A Walk In Your Shoes
Ada satu kegiatan yang sama yang mengisi kartu kinerja
harian saya dalam beberapa minggu ini; Membimbing penyusunan laporan Tugas
Akhir mahasiswa. Ya, Ujian Akhir Program (UAP) mahasiswa tingkat akhir sudah
dimulai sejak satu bulan yang lalu. Jadi beberapa minggu ini saya merasa
menjadi guru Bahasa Indonesia lagi karena kembali belajar tentang format
penulisan, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan), dan penyusunan kalimat.
Setiap kali membimbing penyusunan laporan seperti ini, saya
selalu teringat masa-masa di mana saya sedang menyusun skripsi empat tahun yang
lalu. Saya pernah mengalami semua itu dulu. Bagaimana pusingnya mengumpulkan
bahan, memadukan semua bahan dari buku-buku keperawatan yang sebegitu tebal,
dan yang paling sering membuat malas adalah menunggu dosen. Pembimbing Pertama
saya waktu itu sangat teliti dan menguasai materi skripsi saya. Setiap kali
saya konsultasi, saya tidak pernah sekalipun pulang dengan lembar konsulan yang
bersih tanpa coretan. Pasti ada saja yang dicoret. Padahal sebelum berangkat
konsultasi, saya merasa apa yang saya susun sudah cukup bagus. Tapi selalu saja
saya pulang dengan lembaran penuh coretan. Saya bahkan menghabiskan satu bulan
hanya untuk menyusun latar belakang. Waktu itu saya sempat tidak habis pikir
dengan ketelitian super beliau. Saya pikir, beliau ini kan nantinya juga akan
menjadi penguji. Bukannya akan sia-sia ketika beliau begitu super teliti
seperti itu tapi kemudian beliau sendiri yang akan mencercanya di meja ujian
dan setelah ujian juga masih akan ada waktu untuk perbaikan. Waktu itu saya
bahkan sampai sempat berpikir jangan-jangan ibu itu memang sengaja memperlama
saya.
Ternyata saya salah. Sewaktu akhirnya beliau membubuhkan
tiga huruf ‘ACC’ di lembar konsultasi saya dan menandatangani lembar
persetujuan, beliau tdak mencerca saya. Selama proses ujian berlangsung, beliau
justru banyak membantu saya. Yah, sebagai penguji, tetap saja ada pertanyaan
dari beliau yang menuntut pertanggungjawaban saya atas apa yang telah saya
susun dan sajikan. Tapi ketika saya tidak bisa menjawab, beliau ada di sana
untuk membantu saya.
Saat ini saya telah merasakan apa yang selama ini saya pikir
tidak dirasakan oleh pembimbing saya waktu itu; khawatir. Ternyata, walaupun
nantinya akan menguji juga, saya khawatir anak-anak bimbingan saya nantinya
ketika naik ke meja ujian, akan dihabisi oleh pengujinya. Ternyata saya
khawatir anak-anak bimbingan saya tidak memahami apa yang mereka tuliskan pada
tugas akhir mereka. Ternyata saya khawatir jika saya tidak teliti mengoreksi
tugas akhir mereka lalu ada kesalahan yang mereka anggap benar karena tidak
saya koreksi, kesalahan itu akan mereka bawa terus sampai nanti. Jadi, saya
berusaha sebaik mungkin untuk benar-benar mengoreksi dengan seteliti mungkin.
Biarlah agak lebih lama dari pembimbing lain, asal mahasiswa bimbingan saya
benar-benar memahami apa yang dia tuliskan di dalam karya tulisnya. Saya tidak
mau mereka asal-asalan lulus, tidak mau mereka asal-asalan menulis di karya
tulis mereka hanya karena nantinya ada waktu untuk revisi. Saya ingin mendidik
mereka untuk memahami setiap kata dan tindakan yang mereka lakukan. Saya ingin
mereka menyiapkan diri sebaik-baiknya. Berharap yang terbaik tetapi selalu siap
dengan apapun yang terburuk.
Kadang memang seperti itu. Manusia terlalu cepat memberikan
penilaian tanpa pernah bertanya alasan apa yang melatarbelakangi tindakan
seseorang. Termasuk saya. :D
Oiya, saya juga jadi ingat sewaktu saya awal-awal mengajar
dulu dan mengobrol dengan teman seangkatan saya di tempat kerja. Waktu itu saya
membahas tentang betapa banyak orang yang sudah kehilangan kemampuannya untuk
tersenyum. Padahal kan tersenyum itu adalah ibadah.
“Kamu sih belum ngerasain. Nanti klo udah kerja lama, kamu
juga bakalan kayak gitu. Bakalan lupa tersenyum saking banyaknya kerjaan sama
masalah,” cibir teman saya.
Saya hanya tertawa mendengar cibirannya. Bisa
jadi ketika nanti saya sudah lama bekerja, masalah saya sudah menumpuk banyak,
saya akan kehilangan kemampuan saya untuk tersenyum. Ah, tapi saya tidak mau.
Saya mau selalu bisa tersenyum. Toh bukan cuaca bagus yang membuat kita
tersenyum, tapi justru ketika kita tersenyum, cuaca apapun akan menjadi bagus
buat kita. Lagipula, manusia itu kan unik. Kita tidak bisa memukul rata bahwa
setiap manusia akan memiliki reaksi yang sama pada setiap aksi yang sama. Iya,
kan?
*Gambar diambil dari ohjoy.blogs.com
Komentar