Hujan Turun Terlalu Pagi
Hujan yang
baru saja reda masih meninggalkan aromanya. Tanah yang aku injak masih basah
oleh sisa hujan tadi. Ah, aku membencinya. Aku membenci bau ini, bau tanah yang
tersiram hujan. Benci sekali karena hujan, aromanya, dan hawanya selalu membuat
hatiku ikut merasa dingin, membuatku ingin menangis. Entah kenapa.
Langkahku
kuhentikan di depan pintu gerbang yang terbuat dari susunan seng itu. Aku
mengecek ulang alamat yang ada di kertas di genggaman tanganku. Aku tidak salah
alamat. Nomor yang tertulis pada gerbang itu sama dengan nomor yang tertulis
pada kertas di tanganku. Aku mendongak, berusaha membayangkan seperti apa
keadaan di balik pintu besar itu.
Tempat itu
terlihat seperti tanah kosong penuh pepohonan tak terurus. Beberapa puncak
pohon yang lumayan tinggi nampak menyembul dari atas pagar tinggi yang terbuat
dari seng tebal, sama dengan gerbangnya. Mungkin aku salah alamat. Mungkin
kebetulan saja nomornya sama dengan alamat yang aku cari. Tidak mungkin ada
orang yang tinggal di tempat seperti ini. Ah, rasanya semua ini salah. Aku
bahkan tidak ingat untuk apa aku di sini. Mungkin sebaiknya aku pergi saja.
Aku sudah
hampir melangkah pergi sewaktu pintu gerbang itu bergerak. Seseorang membukanya
dari dalam. Tak lama, sebuah wajah muncul dari sela pintu yang terbuka itu.
Kakek itu menatapku, mengamatiku dari atas kepala sampai kakiku. Bibirnya
lantas melengkung, membentuk sebuah senyuman dan dia membuka gerbang lebih
lebar lagi.
“Aah.. mari
masuk,” katanya. “Sudah ditunggu dari tadi.” Sebelah tangannya melambai-lambai,
memberiku tanda untuk masuk.
Aku menurut
dan melangkahkan kakiku melewati pintu gerbang yang segera kembali ditutup
begitu aku masuk. Aku tidak salah. Apa yang ada di sebalik pintu itu sama
dengan yang aku bayangkan sebelumnya; sebuah kebun tak terurus. Tanah kosong
yang dipenuhi pepohonan, semak, dan rerumputan yang dibiarkan tumbuh liar.
“Mari, Nak.”
Kakek-kakek itu memintaku mengejar langkahnya masuk semakin ke dalam kebun yang
lebih pantas disebut hutan itu.
Buru-buru
aku mengikuti langkahnya, menapaki jalan kecil. Mirip sekali dengan jalan
setapak di hutan lindung tempatku mengadakan kemping sewaktu SMA dulu.
“Nah, itu.”
Aku
mengikuti arah yang ditunjuk oleh kakek-kakek itu. Seketika langkahku terhenti.
Seorang lelaki berdiri tak jauh dariku, memunggungiku. Dia sedang sibuk
mengamati sebuah pohon. Entah pohon apa. Aku tidak peduli. Yang aku pedulikan
adalah dia yang berdiri di sana, yang kemudian berbalik begitu kakek tadi
membisikkan sesuatu kepadanya.
Dia tidak
banyak berubah. Ah, dia bahkan sama sekali tidak berubah dari terakhir kali aku
melihatnya delapan belas tahun yang lalu. Kedua mata itu… Hidung itu… Bibir
itu… Wajah itu… Aku tidak salah. Memang dia. Ya, aku tidak salah. Benar-benar
dia.
Aku sudah
hampir melompat kegirangan dan berlari masuk ke dalam pelukannya sewaktu dia
melangkah ke arahku. Tapi aku urung sewaktu melihat senyumannya. Senyuman itu,
berbeda sekali dengan yang ada di ingatanku. Dia tidak pernah tersenyum seperti
itu sebelumnya padaku. Bukan, itu bukan senyuman tulusnya padaku dulu. Itu
lebih seperti senyuman basa-basi yang sering dia berikan pada orang-orang yang
baru dia temui.
“Apa kabar?”
tanyanya begitu sampai di hadapanku. Dia mengulurkan tangannya. “Saya sudah
menunggu dari tadi.”
Perlahan aku
mengulurkan tanganku, menyambut tangannya dan memaksakan sebuah senyuman.
Genggaman tangannya juga masih sekuat dulu. Tangan itu masih sama di mataku.
Tangan yang sama yang dulu sering menggenggam tanganku ketika kami melangkah
bersama. Tangan yang sama yang dulu sering mengacak rambutku dan membelai
kepalaku.
Seharusnya
aku bahagia. Ya, seharusnya kebahagiaan yang memenuhi dadaku sekarang. Setelah
sekian lama aku tidak melihatnya akhirnya aku bisa bertemu lagi dengannya.
Seharusnya kebahagiaan yang aku rasakan, bukan rasa sakit yang luar biasa
menyayat ini. Tapi kenyataannya memang begini. Kenyataannya dadaku terasa
sangat sakit karena aku sadar, dia tidak mengenalku, dia tidak mengingatku.
“Maaf,”
hanya kata itu yang terucap dariku. Dengan tidak rela, aku melepaskan genggaman
tangannya.
“Rumahnya
ada di sebelah sana.” Dia menunjuk ke arah di belakangnya, ke ujung jalan
setapak, lebih masuk lagi ke dalam ‘hutan’ ini.
Aku tidak
memahami apa yang dia katakan. Aku bahkan sampai sekarang belum paham untuk apa
aku di sini. Tapi aku tidak terlalu memikirkan itu sekarang. Pikiranku sudah
teracuni oleh besarnya rasa rinduku padanya yang sekarang ini seolah-olah
meluap, membanjiri setiap pembuluh darahku, menggenangi setiap sel tubuhku.
“Kamu Ria,
kan?” tanyanya, meyakinkan dirinya sendiri, seolah membaca ketidakmengertianku
dengan semua ini.
“Bukan, Pak.
Saya Ria. Ini teman saya.”
Aku menoleh
dan menemukan kak Ria, teman sekantorku, tiba-tiba sudah ada di sisiku. Entah
darimana dia datang.
“Oh, kamu
yang namanya Ria?” Dia bertanya dan kembali mengulurkan tangannya, kali ini
kepada Kak Ria.
“Iya, Pak.
Maaf saya terlambat.” Kak Ria tersenyum, nampak bersalah.
“Pantas dia
sepertinya bingung.” Dia tersenyum, berpaling padaku. “Ya sudah. Mau lihat
rumahnya sekarang?” tanyanya.
“Iya kalo
boleh,” jawab Kak Ria cepat.
“Ya udah.”
Dia mengajak kami melangkah bersamanya.
Aku memilih
melangkah di belakangnya, membiarkan Kak Ria berada di sisinya, sibuk
mengobrolkan tentang entah. Aku memilih berada di sini, di belakangnya. Aku
ingin puas menatapnya. Aku ingin memandangi dengan puas punggung itu, punggung
yang selalu aku peluk erat ketika dia menggendongku dulu. Aku ingin puas
memandangi rambutnya yang bergelombang itu, yang dulu sering aku tarik-tarik
dengan sembarangan ketika aku berada dalam gendongannya.
Aku
menurunkan pandangan, menatap kedua kakinya. Sepasang sendal kulit menempel di
sana, sendal yang bahkan sama persis dengan sendal yang dulu suka sekali dia
pakai. Sendal yang meninggalkan jejak di tanah basah yang dia lewati. Aku
tersenyum dan menghentikan langkahku sesaat sebelum kemudian menempatkan kakiku
di jejaknya. Aku kemudian memulai kembali permainan itu, permainanku dulu,
permainan mengikuti jejak. Aku menempatkan setiap kakiku tepat di setiap jejak
yang dia tinggalkan. Ah, tapi lagi-lagi rasanya berbeda sekali. Seingatku, dulu
aku merasa begitu senang dan bersemangat setiap kali aku berhasil menindihkan
kakiku tepat di atas jejak yang dia tinggalkan. Seingatku, ada hormon-hormon
kebahagiaan yang menyembur dari dalam otakku setiap kali aku bisa membuat
kakiku mengikuti jejaknya dengan tepat. Bukan rasa sakit seperti ini.
“Rumahnya
lama tidak diurus. Tapi saya yakin jika dibersihkan akan masih sangat bagus.”
Pandanganku
kembali aku tegakkan sewaktu aku mendengar suaranya. Aku menghentikan langkah.
Kami sudah berada di depan sebuah rumah yang sama tidak terurusnya dengan
‘hutan’ ini. Kurasa rumah itu belum sepenuhnya jadi. Dindingnya yang terbuat
dari batu bata belum ditutup oleh semen. Kusen-kusen pintu dan jendelanya masih
menunjukkan warna asli kayu, sama sekali belum disentuh seni.
“Ayo masuk,”
ajaknya.
Dia kemudian
kembali asik mengobrol dengan Kak Ria. Aku kembali berusaha mengulangi semua
hal yang seingatku selalu bisa menghadirkan kebahagiaan untukku ketika
bersamanya dulu.
“Duduk,”
katanya, mempersilakan aku dan Kak Ria duduk di kursi yang ada di ruang tamu
rumah itu. Dia lantas duduk di hadapan kami.
Aku masih
saja menatapnya. Wajah itu benar-benar tidak berubah, masih semuda dan setampan
dulu. Sepertinya dia sudah beberapa waktu tidak bercukur. Dagunya dihiasi
rambut-rambut yang mulai tumbuh dengan sembarangan. Ah, aku ingat aku dulu suka
sekali memainkan tanganku di sana, suka sekali merasakan sensasi geli di
tanganku. Aku ingat dia dulu juga suka sekali meletakkan janggutnya,
menggosok-gosokkan jenggotnya yang baru tumbuh pendek itu ke pipiku, membuatku
tertawa kegelian lalu memasukkanku ke dalam pelukannya begitu aku berteriak
menyerah.
Denyut
jantungku memacu sewaktu aku sadar, dia tengah menatapku. Dia tersenyum
mendapati keterkejutanku. Senyuman itu sama persis dengan senyuman yang dulu
selalu dia berikan padaku. Dia menatapku. Dia memandangiku dengan senyuman
masih menghiasi wajahnya. Dia terus memandangiku dengan tatapan penuh kasih
sayang, sama seperti yang biasa dia berikan padaku dulu. Dia mengingatku. Ya.
Aku yakin sekali dia mengingatku sekarang.
“Kamu sudah
besar, ya?” katanya sambil masih saja menatapku dan tersenyum. Dia menopang
wajahnya dengan sebelah tangan.
Kedua ujung
bibirku bergerak cepat membuat sebuah senyuman di wajahku. Dia benar-benar
mengingatku. Aku menoleh pada Kak Ria, ingin membagi kebahagiaan yang tiba-tiba
datang ini. Tapi, dia sudah tidak ada lagi di sisiku. Sekarang ini hanya
tinggal aku dan dia, masih terduduk di kursi yang sama, di dalam ruang tamu
yang sama. Hanya berdua.
Air mataku
tidak lagi bisa kutahan. Cairan itu mulai mengalir keluar dari kedua mataku,
mengaburkan pandanganku, mengaliri pipiku dan jatuh di pangkuanku.
“Kok
nangis?” tanyanya. Dia menegakkan tubuhnya, menatapku, tapi tidak beranjak dari
kursi yang dia duduki. “Adik nggak seneng ketemu bapak?”
Pertanyaan
itu terdengar ringan sekali keluar darinya. Tidakkah dia sadar kalo rinduku
padanya sudah begitu tebal?
Ah, aku jadi
teringat suatu sore di Banyuwangi. Dulu, sewaktu Bapak mendapatkan tugas ke
Bali berminggu-minggu dan aku tidak bisa bertemu dengannya. Sewaktu telepon
belum ada, apalagi video chat. Sewaktu hubunganku dengannya hanya bisa aku
lakukan lewat surat. Sewaktu satu-satunya caraku untuk menumpahkan rindu
padanya adalah dengan memeluk sarung yang mengandung aroma tubuhnya, yang tidak
seorangpun aku ijinkan untuk menyentuhnya apalagi mencucinya selama
berminggu-minggu. Aku ingat sore itu, setelah beberapa minggu aku tidak
melihatnya, aku dan ibu menjemputnya ke Banyuwangi dan hal yang sama dengan
hari ini terjadi. Aku membeku, tidak mampu bergerak, hanya duduk menatapnya
dengan kedua mata yang basah dan dia hanya memandangiku dengan senyuman dan
melontarkan pertanyaan yang sama yang dia lontarkan tadi. Kenapa aku menangis.
Dadaku
tiba-tiba terasa sakit lagi. Rasa sakit ini jauh lebih sakit dari yang aku
rasakan ketika dia tidak mengenalku tadi. Rasa ini lebih menyayat daripada rasa
sakit yang aku rasakan sewaktu aku hanya bisa memandangi punggungnya tadi,
lebih hebat dari ketika aku hanya bisa berusaha mengikuti jejaknya tadi.
Sekarang dadaku terasa sakit sekali karena aku sadar, ini semua tidak nyata.
Ini semua hanya mimpiku.
“Dik, kok
malah nangis?” tanyanya lagi tanpa berusaha mendatangiku atau memelukku erat
seperti yang sedang aku inginkan sekarang.
Aku menghela
napas. “Karena adik tahu ini cuma mimpi dan waktu adik bangun nanti, bapak
nggak akan ada lagi.”
Bapak masih
menatapku. Dia masih saja tidak mendatangiku. Bapak hanya tersenyum menatapku.
Suara hujan
membangunkanku. Aku merasakan bantalku basah oleh air mataku yang semakin deras
menetes. Aku masih terisak, dadaku masih sakit, dan rinduku pada bapak masih
saja setebal sebelumnya. Sial! Seharusnya aku tidak usah memintanya hadir di
dalam mimpiku. Seharusnya aku tidak perlu protes ketika ibuk bercerita
bagaimana bapak masih begitu sering mengunjunginya dalam mimpi. Seharusnya aku
tidak perlu memintanya mengunjungiku. Seharusnya aku tahu, aku tidak setegar
ibuk.
Aku masih
saja terisak, tak peduli berapa kalipun aku berusaha menarik napas panjang. Ah,
ini mungkin karena hujan di luar itu.
Mungkin karena aroma hujan itu. Mungkin karena hawa dingin yang dibawa hujan
itu. Ya, pasti karena itu tangisku seolah tak mau terhenti. Karena hujan yang
turun terlalu pagi itu! Tamat (Ternate, 19 Juli 2013)
Ya Alloh tolong jaga bapak, ampunilah dosa-dosanya, terimalah amal ibadahnya, sayangilah bapak seperti bapak dulu begitu menyayangiku sewaktu aku masih kecil. Amin. Happy father's day, Dad. I love you, miss you... *kiss*
Komentar