Hujan Turun Terlalu Pagi
Hujan yang baru saja reda masih meninggalkan aromanya. Tanah yang aku injak masih basah oleh sisa hujan tadi. Ah, aku membencinya. Aku membenci bau ini, bau tanah yang tersiram hujan. Benci sekali karena hujan, aromanya, dan hawanya selalu membuat hatiku ikut merasa dingin, membuatku ingin menangis. Entah kenapa. Langkahku kuhentikan di depan pintu gerbang yang terbuat dari susunan seng itu. Aku mengecek ulang alamat yang ada di kertas di genggaman tanganku. Aku tidak salah alamat. Nomor yang tertulis pada gerbang itu sama dengan nomor yang tertulis pada kertas di tanganku. Aku mendongak, berusaha membayangkan seperti apa keadaan di balik pintu besar itu. Tempat itu terlihat seperti tanah kosong penuh pepohonan tak terurus. Beberapa puncak pohon yang lumayan tinggi nampak menyembul dari atas pagar tinggi yang terbuat dari seng tebal, sama dengan gerbangnya. Mungkin aku salah alamat. Mungkin kebetulan saja nomornya sama dengan alamat yang aku cari. Tidak mungkin ada ...