Teroris
Aku langsung membencinya
semenjak anak baru bernama Siti itu menginjakkan kaki untuk pertama kali di
kelasku pagi ini. Aku memang tidak mengenalnya dan aku juga tidak tahu kenapa
aku membencinya. Mungkin karena jilbab yang dia pakai panjangnya melebihi
pantatnya. Mungkin juga karena pakaiannya yang begitu tertutup dan longgar.
Atau mungkin karena pandangannya yang selalu tertunduk. Entahlah, aku tidak
tahu. Yang jelas, aku membencinya.
“Teroris,” desisku sinis saat Siti melewati tempatku duduk setelah berhasil menyelesaikan soal tentang persamaan garis yang diberikan oleh Pak Guru di papan tulis.
“Ih, Karin. Apaan sih kamu?” Teza, teman sebangkuku, menyikut lenganku begitu mendengar desisanku barusan.
“Liat aja penampilannya, Za, udah kayak istri-istri teroris yang sering ditangkap di televisi itu. Pasti dia itu anak teroris. Pasti dia pindah ke sini gara-gara bapaknya buron,” kataku sambil berjengit, seolah sedang membicarakan sesuatu yang sangat menjijikan.
“Karin sayang, inget, don’t judge a book by its cover.”
Aku memutar bola mata. “Ya ya ya,” jawabku asal-asalan, enggan melanjutkan pembicaraan yang aku yakin akan berakhir dengan Teza menasehatiku dengan nasehat-nasehat sok dewasanya.
“Saya belum pernah melihat rumus ini. Tapi pada akhirnya jawabannya benar dan ...” Pak Toyib, guru matematika yang pagi ini mengajar, nampak bergumam tidak jelas dengan kedua mata yang menelusuri rumus yang digunakan oleh Siti dan kepala terangguk-angguk. “Bagus. Benar. Dan rumus ini jauh lebih ringkas dan lebih mudah dipahami. Bagus, Siti,” lanjutnya sambil berbalik menghadap ke para muridnya. “Kalian bisa mencatat dan memperlajari rumus yang digunakan Siti ini. Ini lebih mudah dipahami dan lebih cepat.”
Lagi-lagi aku memutar bola mata. Cuma kayak gitu aja. Biasa aja kali. Yah, melihat riwayat dia yang waktu di sekolah sebelumnya pernah menyumbang medali emas dalam olimpiade matematika dan kimia, aku tidak heran.
“Bener aja dia pinter matematika sama kimia. Pasti dia sudah dilatih sejak kecil buat ngerakit bom,” cibirku.
Kali ini tidak ada komentar yang keluar dari mulut Teza. Mungkin dia sudah malas meladeniku. Atau mungkin, jangan-jangan dia sudah mulai sepakat denganku. Baguslah kalo memang begitu. Tidak seperti para guru yang bahkan sejak sebelum Siti datang, mereka sudah membicarakannya, membicarakan tentang apalagi kalo bukan prestasinya yang pernah memenangkan olimpiade tingkat nasional itu. Mereka bahkan sama sekali tidak mencurigai Siti saat melihat penampilannya yang seperti teroris itu. Kenapa ya mereka tidak merasa aneh dengan kepindahan Siti yang tiba-tiba ke sekolah ini di tengah-tengah semester? Apa mereka tidak curiga, jangan-jangan Siti itu masuk salah satu kelompok teroris yang akhir-akhir ini sedang diburu oleh pihak berwajib? Aku tidak habis pikir.
Bel tanda istirahat pertama akhirnya berbunyi juga. Semua penghuni kelas langsung berhamburan keluar, mencari udara segar dan meluruskan badan. Tidak, ternyata tidak semuanya. Siti, si Teroris, masih bertahan di kursinya. Dia mengeluarkan sebuah buku yang lumayan tebal dari dalam tas lalu membuka dan mulai membacanya dari halaman yang sudah dia tandai. Bahkan bergaul saja dia tidak mau. Si Penyendiri Misterius yang Angkuh. Hmm, nama itu sepertinya cocok buat dia.
Hah, buat apa sih aku memikirkan dia. Kurang kerjaan. Mendingan aku ke kantin, berebut makanan enak buatan ibu kantin dengan puluhan murid lainnya.
“Darimana aja, Rin?” tanya Kak Rosa, cewek anak kelas XII, ketua geng cewek paling ditakuti di sekolah ini yang sejak dua bulan lalu mengangkatku menjadi anggotanya.
“Nggak dari mana-mana, Kak,” jawabku sambil menjatuhkan diri di kursi kosong antara mereka.
“Pesen makan sana. Tadi aku dapet duit,” kata Kak Rosa lagi dengan tatapan tahu sama tahu.
“Dari anak kelas X yang kemarin berani melototin kita itu ya?” tanyaku antusias. Langsung inget kemarin aku berdiri di belakang cewek ini ketika kami beramai-ramai mendatangi seorang cewek anak kelas X yang dengan lancang berani melotot ke arah kami dan kami dengan sukses membuatnya mengkeret sampai menangis di tempat.
Kak Rosa mengangguk.
"Tapi aku lagi males makan. Lagi kesel,” aduku.
“Kenapa?” tanya Kak Rosa sebelum kemudian memasukkan satu sendokan mie goreng ke dalam mulutnya.
“Ada anak baru di kelas. Anak teroris!” ceritaku.
“Anak teroris?” tanya Kak Rosa dengan mulut penuh makanan.
“Iya. Penampilannya kayak anak teroris. Tampangnya nyebelin banget. Udah gitu sombongnya minta ampun. Ih, pengen mukul aja bawaannya,” ceritaku, penuh bumbu di sana sini demi meyakinkan betapa aku begitu membenci Siti.
Kak Rosa tidak berkomentar untuk beberapa saat. Aku membiarkannya menghabiskan mie goreng yang ada di piring dan segelas es teh manisnya.
“Oke. Jadi kamu mau kita ngapain ke dia? Bilang aja.”
“Aku juga nggak tau, Kak,” jawabku bingung. “Udahlah. Nggak usah aja. Tar biar aku urus sendiri.”
“Yah terserah kamu sih. Tapi apapun yang menimpa anggota geng kita adalah masalah kita bersama.”
Aku mengangguk. “Ya udah. Aku balik kelas dulu ya, Kak,” kataku berpamitan dan segera berlalu, kembali ke kelas yang ternyata masih sepi dan hanya berisi manusia bernama Siti.
Siti melirik ke arahku saat aku memasuki kelas. Dia sepertinya siap melemparkan senyum padaku tapi aku buru-buru membuang muka, dan duduk di mejaku yang berjarak tiga meja di depannya. Tak lama, si Teroris itu melangkah melewati aku keluar kelas.
“Teroris!” desisku saat di lewat di sisiku. Aku yakin dia mendengarku. Tapi dia tidak berespon, dia terus melangkah meninggalkan kelas.
Tak berselang lama, rombongan cewek-cewek heboh yang namanya sudah mahsyur sebagai pencari dan pengonsumsi gosip masuk ke dalam kelas. Wah, sasaran yang empuk sekali.
“Lagi ngobrolin apaan, Ibu-Ibu?” tanyaku sambil ikut duduk di antara mereka.
“Ini loh, Rin. Kamu tau si Ranya, denger-denger dia itu bispak,” kata Riyana, salah satu dari cewek-cewek itu dengan bersemangat.
“Oh ya?” tanyaku, sok tertarik. “Eh, kalian tau nggak si Siti anak baru di kelas kita itu ternyata teroris,” kataku sambil memelankan suara waktu mengatakan ‘teroris’.
“Ah, masak sih?” Riyana adalah orang pertama yang berkomentar.
“Yah terserah sih kalian mau percaya atau nggak.”
“Bukannya kita nggak percaya, Rin. Tapi, ...” Nadya, salah satu dari cewek-cewek itu menggantung ucapannya.
“Ya terserah deh. Tapi jangan protes kalo nanti tiba-tiba kita dibom atau disandera sama komplotan dia,” kataku sambil membuka-buka buku catatanku. “Lagian masak sih kalian nggak percaya sama aku? Mau jadi sasarannya Kak...”
“Eh, iya. Iya, kami percaya,” kata salah satu dari mereka.
Aih, dasar nenek-nenek tukang gosip. Mereka langsung menunjukkan keahlian mereka, menyebarkan berita bohong yang aku katakan pada mereka. Tapi aku mengakui kehebatan mereka. Dua jempol buat mereka karena di istirahat kedua, hampir semua penghuni kelas merasa resah dengan keberadaan Siti. Baguslah. Setelah ini siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada anak itu.
“Pasti kamu sumbernya.” Teza langsung meluncurkan tuduhan yang, yah, tepat sasaran.
“Apaan, sih?” tanyaku, berusaha mengingkari.
“Pasti kamu yang memulai. Anak-anak pada resah tuh, pada nggak tenang.”
Aku diam saja, pura-pura tidak mendengar apa yang barusan dikatan Teza. Aku bahkan tidak mengangkat wajahku dari buku yang sedari tadi aku pandangi, tidak aku baca, hanya aku jadikan pelarian. Aku sudah bisa menduga seperti apa raut muka Teza.
“Rin, sebenernya si Siti itu salah apa sih sama kamu sampe kamu tega ngelakuin ini?”
Oke, sekarang aku mulai kesal. Aku akhirnya menutup buku yang dari tadi menjadi pelarianku itu. Aku menoleh ke arah Teza, memandang ke arah kedua matanya.
“Sebenernya kamu udah diapain sama Siti sih kok mau-maunya ngebela orang yang kamu aja bahkan nggak kenal?”
“Aku cuma nggak suka aja kamu memfitnah orang, ngomong sembarangan, bikin anak-anak resah. Kamu itu sahabat aku. Kalo kamu berbuat salah, aku wajib ngingetin!” Ada nada putus asa dalam kata-kata Teza.
“Ya wajar lah kalo anak-anak pada resah, Za. Kan di sini ada teroris.”
Teza tidak langsung melemparkan kata-kata. Dia diam menatapku lalu menarik napas dan menghelakannya.
“Ya, Rin. Di sini ada teroris. Dan terorisnya itu kamu. Kamu yang udah membuat teror, menyebarkan cerita yang meresahkan temen-temen. Kamu menuduh orang tanpa bukti. Kamu menyerang orang yang bahkan tidak menyerang kamu. Kamu terorisnya.” Ujung telunjuk Teza mengarah tepat ke mukaku. Dia lantas membuang muka dan sepanjang dua jam pelajaran terakhir sama sekali tidak bicara padaku.
Ah, sepi juga kalo Teza sedang ngambek seperti ini, tidak ada yang bisa diajak mengomentari semua hal. Biasanya kami mengomentari hampir semua hal. Tapi sekarang, dia bahkan tidak menungguku untuk berjalan bersama keluar kelas.
Akhirnya aku melangkah sendirian menyeberangi halaman sekolah yang ramai dan berlanjut ke trotoar yang penuh manusia lalu ke gang kecil yang sepi.
“Teroris! Jangan datang ke sekolah lagi!”
Langkahku terhenti seketika sewaktu melihat beberapa cewek anggota gengku sedang bicara pada Siti dengan gaya petentang-petentang khas mereka. Mereka mengobrak-abrik isi tas Siti dan menyebarkannya di tanah.
Entah karena aku benar-benar membencinya sehingga aku tidak peduli, atau karena aku takut bertanggung jawab, atau mungkin merasa bersalah, aku berbalik dan mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu, memilih berjalan memutar, menghindari terlibat.
Pikiranku mulai was-was, mulai ada rasa sesal yang mulai memasuki relung hatiku. Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok pendiam itu. Dia pasti habis di tangan Kak Rosa dan teman-temannya. Bagaimana kalo sampe terjadi apa-apa sama dia?
“Karin awas!”
Aku merasakan seseorang menarik lenganku tepat ketika kalimat peringatan itu terdengar. Tubuhku terhuyung ke arah tarikan, hampir jatuh, namun terhindar dari sebuah bus yang melaju lumayan kencang dan hampir menyerempetku.
“Kamu nggak pa-pa?”
Aku menoleh dan menemukan Siti memegangiku, mencegahku jatuh. Dia menyelamatkanku.
“Eh, aku... ngg.. nggak pa-pa,” jawabku kaku, bingung harus mengeluarkan ekspresi apa.
Siti melepaskan pengangan tangannya begitu aku bisa berdiri dengan stabil.
“Ya sudah kalo nggak apa-apa. Aku Duluan. Assalamu’alaikum.” Siti tersenyum lalu melangkah meninggalkanku.
Aku sebenarnya masih belum benar-benar sadar, masih bingung dengan apa yang terjadi dan apa yang harus aku lakukan. Jadi aku memerlukan waktu beberapa detik untuk berdiri diam menatap jilbab putih Siti yang kotor, pastinya hasil kerjaan kakak-kakak kelasku tadi. Kesadaranku yang kembali secara tiba-tiba membawa hujan rasa bersalah. Aku sudah membenci dia tanpa alasan dan bahkan membuat orang lain ikut membenci dia. Tapi dia masih mau menolongku.
“Siti, tunggu!” teriakku sambil setengah berlari mendatanginya.
Siti menghentikan langkahnya, menantiku.
“Ada apa?” tanyanya sambil tersenyum waktu aku sampai di sisinya.
“Aku... mm... “ Aku kehilangan kata-kata.
Sebenarnya ada kata maaf yang ingin keluar. Tapi entah kenapa rasanya hanya bisa mengganjal di dada, tidak mau naik, apalagi keluar.
Siti tersenyum, menggelengkan kepalanya pelan, lalu hendak melangkah kembali.
“Boleh pulang bareng?” tanyaku buru-buru sebelum dia sempat melangkah.
Siti tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sebelum kemudian kami mulai melangkah. Cukup lama kami saling diam, hanya berjalan beriringan.
“Kamu kenapa pindah kesini di tengah-tengah semester?” tanyaku.
“Ibuku harus menjalani pengobatan yang hanya ada disini. Bapak tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Jadi, aku yang ikut pindah kesini untuk menemani ibu.”
Rasa bersalah memukul-mukul hatiku, membuat perutku bergejolak, sakit sekali. Aku melirik ke arahnya, ke arah wajahnya yang tenang seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Kedua mataku lantas melirik ke arah tas sekolah yang tidak bisa lagi ditutup karena sobek di beberapa tempat, kemungkinan besar karena dirusak oleh cewek-cewek di gang tadi. Aduh, perutku semakin sakit, terpukul oleh rasa bersalah.
“Tenang saja, Rin. Kamu bukan orang pertama kok,” kata Siti tiba-tiba sambil masih tersenyum.
Langkahku langsung terhenti, memaksa Siti ikut berhenti dan memandangku. Kedua mataku tiba-tiba terasa panas dan pandanganku mulai kabur. Rasa bersalah, merasa bodoh, malu, dan sesal menyesaki dadaku, mendorong air mata mulai turun satu-satu. Ditambah lagi kata-kata Teza di kelas tadi tiba-tiba menyeruak, seperti diteriakkan di kedua telingaku; Di sini ada teroris. Dan terorisnya itu kamu. Kamu yang udah membuat teror, menyebarkan cerita yang meresahkan temen-temen. Kamu menuduh orang tanpa bukti. Kamu menyerang orang yang bahkan tidak menyerang kamu. Kamu terorisnya.
“Maaf, Rin. Aku nggak bermaksud...”
“Bukan.” Aku memotong ucapan Siti dengan cepat sambil memaksakan sebuah senyum dan menghapus air mataku. “Aku yang harus minta maaf sama kamu. Aku sudah jahat sama kamu. Maaf.” Aku mulai terisak-isak. Air mata yang aku hapus bukannya menghilang malah semakin deras menetes. “Maaf aku sudah membenci kamu tanpa alasan. Maaf aku sudah menyebarkan berita bohong tentang kamu. Maaf aku sudah.. aku sudah...” Aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku.
“Nggak apa-apa, Rin.” Siti tersenyum.
Dan suara Teza lagi-lagi bergema di telingaku, “Kamu terorisnya! Kamu terorisnya..”
“Teroris,” desisku sinis saat Siti melewati tempatku duduk setelah berhasil menyelesaikan soal tentang persamaan garis yang diberikan oleh Pak Guru di papan tulis.
“Ih, Karin. Apaan sih kamu?” Teza, teman sebangkuku, menyikut lenganku begitu mendengar desisanku barusan.
“Liat aja penampilannya, Za, udah kayak istri-istri teroris yang sering ditangkap di televisi itu. Pasti dia itu anak teroris. Pasti dia pindah ke sini gara-gara bapaknya buron,” kataku sambil berjengit, seolah sedang membicarakan sesuatu yang sangat menjijikan.
“Karin sayang, inget, don’t judge a book by its cover.”
Aku memutar bola mata. “Ya ya ya,” jawabku asal-asalan, enggan melanjutkan pembicaraan yang aku yakin akan berakhir dengan Teza menasehatiku dengan nasehat-nasehat sok dewasanya.
“Saya belum pernah melihat rumus ini. Tapi pada akhirnya jawabannya benar dan ...” Pak Toyib, guru matematika yang pagi ini mengajar, nampak bergumam tidak jelas dengan kedua mata yang menelusuri rumus yang digunakan oleh Siti dan kepala terangguk-angguk. “Bagus. Benar. Dan rumus ini jauh lebih ringkas dan lebih mudah dipahami. Bagus, Siti,” lanjutnya sambil berbalik menghadap ke para muridnya. “Kalian bisa mencatat dan memperlajari rumus yang digunakan Siti ini. Ini lebih mudah dipahami dan lebih cepat.”
Lagi-lagi aku memutar bola mata. Cuma kayak gitu aja. Biasa aja kali. Yah, melihat riwayat dia yang waktu di sekolah sebelumnya pernah menyumbang medali emas dalam olimpiade matematika dan kimia, aku tidak heran.
“Bener aja dia pinter matematika sama kimia. Pasti dia sudah dilatih sejak kecil buat ngerakit bom,” cibirku.
Kali ini tidak ada komentar yang keluar dari mulut Teza. Mungkin dia sudah malas meladeniku. Atau mungkin, jangan-jangan dia sudah mulai sepakat denganku. Baguslah kalo memang begitu. Tidak seperti para guru yang bahkan sejak sebelum Siti datang, mereka sudah membicarakannya, membicarakan tentang apalagi kalo bukan prestasinya yang pernah memenangkan olimpiade tingkat nasional itu. Mereka bahkan sama sekali tidak mencurigai Siti saat melihat penampilannya yang seperti teroris itu. Kenapa ya mereka tidak merasa aneh dengan kepindahan Siti yang tiba-tiba ke sekolah ini di tengah-tengah semester? Apa mereka tidak curiga, jangan-jangan Siti itu masuk salah satu kelompok teroris yang akhir-akhir ini sedang diburu oleh pihak berwajib? Aku tidak habis pikir.
Bel tanda istirahat pertama akhirnya berbunyi juga. Semua penghuni kelas langsung berhamburan keluar, mencari udara segar dan meluruskan badan. Tidak, ternyata tidak semuanya. Siti, si Teroris, masih bertahan di kursinya. Dia mengeluarkan sebuah buku yang lumayan tebal dari dalam tas lalu membuka dan mulai membacanya dari halaman yang sudah dia tandai. Bahkan bergaul saja dia tidak mau. Si Penyendiri Misterius yang Angkuh. Hmm, nama itu sepertinya cocok buat dia.
Hah, buat apa sih aku memikirkan dia. Kurang kerjaan. Mendingan aku ke kantin, berebut makanan enak buatan ibu kantin dengan puluhan murid lainnya.
“Darimana aja, Rin?” tanya Kak Rosa, cewek anak kelas XII, ketua geng cewek paling ditakuti di sekolah ini yang sejak dua bulan lalu mengangkatku menjadi anggotanya.
“Nggak dari mana-mana, Kak,” jawabku sambil menjatuhkan diri di kursi kosong antara mereka.
“Pesen makan sana. Tadi aku dapet duit,” kata Kak Rosa lagi dengan tatapan tahu sama tahu.
“Dari anak kelas X yang kemarin berani melototin kita itu ya?” tanyaku antusias. Langsung inget kemarin aku berdiri di belakang cewek ini ketika kami beramai-ramai mendatangi seorang cewek anak kelas X yang dengan lancang berani melotot ke arah kami dan kami dengan sukses membuatnya mengkeret sampai menangis di tempat.
Kak Rosa mengangguk.
"Tapi aku lagi males makan. Lagi kesel,” aduku.
“Kenapa?” tanya Kak Rosa sebelum kemudian memasukkan satu sendokan mie goreng ke dalam mulutnya.
“Ada anak baru di kelas. Anak teroris!” ceritaku.
“Anak teroris?” tanya Kak Rosa dengan mulut penuh makanan.
“Iya. Penampilannya kayak anak teroris. Tampangnya nyebelin banget. Udah gitu sombongnya minta ampun. Ih, pengen mukul aja bawaannya,” ceritaku, penuh bumbu di sana sini demi meyakinkan betapa aku begitu membenci Siti.
Kak Rosa tidak berkomentar untuk beberapa saat. Aku membiarkannya menghabiskan mie goreng yang ada di piring dan segelas es teh manisnya.
“Oke. Jadi kamu mau kita ngapain ke dia? Bilang aja.”
“Aku juga nggak tau, Kak,” jawabku bingung. “Udahlah. Nggak usah aja. Tar biar aku urus sendiri.”
“Yah terserah kamu sih. Tapi apapun yang menimpa anggota geng kita adalah masalah kita bersama.”
Aku mengangguk. “Ya udah. Aku balik kelas dulu ya, Kak,” kataku berpamitan dan segera berlalu, kembali ke kelas yang ternyata masih sepi dan hanya berisi manusia bernama Siti.
Siti melirik ke arahku saat aku memasuki kelas. Dia sepertinya siap melemparkan senyum padaku tapi aku buru-buru membuang muka, dan duduk di mejaku yang berjarak tiga meja di depannya. Tak lama, si Teroris itu melangkah melewati aku keluar kelas.
“Teroris!” desisku saat di lewat di sisiku. Aku yakin dia mendengarku. Tapi dia tidak berespon, dia terus melangkah meninggalkan kelas.
Tak berselang lama, rombongan cewek-cewek heboh yang namanya sudah mahsyur sebagai pencari dan pengonsumsi gosip masuk ke dalam kelas. Wah, sasaran yang empuk sekali.
“Lagi ngobrolin apaan, Ibu-Ibu?” tanyaku sambil ikut duduk di antara mereka.
“Ini loh, Rin. Kamu tau si Ranya, denger-denger dia itu bispak,” kata Riyana, salah satu dari cewek-cewek itu dengan bersemangat.
“Oh ya?” tanyaku, sok tertarik. “Eh, kalian tau nggak si Siti anak baru di kelas kita itu ternyata teroris,” kataku sambil memelankan suara waktu mengatakan ‘teroris’.
“Ah, masak sih?” Riyana adalah orang pertama yang berkomentar.
“Yah terserah sih kalian mau percaya atau nggak.”
“Bukannya kita nggak percaya, Rin. Tapi, ...” Nadya, salah satu dari cewek-cewek itu menggantung ucapannya.
“Ya terserah deh. Tapi jangan protes kalo nanti tiba-tiba kita dibom atau disandera sama komplotan dia,” kataku sambil membuka-buka buku catatanku. “Lagian masak sih kalian nggak percaya sama aku? Mau jadi sasarannya Kak...”
“Eh, iya. Iya, kami percaya,” kata salah satu dari mereka.
Aih, dasar nenek-nenek tukang gosip. Mereka langsung menunjukkan keahlian mereka, menyebarkan berita bohong yang aku katakan pada mereka. Tapi aku mengakui kehebatan mereka. Dua jempol buat mereka karena di istirahat kedua, hampir semua penghuni kelas merasa resah dengan keberadaan Siti. Baguslah. Setelah ini siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada anak itu.
“Pasti kamu sumbernya.” Teza langsung meluncurkan tuduhan yang, yah, tepat sasaran.
“Apaan, sih?” tanyaku, berusaha mengingkari.
“Pasti kamu yang memulai. Anak-anak pada resah tuh, pada nggak tenang.”
Aku diam saja, pura-pura tidak mendengar apa yang barusan dikatan Teza. Aku bahkan tidak mengangkat wajahku dari buku yang sedari tadi aku pandangi, tidak aku baca, hanya aku jadikan pelarian. Aku sudah bisa menduga seperti apa raut muka Teza.
“Rin, sebenernya si Siti itu salah apa sih sama kamu sampe kamu tega ngelakuin ini?”
Oke, sekarang aku mulai kesal. Aku akhirnya menutup buku yang dari tadi menjadi pelarianku itu. Aku menoleh ke arah Teza, memandang ke arah kedua matanya.
“Sebenernya kamu udah diapain sama Siti sih kok mau-maunya ngebela orang yang kamu aja bahkan nggak kenal?”
“Aku cuma nggak suka aja kamu memfitnah orang, ngomong sembarangan, bikin anak-anak resah. Kamu itu sahabat aku. Kalo kamu berbuat salah, aku wajib ngingetin!” Ada nada putus asa dalam kata-kata Teza.
“Ya wajar lah kalo anak-anak pada resah, Za. Kan di sini ada teroris.”
Teza tidak langsung melemparkan kata-kata. Dia diam menatapku lalu menarik napas dan menghelakannya.
“Ya, Rin. Di sini ada teroris. Dan terorisnya itu kamu. Kamu yang udah membuat teror, menyebarkan cerita yang meresahkan temen-temen. Kamu menuduh orang tanpa bukti. Kamu menyerang orang yang bahkan tidak menyerang kamu. Kamu terorisnya.” Ujung telunjuk Teza mengarah tepat ke mukaku. Dia lantas membuang muka dan sepanjang dua jam pelajaran terakhir sama sekali tidak bicara padaku.
Ah, sepi juga kalo Teza sedang ngambek seperti ini, tidak ada yang bisa diajak mengomentari semua hal. Biasanya kami mengomentari hampir semua hal. Tapi sekarang, dia bahkan tidak menungguku untuk berjalan bersama keluar kelas.
Akhirnya aku melangkah sendirian menyeberangi halaman sekolah yang ramai dan berlanjut ke trotoar yang penuh manusia lalu ke gang kecil yang sepi.
“Teroris! Jangan datang ke sekolah lagi!”
Langkahku terhenti seketika sewaktu melihat beberapa cewek anggota gengku sedang bicara pada Siti dengan gaya petentang-petentang khas mereka. Mereka mengobrak-abrik isi tas Siti dan menyebarkannya di tanah.
Entah karena aku benar-benar membencinya sehingga aku tidak peduli, atau karena aku takut bertanggung jawab, atau mungkin merasa bersalah, aku berbalik dan mengambil langkah seribu meninggalkan tempat itu, memilih berjalan memutar, menghindari terlibat.
Pikiranku mulai was-was, mulai ada rasa sesal yang mulai memasuki relung hatiku. Pikiranku tidak bisa lepas dari sosok pendiam itu. Dia pasti habis di tangan Kak Rosa dan teman-temannya. Bagaimana kalo sampe terjadi apa-apa sama dia?
“Karin awas!”
Aku merasakan seseorang menarik lenganku tepat ketika kalimat peringatan itu terdengar. Tubuhku terhuyung ke arah tarikan, hampir jatuh, namun terhindar dari sebuah bus yang melaju lumayan kencang dan hampir menyerempetku.
“Kamu nggak pa-pa?”
Aku menoleh dan menemukan Siti memegangiku, mencegahku jatuh. Dia menyelamatkanku.
“Eh, aku... ngg.. nggak pa-pa,” jawabku kaku, bingung harus mengeluarkan ekspresi apa.
Siti melepaskan pengangan tangannya begitu aku bisa berdiri dengan stabil.
“Ya sudah kalo nggak apa-apa. Aku Duluan. Assalamu’alaikum.” Siti tersenyum lalu melangkah meninggalkanku.
Aku sebenarnya masih belum benar-benar sadar, masih bingung dengan apa yang terjadi dan apa yang harus aku lakukan. Jadi aku memerlukan waktu beberapa detik untuk berdiri diam menatap jilbab putih Siti yang kotor, pastinya hasil kerjaan kakak-kakak kelasku tadi. Kesadaranku yang kembali secara tiba-tiba membawa hujan rasa bersalah. Aku sudah membenci dia tanpa alasan dan bahkan membuat orang lain ikut membenci dia. Tapi dia masih mau menolongku.
“Siti, tunggu!” teriakku sambil setengah berlari mendatanginya.
Siti menghentikan langkahnya, menantiku.
“Ada apa?” tanyanya sambil tersenyum waktu aku sampai di sisinya.
“Aku... mm... “ Aku kehilangan kata-kata.
Sebenarnya ada kata maaf yang ingin keluar. Tapi entah kenapa rasanya hanya bisa mengganjal di dada, tidak mau naik, apalagi keluar.
Siti tersenyum, menggelengkan kepalanya pelan, lalu hendak melangkah kembali.
“Boleh pulang bareng?” tanyaku buru-buru sebelum dia sempat melangkah.
Siti tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sebelum kemudian kami mulai melangkah. Cukup lama kami saling diam, hanya berjalan beriringan.
“Kamu kenapa pindah kesini di tengah-tengah semester?” tanyaku.
“Ibuku harus menjalani pengobatan yang hanya ada disini. Bapak tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Jadi, aku yang ikut pindah kesini untuk menemani ibu.”
Rasa bersalah memukul-mukul hatiku, membuat perutku bergejolak, sakit sekali. Aku melirik ke arahnya, ke arah wajahnya yang tenang seolah tidak terjadi apa-apa padanya. Kedua mataku lantas melirik ke arah tas sekolah yang tidak bisa lagi ditutup karena sobek di beberapa tempat, kemungkinan besar karena dirusak oleh cewek-cewek di gang tadi. Aduh, perutku semakin sakit, terpukul oleh rasa bersalah.
“Tenang saja, Rin. Kamu bukan orang pertama kok,” kata Siti tiba-tiba sambil masih tersenyum.
Langkahku langsung terhenti, memaksa Siti ikut berhenti dan memandangku. Kedua mataku tiba-tiba terasa panas dan pandanganku mulai kabur. Rasa bersalah, merasa bodoh, malu, dan sesal menyesaki dadaku, mendorong air mata mulai turun satu-satu. Ditambah lagi kata-kata Teza di kelas tadi tiba-tiba menyeruak, seperti diteriakkan di kedua telingaku; Di sini ada teroris. Dan terorisnya itu kamu. Kamu yang udah membuat teror, menyebarkan cerita yang meresahkan temen-temen. Kamu menuduh orang tanpa bukti. Kamu menyerang orang yang bahkan tidak menyerang kamu. Kamu terorisnya.
“Maaf, Rin. Aku nggak bermaksud...”
“Bukan.” Aku memotong ucapan Siti dengan cepat sambil memaksakan sebuah senyum dan menghapus air mataku. “Aku yang harus minta maaf sama kamu. Aku sudah jahat sama kamu. Maaf.” Aku mulai terisak-isak. Air mata yang aku hapus bukannya menghilang malah semakin deras menetes. “Maaf aku sudah membenci kamu tanpa alasan. Maaf aku sudah menyebarkan berita bohong tentang kamu. Maaf aku sudah.. aku sudah...” Aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku.
“Nggak apa-apa, Rin.” Siti tersenyum.
Dan suara Teza lagi-lagi bergema di telingaku, “Kamu terorisnya! Kamu terorisnya..”
Tamat (Ternate, 23 Maret 2011)
Komentar