Bintang di Atas Kota
“Kamu siapa?”
Seorang cewek dengan
wajah yang sebenarnya cantik tapi disembunyikan dalam aura masam tiba-tiba
sudah berdiri di sisiku. Kedua matanya menatapku dari ujung kepala sampai ujung
kaki.
“Aku siswa baru disini,”
jawabku. “Kata temen-temen kursi ini kosong. Jadi aku duduk di sini,” kataku
lagi sambil tersenyum.
“Oh.” Hanya kata itu
yang keluar dari mulutnya sebelum dia kemudian duduk di kursi kosong sebelahku,
berbagi meja denganku.
Senyuman terbaik yang sudah aku latih semalaman langsung hilang
waktu menerima respon yang luar biasa tidak terduga dari teman sebangkuku yang
baru itu.
“Namaku
Wulan,” kataku sambil mengulurkan tangan dan masih
berusaha tersenyum
ramah.
“Oh.” Cewek berambut
panjang itu bahkan
tidak menatapku. Dia mengeluarkan beberapa buku tulis lalu berdiri, melangkah ke sekeliling
kelas membagikan buku ke beberapa orang penghuni kelas lalu kembali duduk di
sisiku. Masih tanpa menatapku, seolah aku tidak ada.
Bel tanda pelajaran dimulai akhirnya sedikit menghindarkan aku membentak-bentak cewek itu. Aku paling tidak suka dengan orang yang tidak menghargai orang lain. Kalo saja bel tidak berbunyi dan guru tidak masuk kelas, aku pasti sudah memarahi cewek itu.
“Selamat bertemu lagi dengan saya, anak-anak.” Pak guru
berwajah ramah itu membuka
hari ini dengan pelajaran Bahasa Indonesia.
Selama pelajaran pertama
dan selanjutnya, aku menjadi tak terlihat. Dan semua itu berkat Arundati. Ya, namanya Arundati. Tanpa
bertanyapun aku bisa tahu karena semua guru menyukainya dan selalu menyebut
namanya. Duduk di sebelahnya serasa Ron Weasly di sisi Hermione Granger deh!
Tapi kali ini Ron-nya pake rok. Tangannya tidak pernah absen menunjuk ke atas
setiap kali ada guru yang melemparkan pertanyaan. Bedanya dengan Hermione, aku
tidak melihat ada Harry atau Ron di sekitarnya. Dia sendirian, tidak punya
teman.
“Mana buku kamu?” tanya Arundati begitu guru menyudahi pelajaran
hari ini.
“Buku apa?” tanyaku bingung.
“Ya buku tugas Fisika barusan lah!”
“Buat?” Aku masih bingung.
“Ya buat ngerjain PR kamu lah! Kamu kan
seharian ini baek-baekin aku biar aku ngerjain PR kamu kayak anak-anak yang
lain, kan ?”
PLAK!! Aku tidak pernah menyangka kalo tamparan yang secara
refleks aku layangkan ke pipi Arundati akan menghasilkan suara sekeras itu.
Tapi aku rasa itu sepadan dengan apa yang telah dia katakan. Aku lantas
berjalan cepat keluar kelas, meninggalkan Arundati yang masih mengelus-elus
bekas tamparanku.
***
Aku mendengus kesal mendengar panggilan mama yang entah ke berapa
di depan pintu kamarku.
“Dek, ada temenmu ini loh. Ditemuin dong.”
“Nggak mau, Mah. Dia juga tau kok kalo aku nggak mau nemuin dia.”
“Dek?”
Baiklah. Aku menyerah. Mama sudah mengeluarkan nada
penghipnotisnya.
“Nah, gitu, dong.” Mama tersenyum waktu melihatku keluar kamar.
Aku menyeret langkah ke teras. Arundati duduk di sana . Dia langsung berdiri sewaktu melihatku
keluar.
“Ada
apa?” tanyaku ketus.
“Maaf.” Arundati diam sesaat. “Soal waktu itu.”
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku karena masih ada rasa
kesal yang menyesaki dada. Aku hanya menghela napas.
“Tuhan saja Maha Pemaaf,” katanya merayuku.
“Masalahnya aku itu cuma manusia, bukan Tuhan. Jangan suka menjadikan Tuhan sebagai
persamaan. Tuhan itu Maha Sempurna!” semprotku.
Arundati diam menatapku. Aku juga diam menatapnya. Lama kami tidak
mengeluarkan kata-kata, hanya diam dan saling menatap. Sampai pada akhirnya,
kami tertawa.
“Tampang kamu lucu banget,” kataku sambil menunjuknya.
“Kamu juga.” Arundati ikut menunjuk wajahku sambil masih tertawa.
***
Ini bukan pertama kalinya sejak aku duduk sebangku dengan
Arundati. Tapi kali ini agak berbeda. Kalo biasanya mereka hanya mengisi tas
sekolah Arundati dengan tumbukan kapur tulis, sekarang mereka menambahkan air.
“Ya ampun, buku kamu basah semua, Run,” kataku kaget begitu Arundati
mengeluarkan buku-bukunya ke atas meja.
“Aku labrakin ya?” tanyaku meminta ijin.
“Nggak usah,” kata Arundati, sama seperti biasanya, sambil
berusaha membersihkan buku-bukunya.
“Ini udah keterlaluan, Run. Kamu nggak perlu takut sama mereka.”
“Aku bilang nggak usah ya nggak usah!” Nada suara Arundati naik.
Aku mendengus kesal, membuka kembali tangan yang sebelumnya
terkepal lalu membantu Arundati meminimalkan kandungan air di buku-bukunya.
***
“Tapi kan mereka
kesepian, Lan. Apa gunanya menonjol kalo sendirian, kalo cuma dimanfaatin sama
orang lain.”
Kata-kata Arundati
barusan memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Aku melihat kedua mata Arundati
menerawang ke langit ke arah bintang-bintang. Tapi tidak ada air mata di sana,
yang ada justru adalah sorot amarah.
“Tapi kan selalu ada
bulan, Run,” bisikku. “Ada bulan yang menemani dia bersinar.”
***
“Minggu depan ada yang ulang tahun, nih!”
godaku sambil memasukkan alat-alat tulis ke dalam tas.
Arundati hanya
menanggapi godaanku dengan deheman pendek. Dia terlalu asik dengan tugas yang
dia kerjakan.
“Pokoknya harus kita
rayain!” tuntutku.
“Iya iya. Nanti kita
rayain di bukit bintang lagi,” jawabnya masih sambil sibuk dengan soal-soal di
buku tugasnya.
Entah karena kesal tidak
terlalu diperhatikan atau sekedar penasaran, aku merebut buku tulis yang ada di
hadapan Arundati. Tapi, buku itu lalu aku lemparkan depan kelas begitu aku tahu
bahwa itu bukan buku dia.
“Lan!” seru Arundati
kaget sambil berdiri. Dia bersiap melangkah ke depan kelas mengambil buku itu,
tapi aku buru-buru menarik tangannya.
“Buat apa sih kamu
ngerjain PR orang? Toh sebaik apapun kamu, seberapa banyak apapun PR mereka yang
kamu kerjakan, mereka nggak bakalan menganggap kamu temen. Mereka itu cuma
manfaatin kamu, Run!” kataku agak keras, membuat beberapa penghuni kelas yang
belum pulang langsung menatap ke arahku.
Arundati menatapku.
Tangannya yang aku genggam, dia kibaskan dengan keras.
“Jangan campuri
urusanku!” Dia melangkah ke depan kelas, mengambil buku tulis yang aku buang
tadi lalu kembali duduk dan mengerjakan PR di buku itu.
“Run!” seruku kesal.
Aku kembali berusaha
merebut buku itu. Tapi Arundati berusaha mempertahankannya. Dan setelah
tarik-menarik beberapa saat, buku itu akhirnya sobek, terbelah menjadi dua
bagian yang tidak beraturan.
“Wulan!” bentak
Arundati. Dengan cepat dia merebut bagian buku yang ada di dalam genggaman
tanganku, membereskan alat-alat tulisnya lalu berjalan cepat meninggalkanku
keluar kelas.
“Run, tunggu!”
panggilku.
Aku berusaha mengejar
langkah Arundati tapi dia terus melangkah dan bahkan akhirnya berlari menuruni
tangga, berusaha agar tidak terkejar. Aku akhirnya menyerah. Lebih baik menunggu
agar emosinya agak reda. Atau mungkin lebih baik aku menunggu Arundati di
rumahnya. Ya. Aku akhirnya menjalankan sepeda motorku ke rumah Arundati dan
menunggunya di depan pagar karena seperti biasa rumah itu masih kosong. Agak lama
aku menunggu akhirnya Arundati datang juga. Langkahnya nampak gontai ketika
turun dari bus kota. Sorot amarah yang memenuhi matanya waktu di sekolah tadi
sudah hilang dan berganti dengan tetesan air mata.
“Run? Kamu kenapa?”
tanyaku khawatir begitu dia sampai di hadapanku dan menumpahkan tangis karena
dia tidak pernah menangis sebelumnya. Jadi ini pasti sudah sangat keterlaluan.
Buru-buru aku
memeluknya. Dan aku baru tahu kenapa dia menangis sewaktu kedua tanganku ada di
punggungnya. Pakaian Arundati kotor sekali di bagian punggung dan yang paling
parah adalah rambut panjangnya yang indah, walaupun masih bisa diikat, sekarang
jadi pendek. Dari potongannya yang tidak teratur, aku bisa tahu kalo rambut itu
dipotong dengan paksa. Padahal Arundati sangat menyayangi rambut itu.
“Pasti cewek-cewek itu
yang ngelakuin ini semua. Bilang sama aku, mereka ada dimana sekarang?” kataku
sambil menegakkan tubuh Arundati, menatap ke kedua matanya.
"Jangan, Lan. Udah.
Biarin aja,” kata Arundati di sela isak tangisnya.
Pandanganku kabur oleh
air mata. Berkali-kalipun aku berusaha menghapus air mata yang menetes, pandanganku
tetap saja kabur dan air mata ini tidak mau berhenti menetes.
“Doakan saja yang
terbaik, Dek.” Mama berbisik di telingaku sambil mengulurkan tangan di bahuku,
lalu menarikku jatuh ke pelukannya.
“Kalo saja adik datang
lebih cepat, pasti nggak akan kayak gini, Ma,” isakku di dalam pelukan mama.
“Sudah, Sayang. Memang
jalannya harus begini.”
“Tapi ini nggak adil,
Ma. Arun itu nggak pernah jahat sama orang. Tapi kenapa mereka tega melakukan
semua ini?” Aku terisak-isak. “Arun itu nggak pernah ada salah sama mereka.
Kenapa mereka selalu jahat sama Arun? Kenapa mereka bahkan tega...” Aku tidak
lagi mampu berkata-kata.
Bayangan ketika dari
halaman sekolah aku melihat cewek-cewek itu menampar wajah Arundati, mendorong
tubuhnya kesana kemari sampai akhirnya tubuh Arun jatuh terjerembab di tangga
sekolah tadi siang langsung membayang di kepalaku seperti film yang diputar dan
diulang terus-menerus. Harusnya tadi aku berlari lebih cepat mendatanginya.
Harusnya tadi aku tidak meninggalkan dia sendirian. Harusnya...
Kedua orang tua Arundati
segera berdiri sewaktu pintu ruang resusitasi IGD terbuka dan seorang petugas
kesehatan keluar. Keduanya lantas diajak masuk ke dalam IGD. Tak lama, sebuah
teriakan yang panjang dan menyakitkan terdengar dari dalam IGD. Aku langsung
berdiri dan berlari masuk, mendatangi arah suara itu. Di sana, di atas tempat
tidur tindakan, tubuh Arundati terbujur kaku tidak bernyawa. Dan aku hanya
berdiri terpaku di dekat pintu, tidak mampu melangkahkan kakiku mendekatinya.
***
Kedua mataku menatap hiasan berbentuk bintang yang menyala di
langit-langit kamar. “Harusnya waktu itu kamu biarin aku ngelabrak mereka,
Run,” kataku dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
Arundati hanya tertawa.
“Coba kalo kamu melawan, nggak diam aja waktu mereka ngerjain
kamu. Mereka bakalan berhenti. Kamu harusnya nunjukin kalo kamu itu kuat, jadi
mereka nggak berani macem-macem sama kamu.”
“Dari dulu semua orang selalu menyuruhku sabar. Kata papi sama
mami, kalo aku sabar, lama-lama mereka akan berhenti.”
“Tapi?” tanyaku memancing lanjutan pendapatnya.
Pancinganku tidak berhasil. Arundati hanya menjawabnya dengan
senyuman.
Aku menghela napas. “Padahal kamu janji mau ngerayain ulang taun
bareng,” kataku pelan, nyaris berbisik.
Aku menoleh, menatap
Arundati yang tersenyum
padaku.
“Terimakasih sudah
menemaniku bersinar, Lan,” katanya.
“Selamat ulang tahun,
Run,” bisikku.
Arundati tersenyum
padaku lalu menghilang. Tamat (Ternate,
24 Maret 2011)
Note: Cerpen ini pernah dimuat di majalah Kawanku No. 156/2013
Komentar