Menuntaskan Rasa
I choose to love you in silence for in my silence I find no rejection.
I choose to love you in my loneliness for in my loneliness no one owns you but me.
I choose to adore you from a distance for distance shields us both from pain.
I chose to imprison you in my thoughts cause in my thoughts, freedom is for me to decide
I choose to kiss you on the wind for the wind is gentler than my lips.
I choose to hold you only in my dreams for in my dreams there is no end..
Merasa sepaham atau bahkan senasib sepenanggungan dengan quote itu? Bagi yang mengatakan iya, pastinya tahu bagaimana rasanya menjadi pengagum rahasia. Saya rasa, hampir semua orang pasti pernah menjadi seorang pengagum rahasia. Diam-diam mencintai seseorang, memikirkannya setiap saat, tetapi tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan. Hasilnya, ya seperti quote itu; memilih mencintai dalam diam.
Ada beberapa alasan mengapa
seseorang memilih menjadi seorang pengagum rahasia. Namun, hal yang paling
sering menjadi alasan adalah karena kurangnya rasa percaya diri dan sudah
terlanjur masuk dalam zona pertemanan (friend
zone). Ketika seorang laki-laki dan perempuan sudah masuk ke zona
pertemanan biasanya akan sangat sulit untuk mengakui bahwa mereka menginginkan
untuk menjadi lebih dari sekedar teman. Merasa sudah nyaman dengan hubungan
yang ada dan takut jika mengungkapkan rasa dan ditolak maka hubungan akan
menjadi renggang dan akan kehilangan apa yang sudah ada. Saya pun pernah
merasakannya.
Cinta monyet saya adalah teman
sebangku saya ketika SD dulu. Hehehe… Iya, sepertinya saya dulu terlalu cepat
matang. Saya sudah lupa mengapa saya begitu naksir padanya. Mungkin karena dulu
dia terus menerus menjadi ketua kelas, sosok pemimpin yang nampak kalem dan
pendiam tapi begitu menjadi teman sebangku, dia berubah menjadi sosok yang
begitu menyenangkan, ramai, dan momong
saya. Sayangnya, saya tidak pernah punya keberanian untuk mengungkapkan
perasaan saya yang sebenarnya karena kami sudah terlanjur menjadi dekat sebagai
teman. Waktu itu saya juga berpikir bahwa saya ini perempuan dan bukan haknya
perempuan untuk mengungkapkan rasa suka apalagi cinta. Saya juga tidak
membayangkan akan sanggup menghadapi penolakan dari dia dan kemudian kehilangan
teman saya jika saya mengungkapkan perasaan saya yang sebenarnya. Jadi saya
memendamnya dan menunggu, berharap dia akan mengungkapkan perasaannya terlebih
dahulu. Saya menghabiskan waktu lama untuk menunggunya. Berapa kalipun menjalin
hubungan dengan laki-laki lain, sebenarnya saya tetap menunggunya. Setiap kali
putus, saya akan kembali padanya, menunggunya. Selalu seperti itu. Saya baru
benar-benar berhenti menunggu enam belas tahun kemudian.
Di ‘Enam belas tahun kemudian’
itu, saya dipertemukan kembali dengan teman SMP-SMA saya yang dulu ketika masih
bersekolah di bawah satu atap, sama sekali tidak saya kenal. Saya hanya sekedar
tahu bahwa dia satu sekolah dengan saya dan tinggal di dekat rumah saya. Laki-laki
inilah yang memaksa saya untuk menuntaskan rasa saya, jadi saya akan
menyebutnya si Pemaksa. Si Pemaksa terus menantang saya, terus mengatakan bahwa
saya pengecut dan menyia-nyiakan waktu saya untuk menunggu sesuatu yang tidak
pasti. Awalnya saya juga terus menerus mengatakan alasan saya bahwa saya takut
kehilangan kedekatan kami, takut kehilangan dia. Tapi kemudian setelah beberapa
kali paksaan dan cemoohan darinya, saya menuntaskan rasa saya. Saya menghubungi
cinta monyet saya itu, meminta waktunya, dan mengungkapkan rasa saya yang
sebenarnya. Dia menjawab ungkapan panjang lebar saya dengan pendek, “Aku tahu.
Tapi maaf, selama ini aku anggap kamu sahabatku”. Sebelumnya saya membayangkan
bahwa ditolak olehnya akan sangat menjatuhkan mental saya dan membuat saya
stress. Ajaibnya, saya tidak apa-apa. Saya tidak menangis. Saya justru merasa
begitu lega. Semuanya menjadi jelas dan saya bisa mulai menata hidup saya dan
menjalin hubungan yang baru tanpa perlu ada bayang-bayang dari dia lagi.
Selesai menuntaskan rasa itu, saya menghubungi si Pemaksa yang dengan seenaknya
dan tanpa perasaan menyambut cerita saya dengan, “Sudah lega? Gimana? Pasti
ditolak!”. Memang manusia satu itu, sepertinya dia tidak mengenal yang namanya
basa basi. Tapi ya saya berterimakasih Alloh memperkenalkan saya dengannya yang
telah membuat saya akhirnya merasa terbebas.
Ada beberapa hal dari obrolan
saya dan si Pemaksa ini yang menjadi pendorong saya untuk akhirnya menuntaskan
rasa;
1.
Alloh sudah mengatur jodoh setiap orang. Sekuat
apapun kita pertahankan, jika memang bukan jodoh kita, maka dia akan lepas
juga. Tapi bukan berarti kita hanya diam menunggu jodoh itu datang dengan
sendirinya. Jodoh itu harus disambut.
2.
Memendam perasaan itu sebenarnya adalah tindakan
bodoh. Ada baiknya perasaan itu diungkapkan. Si Pemaksa mengatakan kepada saya
bahwa dia juga pernah memendam rasanya terhadap cinta pertamanya dan beberapa
tahun kemudian dia menyesali pilihannya ketika secara tidak sengaja dia
dipertemukan dengan cinta pertamanya yang saat itu sudah menikah. Karena merasa
posisi sudah aman, dia akhirnya mengungkapkan perasaannya yang dijawab dengan, “Sebenernya
dulu aku juga suka sama kamu”. Katanya, di titik itulah dia memutuskan untuk
tidak lagi memendam rasa. Sebaiknya diungkapkan saja supaya ada kepastian. Jika
diterima ya alhamdulillah, jika ditolak ya artinya kita bisa melanjutkan hidup
tanpa ada beban tentang rasa yang menggantung.
3.
Perempuan itu juga punya hak untuk mengungkapkan
rasa karena tidak semua laki-laki itu punya keberanian untuk mengungkapkan
rasanya. Laki-laki itu juga manusia yang punya rasa takut.
Jadi, masih berniat memendam rasa? Sudah, tuntaskan saja biar jelas semuanya. Kata orang, “Love hurts when you break up with someone. It hurts even more when someone break up with you. But love hurts the most when the person you love has no idea how you feel”.
Good luck. J
Komentar