Hak
Jari
telunjukku menelusuri daftar menu rumah makan tempat aku dan Mas Tio, pacarku,
makan siang hari ini. Sudah sejak lama aku ingin makan di tempat ini. Kata
teman-teman kantor, masakan di rumah makan ini enak, bersih, dan murah.
“Makan apa,
Mas?” tanyaku sambil masih membaca daftar menu.
“Terserah
kamu aja, Dek.” Mas Tio mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya. Asap
rokok langsung menutupi mukanya.
Aku
menuliskan beberapa menu dari daftar makanan lalu memanggil pelayan.
“Nggak pake
lama ya, Mas.” Permintaanku dijawab oleh senyuman Mas Pelayan.
“Habis ini
nonton yuk,” ajakku.
Mas Tio
membuang abu rokok ke lantai rumah makan, padahal ada asbak yang ditumpuk tak
jauh dari tempat kami duduk. Dasar.
“Ada film apa?” tanya Mas
Tio sebelum kemudian menghisap rokoknya.
Belum
sempat aku menjawab pertanyaan Mas Tio, seorang laki-laki yang baru saja datang
dan duduk di belakang Mas Tio berbalik. Dia menyentuh pundak Mas Tio.
“Maaf, asap
rokoknya mengganggu saya, Mas,” katanya.
Sebenarnya laki-laki
itu berkata dengan amat sangat sopan. Tapi, memangnya dia itu siapa?
“Eh, Mas.
Ini kan
tempat umum. Jadi siapa saja punya hak untuk melakukan apa yang ingin
dilakukan,” kata Mas Tio tanpa mematikan rokoknya.
“Iya. Kalo
Mas merasa terganggu, pindah saja,” kataku, mendukung Mas Tio. Enak aja
ngelarang-ngelarang orang.
Laki-laki
itu menggelengkan kepala sejenak sebelum kemudian mengajak temannya pindah ke
meja kosong lain.
“Enak aja,
kita kan
datang duluan,” omelku.
Tak lama,
makanan datang. Aku dan Mas Tio segera menyerbunya.
“Jadi, mau
nonton apa?” Mas Tio mengulangi pertanyaannya sambil mematahkan paha ayam bakar
madu dan kemudian menggigitnya.
“Itu loh,
Mas. Film horor baru. Judulnya mmm… apa ya? Kuntilanak vs Suster Ngesot.”
“Emang
ada?”
“Ada . Kan aku yang buat. Hehe…” jawabku asal.
“Halah,
dasar kamu itu.” Mas Tio tertawa.
Benar kata
teman-teman. Masakan di warung makan ini rasanya enak sekali. Harganya juga
murah. Besok ke sini lagi saja, ah. Masih banyak menu yang perlu dicoba.
“Jadi
nonton?” tanya Mas Tio sewaktu melangkah denganku keluar dari rumah makan.
“Jadi,
dong. Kan
kita sudah hampir sebulan nggak nonton, Mas.”
Seperti
biasa, Mas Tio memakaikan helm di kepalaku sebelum kemudian memakai helmnya
sendiri.
“Berangkaaaat,”
ucap Mas Tio. Dia mengenakan kacamata hitam yang biasa dia pakai saat berkendara.
“Pegangan,” katanya lagi.
Aku
menjawab perintahnya dengan pelaksanaan. Kedua lenganku aku lingkarkan di
pinggangnya.
Hari ini
panas sekali. Mungkin kata para ilmuwan tentang global warming ada benarnya juga. Aku bahkan bisa merasakan ada
keringat yang menetes menuruni punggungku.
Mas Tio membelokkan
motor di sebuah tempat pengisian bahan bakar.
“Puanjang…”
Keluhnya sewaktu melihat antrian motor di tempat itu. “Kamu tunggu di dekat
pintu keluar aja, Dik.”
Aku
mengangguk, turun dari boncengannya dan melangkah dengan cepat ke bawah pohon
mangga yang ada di dekat pintu keluar. Dari tempat ini aku bisa melihat betapa
lihainya Mas Tio merebut antrian. Dia memang hebat. Aku jadi tersenyum sendiri.
Kalo urusan antri-mengantri, Mas Tio memang paling bisa.
“Udah,
Mas?” tanyaku waktu Mas Tio menghentikan motor di hadapanku, hampir tak percaya
dengan betapa cepatnya dia mengisi bensin mengingat panjangnya antrian tadi.
“Udah.”
“Nggak
dimarah-marahin orang?” tanyaku sambil naik ke bocengannya.
“Ada sih perempuan yang
keknya kesel banget waktu aku serobot antriannya. Tapi dia diam aja, nggak
protes, cuma guman-gumam nggak jelas. Ya udah. Berarti kan dia terima.” Mas Tio tertawa. Dia
menarik tanganku, memintaku mempererat lingkar di pingganggnya. “Ada juga sih ibu-ibu sama
bapak-bapak yang protes. Tapi aku pura-pura nggak denger aja.”
Aku
tersenyum mendengar ceritanya.
Motor yang
kami tumpangi berbelok, masuk ke dalam tempat parkir bawah tanah sebuah mall.
Kami segera naik ke lantai paling atas tempat bioskop berada setelah
memarkirkan motor.
“Kuntilanak
vs Suster Ngesot?” Mas Tio menggodaku. Aku tertawa dan memukul bahunya pelan.
“Nonton apa?”
“Prince of Persia aja ya, Mas. Kata
temen-temen kantor bagus.”
“Boleh.”
Mas Tio mengiyakan. “Kamu beli camilan, ya? Biar aku yang antri tiketnya.”
Aku
melangkah ke tempat penjualan makanan. Beli apa ya enaknya? Habis makan siang,
sih. Masih kenyang. Aku melihat menu yang terpampang di atas mesin popcorn. Baru saja aku akan membuka
mulut untuk memesan minuman, seorang cewek, mungkin anak SMA, dengan amat
sangat tidak sopan tiba-tiba datang, berdiri di hadapanku, dan langsung memesan.
“Mas, popcorn yang reguler satu ya?” katanya
pada pramuniaga.
Kedua
lenganku langsung aku lipat di dada. Aku mendengus kesal di belakangnya,
berharap dia segera pergi.
“Orange juice-nya dua sama kacang oven
yang pedas satu, Mas.”
“Yaelah,
mau nonton apa mau piknik?” tanyaku pelan dengan nada kesal.
Dia menoleh, melihatku dari ujung kepala sampai ujung kaki. “Eh, suka-suka gue
dong, Tante. Emang situ yang bayarin? Cerewet amat!” katanya sambil berbalik
memunggungiku.
Eh, reseh
banget sih anak ini. Udah nyerobot antrian, nyolot, manggil aku ‘tante’ lagi.
Emang aku udah tante-tante gitu.
“Nggak
pernah diajarin antri, Lo?” tanyaku.
“Oh,
ternyata cuma gara-gara itu? Ngomong dong, Tante. Saya mana tau kalo tante
nggak bilang. Habis tadi saya liatin, tante cuma diam aja nggak mesen-mesen.
Yaudah saya duluan.” Dia mengambil pesanannya setelah menyerahkan tiga lembar
uang sepuluh ribuan. “Mari, Tante,” katanya ‘sok’ sopan sambil melangkah pergi.
Iiiihhhh….
nyebelin banget!!!
“Udah?”
Aku
menoleh. Mas Tio sudah berdiri di sebelahku dengan tiket di salah satu
tangannya.
“Belum,”
jawabku dengan kesal.
“Ditanyain
baek-baek kok jawabannya kek gitu?”
“Habis,
kesel. Tadi ada cewek nyerobot, dengan seenak jidatnya dateng-dateng langsung
mesen. Terus waktu Aku tegur, dia malah nyolot. Udah gitu, dia manggil aku
‘tante’, lagi. Emangnya aku setua itu?”
Mas Tio
tersenyum. Dia mengacak rambutku. “Sudah, sudah,” katanya. “Kamu mau minum
apa?”
“Terserah,
deh.”
“Rootbeer dua.” Mas Tio memesan minuman.
Dia menoleh padaku. “Nggak usah beli camilan, ya? Masih kenyang.”
“Heeh,”
jawabku pendek.
Sebelah
tangan mas Tio merangkul pinggangku, mengajakku masuk ke dalam bioskop. Tapi,
gara-gara cewek nyebelin tadi, aku sama sekali nggak bisa konsen waktu
nonton. Ya ampun… kenapa bisa ada anak kayak gitu sih? Nyebelin banget.
"Kamu masih
kepikiran cewek tadi, ya?” tanya Mas Tio waktu kita keluar dari bioskop. Aku
tidak menjawab. “Udah. Lupain aja. Nggak usah dipikirin. Bikin otak kamu lembur
aja.” Mas Tio mengacak rambutku lagi.
Kami
langsung melangkah ke parkir motor. Rasa kesalku bertambah waktu menemukan ban
motor mas Tio kempes. Ih, sebel banget. Hari ini bener-bener nyebelin. Kami
terpaksa menuntun motor menaiki tanjakan di dekat pintu keluar lalu berdiri
untuk beberapa lama di antara asap motor-motor yang mengantri untuk keluar dari
area parkir.
“Kamu jalan
keluar duluan aja, Dek. Banyak asap,” kata Mas Tio.
Aku
menurut, melangkah medahului Mas Tio dengan kesal keluar dari area parkir yang
telah berhasil membuatku menderita penyakit paru. Dengan cepat aku melangkah ke
arah tukang tambal ban terdekat. Untung tukang tambal ban ini memilih tempat
beroperasi di bawah sebuah pohon peneduh. Semoga oksigen yang dihasilkan pohon
besar ini bisa membersihkan paruku dan menghilangkan rasa kesalku.
“Nunggu
jemputan, Mbak?” tanya bapak-bapak tukang tambal ban.
“Nggak,
Pak. Nunggu Mas saya. Ban motornya kempes, mau nambalin, tapi masih ngantri mau
keluar,” jawabku.
“Oh.
Silakan duduk dulu. Kalo berdiri terus, nanti capek,” kata bapak-bapak tukang
tambal ban sambil mempersilakan aku duduk di kursi kayu panjangnya.
Baru saja
duduk, seorang laki-laki datang dengan banyak kantong belanjaan. Laki-laki itu
membuka pintu mobil SUV yang sedari tadi terparkir di dekatku duduk. Dia naik
ke atas mobilnya lalu menghidupkan mesin. Asap sisa pembakaran kendaraan itu
langsung menyembul keluar dari knalpot dan mengenai tubuhku.
“Sebentar
lagi juga pergi. Sabar, sabar,” gumamku, mencoba menenangkan diri sendiri.
Tapi,
ternyata mobil itu tidak segera pergi. Dengan kesal, aku berdiri, mendatangi
mobil itu dan mengetuk kaca jendela tempat laki-laki tadi duduk. Jendela itu
diturunkan. Sebuah wajah yang super duper menyebalkan muncul di hadapanku.
“Ada apa?” tanyanya.
“Tolong
matikan mesinnya, Mas. Ada
orang di belakang mobil.”
“Kalo gue
nggak mau?”
“Mas,
hargain orang lain, dong!”
"Eh, Mbak.
Ini kan
tempat umum. Jadi siapa saja punya hak untuk melakukan apa yang ingin
dilakukan.”
Aku
menghela napas. “Berhak sih berhak, Mas. Tapi Mas juga harus sadar, karena ini
tempat umum, orang lain juga punya hak untuk bernapas dengan tenang dan tidak
menghirup asap knalpot anda! Di tempat umum memang semua orang punya hak untuk
melakukan apa saja yang dia suka, tapi tidak dengan mengorbankan hak orang
lain!” teriakku di depan muka laki-laki itu.
Laki-laki
itu diam menatapku, membuatku langsung diam. Astagfirullah! Apa yang baru saja
aku katakan? Aku membekap mulutku sendiri. Aku menasehati diriku sendiri. Tamat (Solo, 28 Juli 2010)
Gambar didapat dari www.123rf.com
Komentar