Ketika Bunga Tak Lagi Mekar
Edo melangkahkan kakinya pelan memasuki pemakaman yang siang itu sepi. Cowok berambut cepak itu lantas berjongkok di dekat sebuah makam yang nampaknya sudah lama tidak diurus, meletakkan beberapa tangkai mawar merah yang dia bawa lalu sebelah tangannya dengan cepat membersihkan kotoran yang menutupi nama di nisan makam itu.
Ya. Nama dan tahun itu yang tertulis di sana.
Lama
kemudian setelah Edo merasa sudah tidak ada lagi yang bisa dia ceritakan, cowok
itu berdiri. “Aku masih sayang sama kamu,” bisiknya pelan sebelum kemudian dia
melangkah meninggalkan tempat itu.
***
Jam
dua belas malam dan komputer di kamar Edo masih menyala. Dia tidak bisa tidur
dan komputer adalah satu-satunya pelarian yang dia pikir paling bagus. Entah menulis
sembarang atau sekedar maen game. Tapi belum sempat dia menyentuh keyboard komputernya lagi, buku
hariannya yang ada di dekat komputer tiba-tiba jatuh dan terbuka di halaman
pertama. Edo akhirnya memutuskan untuk membuka-buka buku itu, mencoba mengingat
apa yang pernah dilaluinya.
1 Januari
Aku melihat cewek itu duduk sendirian di halte bus. Dia
nampak cantik walaupun lingkaran hitam di kedua matanya dapat dilihat jelas.
Dia nampak cantik walaupun wajahnya menampakkan kelelahan yang luar biasa.
2 Januari
Aku melihatnya lagi sore ini. Ah, kenapa nggak dari dulu
aku memutuskan untuk jogging sore. Kalo saja dari dulu aku jogging sore, pasti
aku lebih sering melihatnya.
3 Januari
Akhirnya aku tahu namanya; Ananda Fresa. Cantik sekali.
Sangat sesuai dengan orangnya. Dia bekerja di toko kue nggak jauh dari SMA
tempat aku sekolah. Tadi aku berdiri di sisinya, pura-pura menunggu bus. Dan
keajaiban terjadi. Aku, yang biasanya merasa canggung bersama orang asing,
merasa sangat …… entah apa kata yang tepat. Yang jelas aku merasa sudah lama
mengenalnya.
4 Januari
Tuhan memang baik hati. Ada lowongan kerja paruh waktu di
toko kue tempat Nanda bekerja dan aku diterima bekerja di sana. Yah, Tuhan
memang baik hati.
Tapi aku sempet sakit hati juga waktu Dani, temen kosku,
bilang kalo Nanda nggak secantik apa yang selama ini aku ceritakan. Katanya
Nanda tuh biasa aja, nggak cantik-cantik banget. Malah cenderung ke jelek.
Sialan. Udah gitu dari sore tadi, setiap kali ketemu dia selalu nyanyi lagunya
Bon Jovi yang ‘Bed of Roses’ dan selalu di bagian, “Baby, blind love is true”..
Terus selalu ditambahin komentar, “Cinta emang bener-bener buta!”. Ugh! Sial
kuadrat … eh kubik ….eh pangkat empat aja, deh!
5 Januari
“Edo?” Nanda kelihatan kaget banget waktu liat aku ada di
toko itu. Tapi dari kedua matanya, aku bisa tahu kalo dia merasa senang aku ada
di sana. Mmm, mungkin aku salah, tapi nggak mungkin dong dia nggak suka aku ada
di sana.
6 Januari
Hari ini aku ngajak Nanda pulang bareng. Dia sempat
berpikir sejenak, tapi lantas dia mengangguk.
Ah, motor kesayanganku memang berjasa. Kalo saja hari ini
dia nggak mogok, aku nggak akan tambah dekat dengan Nanda. Aku nggak akan
pernah tahu kalo dia sangat sabar. Dia dengan sabar menungguku berusaha membuat
mesin motorku menyala lagi. Kalo motor kesayanganku nggak mogok hari ini, aku
nggak bakal tahu kalo Nanda tuh sayang banget sama anak kecil. Tadi dia
berhasil membuat seorang anak kecil yang tersesat berhenti menangis. Dia bahkan
membuatnya tertawa.
Ya Tuhan. Di dunia ini memang ada malaikat!!
16 Januari
Sori nggak sempet nulis beberapa hari ini. Aku terlalu
sibuk.
Dua hari yang lalu, saat aku mengantar Nanda pulang (ini
sudah kesekian kalinya aku mengantar Nanda pulang dan dia selalu menolak aku
mengantarnya sampai ke depan rumahnya), aku baru tahu kenapa selama ini dia
selalu memintaku menurunkannya di tepi jalan dan selalu menolak setiap kali aku
bilang mau main ke rumahnya.
“Anak haram!”
“Hei, anak pelacur, udah dapet pelanggan?”
Kata-kata itulah yang aku dengar waktu aku mengantar
Nanda sampai ke rumahnya. Hell ya I was shocked! Aku pengin tahu banget kenapa,
tapi Nanda justru menyuruhku buru-buru pulang.
17 Januari
Tadi Nanda akhirnya menceritakan ada apa dengannya.
Ternyata dia tidak seperti yang selama ini ada di pikiranku. Dia lebih hebat
dari apa yang selama ini ada di dalam pikiranku.
Ibu Nanda meninggal waktu melahirkan dia dan dia nggak
tahu siapa ayahnya. Ibunya diperkosa waktu masih SMA dan hasilnya, dia hamil.
(Kadang-kadang aku malu jadi laki-laki. Kebanyakan laki-laki nggak bisa menahan
hawa nafsunya. Memperkosa wanita, maen wanita, selingkuh! Mentang-mentang
jumlahnya lebih sedikit, jadi mereka pikir bisa memperlakukan wanita seenaknya
lantas membuangnya begitu saja.). Sejak kecil Nanda ikut neneknya yang seorang
guru, tapi waktu Nanda SD, neneknya meninggal.
Oh, ya. Sebenarnya dulu nggak ada orang yang tahu tentang
apa yang terjadi di dalam keluarga Nanda karena mereka baru di tempat itu. Tapi
waktu nenek Nanda meninggal, seseorang, yang mengaku teman dekat neneknya,
menceritakan tentang Nanda yang lahir tanpa ayah pada salah seorang tetangga
Nanda tapi ceritanya nggak lengkap. Dia cuma bilang kalo Nanda tuh lahir tanpa
ayah. (Kok tega-teganya sih orang itu ngaku temen deket? Masak temen buka kartu
temen sendiri!)
Anak haram. Nama itu yang melekat pada Nanda sejak hari
itu, disamping kata-kata anak pelacur, anak wanita penggoda, anak anjing
betina. Nanda nggak bisa apa-apa. Dia masih SD waktu itu. Sebenernya sih ada
keinginan untuk pindah dari tempat itu, tapi dia nggak punya apa-apa. Jadi
dengan terpaksa dia tetap di situ dan berusaha menutup telinga dan pura-pura
nggak denger kata-kata yang menyakitkan itu.
Ah, jujur sekarang ini aku tidak tahu apa arti kata
‘haram’ sebenarnya. Apa benar Nanda anak haram? Padahal kan bayi yang baru saja
lahir itu bersih seperti kertas yang belum pernah ditulisi. Bukankah manusia
itu tidak dikenai dosa sebelum dia dewasa? Jadi benarkah ada yang namanya anak
haram? Haram ......
Kebanyakan orang memang tidak peduli dengan apa yang
sebenarnya menimpa ibu Nanda. Mereka tidak mau tahu kecuali apa yang mereka
lihat dengan kedua mata mereka bahwa ibu Nanda mengandung tanpa menikah. Dan
anak yang lahir di luar pernikahan adalah anak haram.
Kembali ke pendapatku tentang Nanda. Dia hebat! Kalo boleh pinjem istilahnya
Bon Jovi, She lies down in a bed of nails. Tapi, dia bisa menjalani hidupnya dengan tegar. Aku
saja jarang melihatnya menangis. (mungkin karena aku baru sebentar mengenalnya,
ya?). Yang jelas, thousands of thumbs up for her!!! Aku jadi tambah jatuh cinta
sama dia.
18 Januari
Hari ini aku dan Nanda resmi jadian. Dia kaget banget
waktu aku, selesai kerja tadi, nembak dia.
“Edo sadar nggak sama yang Edo lakukan sekarang?” Nanda bertanya
serius waktu aku nembak dia. Aku mengangguk. “Bener? Soalnya hidup di sisi
Nanda tuh susah.”
“Tapi buat aku, lebih susah lagi kalo aku nggak hidup di
sisi kamu.”
Sesaat, Nanda nampak berpikir. Dia lantas tersenyum dan
menganggukkan kepalanya pelan. Tapi, anggukan kepala itu jutaan kali lebih
membahagiakan daripada mendapat hadiah jutaan rupiah.
9 Februari
9 Februari
Sori lagi, aku lama nggak nulis. Seperti yang
sudah-sudah, aku terlalu sibuk.
Sekarang aku lebih banyak menghabiskan waktu dengan Nanda
daripada sebelumnya. Sekarang tiap malam minggu aku ke rumahnya, nggak peduli
sama tatapan mata orang yang mungkin buat orang lain sangat mengganggu. Ah,
peduli setan!
Setiap hari, setiap aku makin mengenalnya, setiap rasa
sayangku padanya bertambah besar.
Ya Tuhan, terimakasih sudah memperkenalkan dia padaku.
14 Februari
14 Februari
Seharusnya ini menjadi hari yang membahagiakan. Tapi
semuanya memang tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Aku berencana mengajak Nanda dinner. Tapi waktu aku
sampai di rumahnya, seorang cowok yang biasa mabuk bersama teman-temannya di
pos kampling depan rumah Nanda, tiba-tiba menghampiriku. “Eh, Mas. Setiap kali
pake bayar berapa?” tanyanya waktu sampai di sisiku.
Tanpa ba-bi-bu, aku langsung melayangkan pukulan ke
wajahnya. Dia memang nggak jatuh, tapi ujung bibirnya berdarah. Lumayan! Kalo
saja dia mabuk, mungkin aku nggak akan ambil pusing dengan ucapannya. Tapi tadi
dia nggak mabuk (Tumben tadi dia nggak mabuk!). Jadi, nggak salah dong kalo aku
memukulnya. Dia kan bertindak nggak sopan.
Dan malam ini nggak berakhir sempurna. Nanda marah padaku
karena aku memukul cowok itu. Padahal ini bukan pertama kalinya cowok itu
menjelek-jelekan dirinya. Ya Tuhan, bagaimana caranya Kau membuat manusia
sesabar ini?
20 Maret
20 Maret
Lagi-lagi sori aku lama nggak nulis.
Aku menghabiskan waktu di rumah Nanda hari ini. Aku
mengacak rambutnya saat dia meletakkan kepalanya dalam pelukanku. Dia tertawa.
Entah karena apa. Tapi aku tidak peduli. Yang jelas, aku suka mendengar
tawanya. Dulu, waktu pertama kali bertemu, aku tidak melihat senyumannya
sesering ini. Karena masyarakat tidak memberikan hak tersenyum atau bahagia
buat seorang ‘anak haram’.
Kami lantas bercanda sampai jarum pendek jam yang ada di
dinding ruang tamu menunjuk ke angka sembilan.
Nanda tiba-tiba meraih tanganku. “Mmm, Do. Nanda sayang
banget sama Edo,” katanya. Waktu dia bilang gitu, aku berbalik, tersenyum dan
bilang padanya kalo aku juga sayang banget sama dia.
Beberapa pasang mata milik orang-orang yang bergerombol
di poskamling depan rumah Nanda menatap tak suka kepadaku. Mereka
berbisik-bisik dengan ekor mata menatap kami. Hal itu memang mengusikku. Tapi
itu dulu. Sekarang tidak lagi. Aku tidak peduli dengan semua yang mereka
lakukan untuk menghilangkan kesenangan hidup kami. Toh, kami tidak pernah melakukan
tindakan yang melanggar norma maupun hukum. Aku melajukan motor pulang tanpa
memperhatikan orang-orang menyebalkan itu.
26 Maret
26 Maret
Anak-anak kos masih pada main gitar di teras waktu aku
pulang dari tempat kerja paruh waktuku. Aku duduk di antara mereka sampai jam
dua belas malam dan aku meninggalkan mereka ke dalam kamar. Belum sempat
melangkah masuk. Aku berhenti di depan pintu karena Dani memanggilku.
Aku berbalik dan ada Nanda berdiri tidak jauh dari teras.
Buru-buru aku melangkah mendatanginya. Dari kedua matanya yang sembab, aku bisa
tahu kalo dia baru aja nangis. Aku langsung membawanya masuk dan menganggukkan
kepalaku waktu dia nanya apa dia boleh nginep di kosku semalam aja.
27 Maret
27 Maret
Aku tidak menemukan Nanda waktu bangun. Tapi aku menemukan
pesannya di selembar kertas yang dia selipkan di buku harianku.
Edo, thanks ya udah mau jadi cowok Nanda yang paling pengertian, selalu
melindungi Nanda dan nggak peduli apa kata orang tentang Nanda. Eh, iya. Thanks juga karena malam ini Nanda boleh nginep
di kos Edo. Tapi, Nanda pikir hubungan kita nggak bakal bisa dilanjutin lagi.
Nanda udah nggak kuat, Do. Walaupun Nanda tahu kalo Edo sayang sama Nanda, tapi
Nanda nggak bisa terus-terusan nyuusahin Edo. Nanda nggak mau Edo berantem sama
orang lagi karena belain Nanda.
Edo, malem ini Nanda dateng ke kos cuma pengin liat
Edo buat yang terakhir kali. Nanda pengin tetep inget sama wajah Edo kalo Edo
lagi tidur.
Nanda tuh cuma anak haram yang nggak berhak hidup.
Yah, walaupun sebenernya Nanda nggak ngerti juga kenapa anak yang lahir di luar
nikah disebut anak haram dan nggak punya hak hidup. Nanda juga nggak ngerti
kenapa masyarakat tuh picik banget, mereka nggak mau tahu alasan kenapa mama
hamil di luar nikah. Mereka nggak peduli kalo mama nggak salah. Yang penting
hamil di luar nikah tuh salah, haram, dosa, dan orang yang mengalaminya adalah
sampah masyarakat sampai keturunannya yang ke berapa-pun. Dan menurut mereka,
sampah masyarakat harus dihapuskan dari muka bumi ini. Dan Nanda termasuk di
dalamnya. Nanda tuh cuma anak haram yang nggak berhak hidup, Do. Jadi Edo nggak
usah menyusahkan diri buat membela Nanda.
Nanda pergi bukan karena nggak sayang sama Edo.
Nanda sayang banget sama Edo. Nanda nggak mau Edo susah. Makanya Nanda pergi. Nanda yakin Edo pasti ngertiin keputusan
Nanda.
30 April
Aku akhirnya menyerah. Sudah sebulan aku berusaha memohon
pada Nanda untuk menemuiku, tapi nggak pernah berhasil. Dia selalu bisa
menghindariku. Sebenarnya aku masih ingin terus mencoba, tapi teman-teman mulai
mengingatkanku tentang ujian akhir sekolah bulan depan. Mereka mulai khawatir
karena aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk menemui Nanda. Aku bahkan
nggak peduli pada pekerjaan sambilanku, toh aku dulu mendaftar di sana karena
ingin selalu bersama-sama Nanda. Jadi, kalo sekarang dia nggak di sana lagi,
buat apa aku ada di sana.
31 Agustus
31 Agustus
Sori, lama banget nggak nulis. Aku terlalu sibuk dengan
ujian akhir, UMPTN, daftar ulang dan sebagainya. Oh, ya. Aku diterima di
pilihan pertamaku, jauh dari kota ini. Tapi, mungkin malah bagus karena aku
sejenak bisa melupakan Nanda. Ah, sedang apa ya malaikat itu sekarang? Apa dia
juga sedang memikirkan aku?
1 September
Untuk pertama kalinya setelah aku menginjak remaja; aku
menangis. Ridho, teman SMA-ku menghubungiku lewat telpon. Nanda kecelakaan. Dia
tertabrak truk waktu berusaha menolong seorang anak kecil. Ridho kebetulan ada
di tempat itu. Dia yang membawa jenasah Nanda ke rumah sakit. Sayang, Nanda
keburu meninggal sebelum sampai di rumah sakit.
2 September
Hari ini jenasah Nanda dimakamkan. Cuma ada sedikit orang
yang mengantar sampai ke makam, termasuk teman-teman dekatku dan beberapa teman
dari tempat kerja kami dulu. Nggak ada tetangga Nanda yang nampak. Yang sempat
aku dengar tadi, seorang tetangga membicarakan tentang Nanda.
“Sukur, deh! Akhirnya dia mati juga. Dasar, ibu sama anak
sama aja. Makanya, Jeng. Sekarang ini kalo nyari calon mantu harus hati-hati.
Harus dilihat bibit, bebet dan bobotnya. Jangan sampe dapet anak haram. Bakalan
susah. Lihat saja perempuan itu, dia sudah menggoda anaknya Bu Marmi dan
memaksa anak Bu Marmi untuk menidurinya. Uh, memalukan!”
Aku tahu, wanita yang duduk di dekatku itu sengaja
menceritakan apa yang baru saja dia ceritakan agar aku mendengarnya. Jujur, aku
terkejut juga. Ternyata mereka nggak berhenti. Bahkan sampai hari ini, dimana
mereka seharusnya sudah berhenti karena Nanda sudah pergi.
Tadi aku sempat melihat wajah Nanda. Dia tersenyum.
Kelihatan tenang sekali. Bahkan dia kelihatan lebih bahagia ketimbang ketika
dia masih hidup. Aku sangat mengerti tentang hal itu. Tentu saja dia sangat
bahagia karena sekarang dia sudah aman bersama-Nya di sana. Sekarang Nanda
nggak perlu lagi mendengar kata-kata menyakitkan tentang dia dan ibunya lagi.
Sekarang dia ada di tangan yang sangat menyayanginya.
Aku ingat Nanda pernah bilang padaku kalo dia nggak takut
mati. Dia lebih takut kalo apa yang ada di dalam hati nurani manusia mati di
saat mereka masih hidup. Dan sekarang apa yang dia takutkan terjadi.
Bunga-bunga kemanusiaan yang ada di dalam hati nurani manusia sudah banyak yang
mati. Sayang sekali. Padahal seandainya bunga-bunga itu mekar, dunia ini pasti
akan menjadi lebih indah.
Ya Tuhan, tolong jaga dia dalam damai-Mu.
4 September
4 September
Aku mampir ke rumah Nanda sebelum pulang. Rumah itu
kosong. Tapi aku masih bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah aku rasakan
bersama Nanda di ruang tamunya.
Baru saja aku mengunci pintu, cowok yang sebelumnya
pernah aku pukul, berdiri di luar pagar rumah Nanda. “Ngapain, Mas? Dia sudah
mati! Nggak usah dicari lagi,” katanya.
Aku menghela napas. Biar! Orang mabuk ini, pikirku.
“Oh, ya! Aku sudah mengerti kenapa kamu selalu datang.
Dia memang hebat di ranjang. Rambutnya…. Tubuhnya…. Mmmm….. sangat harum.”
Sekarang aku mulai memperhatikan kata-katanya. Aku
menatapnya.
“Kenapa? Oh, dia nggak bilang kalo aku pernah
menidurinya?”
“APA??!!” Aku berteriak lalu berjalan cepat ke arahnya
dan untuk kedua kalinya aku memukul wajahnya. Sekarang aku nggak peduli apakah
dia sedang mabuk atau nggak. Aku memukulinya berkali-kali sampai dia jatuh,
sampai orang-orang datang memisah kami.
“Hei, Nak! Kamu ini kenapa?”
“Dia sudah memperkosa Nanda! Saya nggak rela!” kataku.
Seseorang memegangiku dari belakang.
“Kamu nggak usah mengada-ada! Pelacur itu yang menggoda
anak saya! Jangan mentang-mentang kamu orang sekolahan, kamu merasa tahu
semuanya!” Seorang ibu, sepertinya ibu cowok itu, nampak marah. Dia duduk
bersimpuh di sisi cowok itu dan meletakkan kepala cowok itu di pangkuannya.
“Dia sendiri yang bilang!”
“YA! AKU MEMANG MEMPERKOSANYA!!! LANTAS KAMU MAU APA?!”
Cowok itu berteriak dengan keras.
Aku merasakan orang yang ada di belakangku mengendurkan
pelukannya di tubuhku. Dan aku melihat orang-orang yang berkerumun mulai
berbisik-bisik.
Kedua mata Edo nampak berkaca-kaca. Dia
menyudahi membaca sebelum sempat menyelesaikan semuanya.
“Aku sayang banget sama kamu, Nan,” bisik
Edo. Tiba-tiba semua hari yang dijalaninya bersama Nanda melintas di depan
matanya seperti film tanpa suara. “Aku bener-bener sayang sama kamu.”
***
“Nanda, kamu pasti sekarang bahagia. Iya, kan? Semuanya sudah selesai dengan baik. Tuhan memang adil dan baik hati.” Edo menata mawar-mawar yang dibawanya ke atas makam Nanda. “Sudah, ya? Malam ini aku harus banyak tidur. Ada iklan yang bakal dibuat besok pagi dan mungkin selesainya bisa sampai malam.”
Edo berdiri, tersenyum sejenak ke arah makam Nanda sebelum kemudian dia melangkah keluar dari tempat itu. Tamat (7 Agustus 2001)
***
“Nanda, kamu pasti sekarang bahagia. Iya, kan? Semuanya sudah selesai dengan baik. Tuhan memang adil dan baik hati.” Edo menata mawar-mawar yang dibawanya ke atas makam Nanda. “Sudah, ya? Malam ini aku harus banyak tidur. Ada iklan yang bakal dibuat besok pagi dan mungkin selesainya bisa sampai malam.”
Edo berdiri, tersenyum sejenak ke arah makam Nanda sebelum kemudian dia melangkah keluar dari tempat itu. Tamat (7 Agustus 2001)
Maut
bukanlah kehilangan terbesar dalam hidup.
Kehilangan
terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita masih hidup.
-Norman
Cousins
Komentar