Bangku Kosong
Beberapa orang mungkin berpikir
saya akan menceritakan tentang cerita horor sewaktu membaca judul postingan ini.
Tapi, bukan. Tenang saja. Saya tidak memiliki keahlian menulis cerita horor.
Jadi saya tidak mungkin menuliskan tentang cerita horor. Postingan saya kali
ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan horor, hantu, setan, dan
sejenisnya.
Semenjak awal minggu ini, saya
dipaksa oleh Supri (sepeda motor saya) untuk jalan kaki ke kampus. Sejak Senin
pagi, dia sama sekali tidak mau menyala. Salah saya juga sebenarnya. Saya
kurang memperhatikan kondisi kesehatan sepeda motor berwarna hitam itu. Sudah
sebulan ini dia memang sering tidak mau dinyalakan lewat stater otomatis.
Seharusnya sejak saat itu saya tahu bahwa Supri sudah minta ganti aki. Yah,
tapi karena memang saya ini sering menyepelekan hal-hal seperti itu, saya
menunda membawanya ke bengkel. Selama dia masih bisa menyala, saya tidak merasa
harus membawanya ke bengkel. Alhasil, hari Senin pagi si Supri benar-benar
tidak mau menyala dan karena beberapa hari itu saya pulang malam, saya juga
tidak bisa segera mengantarnya ke bengkel. Baru kemarin sore, tiga hari
semenjak kematian si Aki, saya bisa menuntun Supri ke bengkel.
Nah, di sinilah cerita ini
dimulai.
Begitu saya menyerahkan Supri kepada
mas-mas pegawai bengkel, saya lumayan dikagetkan oleh suara berat yang
memanggil saya.
“Mari duduk, Cewe*).”
Saya menoleh dan menemukan
seorang laki-laki tinggi besar, berkulit gelap, dan berwajah sangar tersenyum
pada saya. Dia menunjuk bangku kosong yang ada di sebelahnya. Dia menawarkan
bangku yang, sewaktu saya datang tadi, dia duduki. Saya yang merasa tidak enak
hati karena telah mengganggu kenyamanannya, akhirnya menggeleng pelan dan
mempersilakannya kembali duduk. Tetapi laki-laki itu menolak untuk kembali
duduk. Untuk beberapa saat, bangku itu dibiarkan kosong sampai akhirnya saya
mengalah dan duduk di sana. Begitu saya duduk, laki-laki itu berjalan menuju
bangku kosong lain yang letaknya tidak begitu jauh di depan saya.
Apa intinya? Intinya adalah saya merasa
senang karena ternyata di dunia ini masih ada orang yang baik dan begitu sopan.
Sepertinya sekarang ini sudah jarang sekali ada orang seperti itu. Tentunya
masih ada, tetapi pastinya tidak banyak. Dari apa yang sering saya temui,
kebanyakan orang enggan memberikan tempat duduknya kepada orang lain. Enggan
melepaskan zona nyamannya walaupun dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih
berhak atau lebih membutuhkan kenyamanan daripada dirinya. Dan kejadian ini
membuat saya kembali percaya bahwa orang baik itu masih ada. Orang sopan itu
masih ada. Ya mereka masih ada.
Hal ini juga mengingatkan saya
tentang apa yang ibu saya selalu pesankan kepada saya. Berbuat baik, berbuat
sopan kepada setiap orang. Tetap berbuat baik ketika orang lain tidak melakukan
hal yang sama. Tetap berbuat baik ketika bahkan orang lain menertawakan
perbuatan baik kita. Tetap berbuat baik dan tidak menyesal, tidak merasa kesal
ketika perbuatan baik yang kita lakukan itu tidak dihargai. Karena Alloh sudah
menjanjikan balasan untuk setiap perbuatan. Namun, kadang balasan itu tidak datang
tepat ketika kita selesai melakukan tindakan. Tapi yang jelas, balasan itu
pasti ada. Karena janji Alloh itu pasti.
Kejadian ini semakin memantapkan
saya untuk tidak menyesali setiap tindakan baik yang saya lakukan. Saya tidak
lagi peduli walaupun ada yang berkomentar, “Tukang parkir aja kok pake dibilang
terima kasih!” atau “Harusnya itu tukang becaknya yang bilang terima kasih, kan
kamu yang bayar!” atau juga “Masih jaman kasih tempat duduk ke orang lain?
Emangnya dia doang yang capek?”. Ya, komentar-komentar semacam itu yang dulu sering membuat saya urung dan segan
mengucapkan terimakasih atau mempersilakan orang lain mengambil tempat duduk
saya.
Balasan itu pasti ada karena
janji Alloh itu pasti. J
*)Cewe: panggilan yang biasa digunakan untuk
memanggil perempuan asing yang dianggap masih muda (Ternate).
Gambar didapatkan dari www.flickr.com
Komentar