Balada Kawat Gigi
Kegiatan saya di akhir pekan minggu lalu tidak jauh berbeda
dari akhir pekan saya biasanya. Seperti biasa, di hari Sabtu pagi saya dan
teman-teman satu kos snorkling di pantai Sulamadaha. Anggotanya juga masih sama
dengan acara akhir pekan biasanya. Saya, teman satu kos saya (Kak Vhe dan Bang
Indra) dan beberapa teman kantor Abang. Ngomong-ngomong ini postingan pertama
saya yang menyebutkan keluarga Ternate saya, ya? Kak Vhe sama Bang Indra adalah
teman satu kosan yang sudah saya kenal selama hampir tiga tahun hidup saya di
Ternate dan sudah seperti kakak-kakak saya sendiri. Mereka yang mengurusi saya
sewaktu saya sakit, yang mau menerima masakan saya yang kadang tidak jelas
bentuk dan rasanya, yang ribut mencari saya ketika saya terlambat pulang, yang
siap menampung curhatan dan memberikan solusi dari masalah-masalah saya. Mereka
adalah kado dari Alloh yang sepertinya memang sengaja dikirim untuk ikut
menjaga dan mendewasakan saya.
Yak, kembali ke kawat gigi. Mengapa saya membahas kawat gigi
kali ini? Ya karena pada perjalanan akhir pekan kami kemarin, masalah yang
paling menonjol dan menjadi sumber perdebatan panas adalah kawat gigi. Pagi
itu, seusai snorkling, kami seperti biasa duduk bersama menikmati bekal makanan
yang kami bawa. Di situ, tiba-tiba salah satu teman mengatakan keinginannya
untuk memasang kawat gigi karena dipengaruhi oleh teman lain yang sekarang
sudah menggunakan kawat gigi. Awalnya saya tidak ingin tahu tentang perdebatan
mereka. Tetapi karena perdebatan semakin lama semakin seru, apalagi ditambah
dengan masuknya orang ke-3, ke-4, dan ke-5 yang masing-masing ikut urun
pendapat, setuju pada si Istri maupun pada si Suami, akhirnya saya jadi
memfokuskan diri, memasang telinga baik-baik, mendengarkan perdebatan itu dengan
seksama.
Teman saya yang ingin memasang kawat gigi itu mengatakan
bahwa dirinya ingin memasang kawat gigi karena dia merasa gigi bagian depannya
tidak beraturan dan tajam-tajam mirip ikan hiu. Makanya dia ingin merapikan
gigi-giginya itu. Alasannya yang lain adalah agar dia terlihat cantik untuk
suaminya. Intinya, pemasangan kawat gigi yang ingin dia lakukan ini adalah
untuk estetika, agar terlihat cantik.
Berbeda dengan si Istri, suami teman saya itu tidak
menyetujui keinginan istrinya untuk memasang kawat gigi. Dia mengatakan dia
akan menyetujui keinginan istrinya jika pemasangan kawat gigi itu berkaitan
dengan kondisi kesehatan. Maksudnya, jika dengan tidak memasang kawat gigi
kesehatan teman saya terganggu, maka si Suami akan menyetujuinya. Tetapi jika
hanya karena masalah estetika, dia tidak akan setuju. Terlebih, biaya untuk
memasang kawat gigi itu tidak murah. Si Suami mengatakan masih banyak kebutuhan
lain yang harus diprioritaskan.
Orang ke-3, ke-3, dan ke-5 yang ikut dalam perdebatan itu
rata-rata hanya melakukan pembelaan terhadap salah satu pihak. Pihak yang
mendukung si Istri tentunya membelanya dengan mengatakan bahwa salah satu tugas
istri itu adalah tampil cantik untuk suaminya. Ketika istri bisa terlihat
cantik, maka yang pertama kali merasa senang pastinya adalah suami. Sedangkan
pihak yang mendukung si Suami, membela pendapatnya dengan mengemukakan
argumen-argumen tentang sisi manfaat dan tidak manfaatnya kawat gigi, terutama
dari perawatan dan biaya.
Bagaimana dengan saya? Saya tidak berkomentar apa-apa. Bagi
saya, ketika tidak ada yang meminta komentar saya, maka itu bukanlah waktunya
untuk berkomentar. Jadi saya hanya diam, menonton perdebatan yang semakin lama
menjadi semakin panas itu. Perdebatan yang
pada akhirnya dihentikan oleh keputusan final si Suami.
“Nduk, nggak perlu
behel segala. Buat aku, kamu itu sudah cantik. Aku sayang kamu apa adanya. Mau
gigimu kayak apa, aku tetep sayang kamu,” kata si Suami, mengakhiri perdebatan.
Setelah mengatakan itu, dia kemudian berdiri, meraih si Istri yang duduk di
hadapannya, menarik wajah istrinya, dan mengecup keningnya.
Di momen itu, saya rasanya ingin langsung berdiri dan
memberikan standing ovation untuk si
Suami. Saya suka sekali dengan kata-kata penutupnya. Termasuk dengan komunikasi
non verbal yang mengikuti verbalnya. Caranya menarik si Istri ke dalam
rengkuhan tangannya dan mengecup keningnya itu benar-benar membuat saya takjub.
Saya lumayan kaget masih ada laki-laki seperti itu saat ini.
Perdebatan itu lantas berhenti di situ. Tidak ada lagi
pembahasan tentang kawat gigi, bahkan sampai kami melanjutkan perjalanan
keliling pulau, mampir di pantai Bobane Ici, dan kemudian pulang. Sepertinya
kata-kata si Suami itu benar-benar kemenangan telak.
Pada dasarnya, saya tidak menyalahkan teman saya. Sebagai
seorang perempuan, tentunya dia selalu ingin terlihat cantik. Tidak hanya dia
sebenarnya, tapi hampir semua perempuan. Semua perempuan tentunya ingin
terlihat cantik. Hanya saja, terkadang, demi untuk terlihat cantik, seorang
perempuan menjadi terlalu berlebihan dan akhirnya menjadi lupa. Kadang karena
terlalu berfokus pada ‘menjadi cantik’ sesuai tuntutan sosial, kita menjadi
tidak lagi peduli pada berapapun biaya yang harus dikeluarkan, tidak peduli
walaupun akan menghabiskan biaya sampai berjuta-juta. Kadang kita tidak lagi
dapat berpikir logis dan tidak lagi bisa memprioritaskan kebutuhan. Kadang
membuat kita menjadi lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan. Dan
kadang kita menjadi lupa bahwa cantik itu tidak bisa digeneralisasikan. Kita
lupa baha setiap individu itu unik dan memiliki kecantikannya sendiri-sendiri.
Kita lupa bahwa mungkin hal-hal yang membuat kita merasa jelek (pada kasus
teman saya ini adalah bentuk gigi, misalnya)bisa jadi adalah magnet yang
sebenarnya menarik pasangan kita. Bukannya dari jutaan wanita di luar sana
akhirnya si Suami memilih dia? Ketika seorang laki-laki telah menjatuhkan
pilihan kepada seorang perempuan, saya rasa dia telah memilih untuk menerima
perempuan itu apa adanya. Ya, pastinya ketika kita dan pasangan kita telah memutuskan
untuk berjalan bersama-sama, tugas kita adalah tetap memperbaiki diri
masing-masing dan saling mengisi, saling memperbaiki. Tapi, ketika pasangan kita
tidak lagi menemukan masalah dari diri kita, apa tidak sebaiknya kita bersyukur
saja dengan apa adanya kita?
Intinya, sebenarnya saya cemburu pada sepasang anak manusia itu. Komunikasi di antara mereka bisa berjalan begitu baik. Sebagai seorang istri, dia begitu menghormati suaminya. Dia masih meminta ijin kepada suaminya pada setiap hal yang dia lakukan. Dan suaminya begitu menghargai istrinya, begitu melindunginya. Yah, semoga setiap kita bisa menjadi diri yang mencintai pasangan
kita apa adanya mereka, menerima setiap kelebihan dan kekurangan mereka, dan bersama-sama
selalu memperbaiki diri. Amiin, InshaAlloh. J
Komentar