Kado dari Alloh
Saya baru saja terkena tamparan. Beberapa
kali berturut-turut.
Ceritanya, sebenarnya, saya baru
saja mendapatkan beberapa kejutan yang menyenangkan sekitar awal Desember tahun
lalu. Awal bulan itu saya mendapat tugas membimbing mahasiswa praktik klinik di
Jakarta. Momen itu sekaligus saya jadikan ajang bersilaturahim dengan keluarga
ibuk saya yang di Bogor dan sekalian janjian bertemu dengan Ibuk karena sudah
empat bulan sejak pertemuan saya dengan beliau. Nah, sewaktu di Bogor saya
mendapat hadiah dari seorang teman. Karena saya buru-buru harus kembali ke
Jakarta, hadiah itu langsung saya masukkan ke dalam tas begitu saja, tidak saya
buka. Baru kemudian ketika sudah sampai di tempat menginap, saya membukanya.
Awalnya, saya kira kain berwarna pink itu adalah kain batik, entah masih dalam
bentuk kain, baju, atau pasmina. Tapi ternyata benda cantik itu adalah sebuah
sajadah. Ajaibnya, sajadah itu adalah sajadah yang sama dengan apa yang saya
inginkan. Ya, beberapa hari sebelumnya saya memang berencana untuk membeli
sajadah batik. Saya sedang membutuhkan sajadah yang tidak terlalu tebal
sehingga mudah untuk saya bawa kemana-mana. Namun, saya pikir karena di akhir
Desember saya akan pulang kampung, jadi saya menunda keinginan saya sampai
pulang kampung nanti saja. Tidak disangka, saya malah mendapatkannya secara
gratis. Betapa menyenangkannya. Ditambah lagi, sajadah itu adalah hadiah dari
seorang teman yang istimewa dan kebetulan saya juga lupa membawa sajadah.
Lengkap sudah. Kebutuhan saya terpenuhi secara gratis.
Kejutan untuk saya tidak berhenti
di sini. Sekitar dua minggu kemudian saya kembali mendapatkan hadiah istimewa.
Kebiasaan saya setiap kali pulang kampung, tempat pertama yang saya tuju adalah
toko buku. Maklum, di kota tempat saya bermukin sekarang ini saya kurang bisa
update buku baru. Namanya juga jauh dari pusat negara. Hehe.. Makanya setiap
kali pulang, saya selalu menyempatkan diri berburu buku. Malam itu, sewaktu ada
janji bertemu dengan teman-teman kuliah, sambil menunggu mereka datang, saya
menghabiskan waktu di toko buku. Malam itu saya sempat melirik dua buah buku; “Inferno”,
novel karya Dan Brown dan “Gurunya Manusia”, sebuah buku tentang pendidikan.
Saya pikir, karena saya masih akan lama berada di Solo, jadi saya belum berniat
membelinya malam itu. Dan yah, seperti kasus sebelumnya, dua hari kemudian saya
mendapatkan buku itu secara gratis. Teman saya dari Bogor yang waktu itu
memberi saya sajadah kebetulan sedang ada acara keluarga di Solo juga. Jadi
kami janji bertemu dan dia memberikan hadiah lagi kepada saya; Inferno. Saya
bahagia? Tentu saja. Karena sebenarnya, bisa bertemu dengannya saja, saya sudah
sangat bahagia. Apalagi ini, dia membawakan saya hadiah buku yang sedang saya
taksir.
Sampai di sini, saya masih begitu
menikmati kebahagiaan saya. Saya baru menyadari bahwa sebenarnya ini adalah
sebuah tamparan beberapa hari yang lalu ketika hal yang sama kembali berulang.
Beberapa hari yang lalu kejadian
ini berulang. Sewaktu sedang pusing-pusingnya menguji praktika, anak kelas saya
memanggil saya dan memberi saya sebuah bingkisan, sebuah jaket berwarna merah
dan abu-abu yang cantik sekali. Model jaket itu adalah model yang sudah lama
saya idam-idamkan. Sejak pertengahan tahun yang lalu, saya sudah ingin sekali
membeli jaket dengan model itu. Hanya saja, waktu itu saya pikir saya belum
terlalu membutuhkannya karena saya masih mempunyai jaket yang masih bisa
dipakai. Jadi, saya mengurungkan niat saya untuk membeli jaket baru. Dan
alhamdulillah kemarin akhirnya saya mendapatkannya secara gratis. Kata
anak-anak kelas, jaket itu adalah hadiah ulang tahun saya. Apakah saya bahagia?
Saya tidak tahu dengan pasti.
Ya, saya tidak tahu dengan pasti.
Saya memang bahagia karena untuk kesekian kalinya Alloh memberikan saya apa
yang selama ini saya inginkan. Apalagi saya mendapatkannya melalui perantara
manusia-manusia istimewa yang saya sayangi. Tapi di saat yang bersamaan, saya
merasa tertampar. Ada rasa malu yang luar bisa besar yang muncul siang itu.
Saya malu karena saya diingatkan betapa penyayangnya Alloh itu. Saya malu karena
Alloh masih menyayangi saya, memberikan apa yang sayang saya minta padahal saya
ini adalah anak nakal. Iya. Saya ini anak nakal yang belum bisa selalu tepat
waktu menjalankan kewajiban, yang setiap kali mendengar panggilan masih saja
menunda-nunda. Saya ini anaka nakal yang masih saja sering melakukan apa-apa
yang dilarang olehNya. Saya ini anak nakal yang tidak tahu berterimakasih,
belum bisa sepenuhnye bersyukur. Saya ini anak nakal yang seringnya masih
selalu mengeluh, selalu protes, selalu iri pada kebahagiaan orang lain. Saya
ini anak nakal yang selama ini masih saja melihat kekurangan, melihat
kesusahan, mengeluhkannya tanpa pernah mau melihat kebahagiaan lain, berkah
lain yang sebenarnya jauh lebih besar dari penderitaan atau kesusahan yang saya
dapatkan. Saya ini anak nakal yang hanya bisa menuntut ini dan itu tapi sering
melalaikan kewajiban saya sendiri.
Yah, saya memang sudah tahu bahwa
Dia Maha Penyayang. Tapi saya tidak menyangkan bahwa Dia se-Penyayang ini. Sekarang
bagaimana saya tidak malu coba jika saya senakal itu tapi Alloh masih tetap
sayang pada saya? Saya malu. Saya tertampar oleh kasih sayang-Nya.
Komentar