bagus lah, Mas. Berarti budhe kan warga negara
yang baik, nggak suka korup,” kataku menanggapi ceritanya.
“Masalahnya, mama itu nggak ngerti apa itu korupsi.”
“Lah kok aneh?”
“Iya. Kek hari ini. Kamu perhatiin nggak? Waktu jemput
kamu dari terminal tadi mama ngejelek-jelekin koruptor, kan?”
Aku menggangguk.
“Habis itu, sorenya mama ngomongin istri pak lurah
yang cuma nyumbang lima puluh ribu.”
Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Mas Aji
dengan tatapan ‘lalu?’.
“Ya sekarang coba mikir, deh. Lurah PNS di sini itu
golongan berapa? Gajinya berapa? Cukup nggak gajinya buat mencukupi kebutuhan
istri dan kelima anaknya?” Mas Aji menghela napas lagi. “Di sini itu kehidupan
sosialnya masih setengah-setengah antara desa dan kota. Kalo ada warga yang
punya kerja, meninggal, atau sakit, pasti Pak Lurah dilibatkan dan dimintai
sumbangan. Misal dalam sebulan itu di satu kelurahan ada tiga kali kondangan,
berapa duit yang harus dia keluarkan kalo semua warga menuntut dia untuk
menyumbang lebih dari orang lain? Terus, anak-anaknya mau dikasih makan apa
coba?” Helaan napas Mas Aji terdengar lagi. “Kalo pak Lurah itu bukan orang
yang kuat, apa nggak lama-lama dia bakalan korupsi?”
Betul juga kata Mas Aji. Kalo semua warga berpikiran
seperti budhe, menuntut Pak Lurah untuk selalu memberikan sumbangan lebih
banyak dari warga yang lain, dan imannya tidak kuat, lama-lama dia akan korupsi
juga.
“Eh, filmnya udah mau mulai. Masuk, yuk.” Mas Aji
berdiri, mengulurkan tangannya untuk mengajakku berdiri dan melangkah ke dalam
bioskop.
***
Aku tidak bisa tidur. Kepalaku masih dipenuhi
kata-kata yang diucapkan Mas Aji di ruang tunggu bioskop tadi. Sebelumnya aku
tidak pernah berpikir sampai ke sana. Selama ini aku pikir korupsi itu cuma
kesalahan pribadi si Koruptor, murni kesalahan dia. Tapi setelah obrolan dengan
Mas Aji tadi, aku jadi berpikir kalo sebenarnya masyarakat ikut andil dalam
penciptaan koruptor.
“Belum tidur, Cah Ayu?”
Aku menoleh. Budhe berdiri di belakangku sambil
merapikan ikatan rambutnya.
“Belum, Budhe. Nggak bisa tidur.”
Budhe duduk di sisiku, ikut menonton televisi
bersamaku.
“Tadi kemana aja?”
“Cuma nonton sama makan malam.” Aku meletakkan kepala
di pangkuan budhe. Dulu waktu masih kecil, aku sering melakukan ini,
bermanja-manja dengan budhe.
“Nggak dibeliin apa-apa sama masmu?”
Aku menggeleng.
“Ya nggak papa ya, Nduk. Masmu itu duitnya juga
nggak banyak. Lha wong dia itu aneh. Di kantor itu dia selalu nolak kalo
dikasih amplop. Padahal kalo habis ngaudit kantor-kantor, dia pasti dikasih
amplop, isinya bisa sampe puluhan juta. Tapi dia tolak.”
Aku hanya tersenyum pahit mendengar cerita budhe.
Benar kata Mas Aji, budhe tidak tahu apa itu korupsi.
“Budhe tau darimana tentang itu?”
“Dari teman kerjanya yang sering main ke sini. Hampir
semua ceritanya sama, masmu itu selalu nolak setiap kali dikasih amplop.” Budhe
membelai kepalaku. “Coba dia mau nerima, pasti dia bisa bangun rumah yang lebih
gedhe dari ini, bisa beli mobil bagus, kayak temennya itu. Masak dulu masuknya
bareng, temennya masmu itu sudah bisa beli macem-macem, tapi masmu nggak.”
Kedua mataku yang sebenarnya sudah mulai terpejam
karena terbuai belaian budhe langsung terbuka lagi. Aku memandang wajah budhe.
“Kenapa?” tanya budhe, bingung karena aku
memandangnya.
“Tapi budhe, amplop-amplop itu kan uang sogokan. Kalo
Mas Aji nerima semua amplop itu, terus apa bedanya Mas Aji sama
koruptor-koruptor yang budhe benci?”
Budhe menatapku. Belaian tangannya di kepalaku
langsung berhenti. Aku juga bisa merasakan napasnya seolah berhenti.
“Budhe?” panggilku.
Aku ikut tersenyum. Lalu seperti mendapat angin segar
dengan respon budhe tadi, aku mulai bercerita pada budhe tentang obrolanku
dengan Mas Aji di bioskop sore tadi. Budhe sesekali mengangguk dan tersenyum
pahit.
“Ternyata…. Selama ini…” Budhe menggantung ucapannya,
nampak menyesal dengan apa yang selama ini sudah dilakukan dan dikatakan.
Belaian budhe kembali aku rasakan, membuatku lama-lama
mengantuk dan akhirnya membuatku tertidur. Tidurku nyenyak sekali. Hatiku
terasa ringan sekali karena telah berhasil membuka mata budhe.
***
Sejak bangun tadi pagi perasaanku begitu ringan dan
penuh dengan semangat untuk membuka mata orang lain, hasil dari keberhasilanku
atas budhe.
“Panjang banget sih. Udah. Ambil kanan aja, Ji,”
perintah budhe waktu jumlah mobil yang berhenti di lampu merah di depan mobil
kami nampak melebihi tujuh gerbong kereta api.
“Nggak ah, Ma. Kalo ambil kanan kan ngelanggar marka,” jawab Mas Aji.
Aku yang duduk di kursi belakang hanya diam.
“Kenapa? Kamu takut polisi? Udah. Kalo nanti ditangkep
polisi, tinggal bayar aja. Selesai perkara!”
Komentar