Di Ujung Pelangi
Aku melemparkan
pandangan ke luar jendela untuk kesekian kalinya. Hari ini langit mendung,
membuatku tidak bersemangat mendengarkan kata-kata Pak Tri yang sedang
menerangkan tentang bangun ruang di depan kelas. Lebih parahnya, mendung ini
sepertinya juga membuat kesedihanku menjadi-jadi. Sudah berbulan-bulan aku
teracuni oleh kesedihan ini; aku merindukanmu. Aku sangat ingin melihat
senyummu, mendengar suaramu, merasakan sentuhan tanganmu di kepalaku. Mungkin,
ini saatnya aku pergi menemuimu.
Buku catatan
yang sama sekali tidak aku gunakan seharian ini langsung aku masukkan ke dalam
tas begitu guru yang sudah mengajar
selama dua jam itu mengakhiri pelajaran. Aku harus segera menemuimu sebelum
hujan turun. Lebih tepatnya, sebelum pelangi datang karena sebenarnya, setiap
kali ada pelangi, yang aku inginkan adalah berdiam di sisimu, bersamamu
menikmati pelangi. Hanya saja, beberapa bulan ini aku menahan keinginan itu. Aku
masih kesal padamu.
Kamu pastinya
masih ingat. Hari itu juga mendung seperti ini. Hari itu untuk kesekian kalinya
aku bertengkar dengan mama, mepertengkarkan tentang kedekatan kita. Dan hari
itu, untuk kesekian kalinya pula, aku lari dari rumah, mencoba mencari
perlindungan padamu.
“Aku nggak mau pulang! Aku mau di sini!” teriakku.
“Aku harus nganter kamu pulang!” katamu tegas seraya
meraih jaket yang tergantung di sandaran kursi kerjamu.
Sore itu aku berlari dari rumah dengan kekesalan
yang memuncak, muak dengan mama yang setiap hari hanya mengomel karena harus
menjemputku di rumahmu. Aku muak karena mama bahkan tidak pernah punya waktu
buatku, tapi tidak rela jika aku lebih dekat denganmu daripada dengannya. Sore
itu, aku mendatangimu, berharap, seperti biasa, kamu akan menerimaku,
menghiburku, atau hanya membiarkanku berdiam memperhatikanmu yang sedang sibuk
berkutat dengan buku yang coba kamu selesaikan. Tapi, sore itu kamu tidak
seperti biasanya.
“Aku nggak mau pulang,” kataku sekali lagi.
Kamu menghela napas, menatapku tanpa kata. Lalu
melangkah cepat ke arahku dan menarik tanganku, memaksaku untuk pulang.
“Aku mau di sini!” Aku berusaha melepaskan tanganku
dari genggamanmu. Tapi, aku tidak menyangka kamu sekuat itu.
“Seta! Kamu harus pulang. Tempatmu itu bersama
mamamu!” Kamu mempertahankan genggamanmu di tanganku dan menarikku menuju mobil
bututmu yang terparkir di halaman rumah.
Aku diam, menurutimu masuk ke dalam mobil dan duduk
di sisimu. Padahal sebenarnya, ada amarah yang siap memberontak keluar dari
dalam hatiku.
Sore itu, untuk
pertama kalinya, aku membencimu. Selama ini kamu selalu ada untukku. Lalu,
secara tiba-tiba dan tanpa aku tahu kenapa, kamu tiba-tiba tidak menjawab
telpon, tidak menjawab pesan-pesanku, dan bahkan melarangku datang ke rumahmu.
Awalnya aku
pikir, aku tidak akan apa-apa. Awalnya aku menekan kuat-kuat keinginanku untuk
bertemu denganmu. Aku berusaha tidak menginginkan mendengar cerita-ceritamu
tentang langit, hujan, dan pelangi lagi. Aku berusaha melupakan suara tawamu
dan sentuhan tanganmu di kepalaku yang selalu bisa membuatku merasa nyaman. Aku
berusaha tidak merindukanmu. Tapi, aku tidak bisa. Aku merindukanmu, semua
tentang kamu. Jadi kuputuskan hari ini aku akan menemuimu. Harus.
Hujan. Aku
menghentikan langkahku di anak tangga terakhir. Untuk sesaat aku hanya berdiri
mematung menatapi hujan yang turun di hadapanku sebelum kemudian membuka tasku
dan mengeluarkan jas hujan dari sana. Aku lantas menyumpalkan earphone di telingaku, menyalakan alat
pemutar musik, dan menutupi kepalaku dengan penutup kepala pada jas hujanku.
Aku mulai melangkah. Aku sudah siap menembusnya, menembus hujan.
“Ujung
pelangi itu kayak apa, ya? Pasti bagus banget,” tanyaku hari itu.
“Di ujung pelangi itu ada periuk berisi
kebahagiaan.”
“Hmm.. berarti kalo aku membutuhkan kebahagiaan, aku
cuma butuh nyari ujung pelangi?”
Kamu tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku.
“Ujung pelangi ada di mana?” Kedua mataku masih menatapi pelangi yang
sedang kita nikmati.
Kamu tersenyum. “Di mana saja dia dibutuhkan,”
jawabmu sembari mengaduk teh hangat di cangkir keramik.
“Aku sekarang membutuhkannya.”
“Kamu menginginkannya, belum membutuhkannya.” Kamu
berdiri di hadapanku dan menyerahkan salah satu cangkir keramikmu.
“Aku butuh, kok!” kataku ngeyel.
Kamu tersenyum, tidak menanggapi kata-kataku. Dan
obrolan kita akhirnya terhenti di situ, dihentikan oleh suara klakson mobil
mama. Aku harus pulang dan meninggalkanmu walaupun enggan.
Lagu Come Away with Me milik Norah Jones menemani
langkahku sekarang. Inginku juga seperti itu. Aku selalu suka setiap kali hujan
menyambutku bangun dari tidur. Kamu juga, kan? Kamu juga menyukai hujan,
menyukai baunya, menyukai nyanyiannya. Katamu suaranya cantik. Ah, kamu memang cowok
aneh. Kamu tidak seperti cook lainnya yang tidak suka bercerita tentang hal-hal
sentimentil seperti itu. Mungkin itu juga yang membuat mama tidak menyukaimu.
Mama selalu mengomel setiap kali tahu aku menemuimu.
“Mamamu itu sayang sama kamu. Dia khawatir sama
keadaan kamu. Aku juga selalu khawatir kalo kamu nggak ada kabarnya seharian.”
“Berarti kamu sayang aku?” tanyaku, menyimpulkan
kata-katamu.
Seperti biasa, kamu tidak menjawabnya dengan kata.
Kamu hanya tersenyum lalu mengacak rambutku.
Hujan masih
belum berhenti sewaktu aku sampai di depan rumahmu. Pintu rumahmu terkunci.
Untung aku selalu membawa kunci cadangan yang dulu pernah kamu berikan padaku.
Dengan cepat aku memutar kunci dan mendorong pintu kayu itu perlahan. Rumahmu
kosong. Tapi biarlah. Aku akan menunggu di sini. Toh hujan juga masih belum
berhenti.
Dan sekarang aku
terduduk di sini, di kursi ruang tamumu dengan hati yang semakin terasa
tersayat. Kupikir aku akan bisa mengobati rinduku dengan datang ke sini. Tapi
ternyata kerinduan ini semakin besar karena ruangan ini bau kamu, bau rokok bercampur
parfummu. Bau ini membuatku semakin ingin bertemu denganmu.
Hujan di luar sudah
berhenti. Aku melepas earphone yang
sedari tadi menyumpal telingaku, bergegas berdiri dan melangkah ke teras. Kamu
belum datang. Padahal pelangi sudah mulai muncul. Ah, aku benci seperti ini.
Inginku, ada kamu yang menemaniku melihat pelangi. Apalagi sewaktu aku sangat
merindukanmu seperti ini.
“Pelangi itu hadiah dari Tuhan untuk bumi.
Waktu itu hujan turun; bumi menangis.
Tuhan tidak ingin bumi menangis. Tuhan ingin bumi tersenyum. Makanya Dia
ciptakan pelangi,” katamu dulu.
Dulu aku percaya
itu. Aku percaya semua hal yang kamu ucapkan. Makanya, setiap kali aku
bersedih, aku selalu mencari pelangi dan itu selalu berhasil. Sayangnya,
sekarang tidak. Rasa sakit ini masih ada. Kamu di mana? Aku merindukanmu. Rasa
sakit karena merindukanmu, jauh lebih hebat daripada kekuatan kebahagiaan yang
dibawa pelangi. Aku butuh kamu, butuh melihatmu.
“Aku kira kamu sayang sama aku!” kataku, setengah
bergumam sewaktu kamu melajukan mobil unuk mengantarku pulang sore itu.
Kamu langsung menghentikan mobil dan beberapa kali
menghela napas sebelum kemudian berpaling padaku, menatapku.
“Ta, mamamu itu sayang sama kamu. Tolong jaga dia.
Dia cuma punya kamu.”
Aku diam menatapmu. Bukan kata-kata itu yang aku
harapkan keluar darimu. Apa kamu tidak mengerti? Aku hanya butuh teman dan
temanku itu kamu. Aku butuh kamu.
“Mamamu butuh kamu, Ta. Berusahalah kuat untuk dia.
Berusalahan selalu ada untuk dia. Berusahalah untuk memahaminya. Berhentilah
menuntut untuk selalu dipahami.” Kamu memalingkan wajah, menatap lurus ke arah
jalan yang membentang di hadapan kita. “Jangan mengulangi kesalahan yang pernah
aku lakukan,” katamu kemudian, lebih lirih dari sebelumnya.
Kamu di mana?
Aku benar-benar merindukanmu. Rasanya sakit sekali menelan rindu yang selalu
ingin keluar dari dadaku ini berulang-ulang. Aku membutuhkan kamu.
Tunggu. Ujung
pelangi. Katamu, di ujungnya ada periuk berisi kebahagiaan bukan? Katamu, aku
akan bisa menemukannya jika aku membutuhkannya bukan? Dan jika selama ini,
bahagiaku adalah kamu, tentunya aku akan menemukanmu di sana.
Aku dengan cepat
melangkah ke arah pelangi, menembus gerimis yang masih turun. Aku harus cepat.
Aku harus menemukannya sekarang. Rasa sakit ini semakin menyiksaku. Kesedihan
ini semakin merasukiku dan aku tidak menyukainya. Aku harus menemukan ujung
pelangi itu sekarang, secepatnya, sebelum pelangi itu menghilang dan sebelum
rasa sakit ini semakin menyiksaku.
“Seta itu artinya putih. Mamamu pengin kamu menjadi
manusia berhati bersih.” Sore itu, di momen pelangi kita yang lain, kamu
mengatakan hal itu. “Itulah kenapa dia begitu keras mendidikmu. Kenapa dia
punya begitu banyak aturan. Semuanya demi kamu. Kenapa kamu harus jujur
walaupun teman-temanmu berbohong, kenapa kamu harus selalu menjaga lisanmu
walaupun teman-temanmu bisa bicara sesukanya, kenapa kamu selalu menjaga
perbuatanmu walaupun teman-temanmu bisa sesuka hati mereka. Semua itu demi
kamu, demi masa depanmu. Demi kebahagiaanmu nanti.”
“Tapi semua aturan itu memuakkan. Teman-temanku nggak
terikat aturan-aturan itu dan mereka tetap bahagia, kok!” Suaraku meninggi.
“Semakin besar hujannya, pelanginya semakin bagus.”
Kamu tersenyum.
Langkahku
terhenti sewaktu akhirnya aku menemukannya. Sebuah jembatan tujuh warna dari
langit yang ujungnya menghujam ke jalan beraspal. Kamu benar, ujung pelangi itu
akan ada saat kita membutuhkannya. Tapi, di ujungnya tidak ada apa-apa. Tidak
ada periuk berisi kebahagiaan seperti yang kamu bilang. Tidak ada kebahagiaan.
Tidak ada kamu.
Dengan gontai
aku melangkahkan kakiku kembali ke rumahmu. Aku sudah tidak tahu lagi harus
melakukan apa lagi selain menangis. Sepertinya aku hanya akan kembali menelan
kerinduanku ini bulat-bulat.
Hari itu langit mendung semenjak pagi, tapi hujan
tidak turun. Padahal aku menanti hujan. Hari itu aku berharap hujan turun agar
aku bisa menyembunyikan air mataku di antara tetesannya dan menyembuhkan
kesedihanku dengan pelangi setelahnya. Tapi hujan tidak turun. Bahkan sampai
orang-orang itu menimbun tempat peristirahatan terakhirmu, hujan tetap tidak
turun. Jadi, aku menelan rasa sakit itu, kesedihan itu dan menahan sekuat
tenaga air mataku.
“Seandainya
mama tahu kalo papamu selama ini sakit, mama nggak akan melarang dia menemui kamu.
Maafin mama, Sayang,” kata mama. “Mama cuma takut kehilangan kamu. Sejak kami
bercerai, mama cuma punya kamu. Maafin mama.”
Tidak. Aku tidak menangis hari itu. Hari di mana
kamu pergi dan di hari-hari berikutnya. Aku mencoba menjadi kuat. Itu kan yang
kamu inginkan? Aku harus kuat untuk mama. Jadi aku tidak menangis.
“Seta.”
Aku mengangkat
wajahku sewaktu mendengar namaku dipanggil. Mama berdiri di pintu rumahmu. Dia
menatapku dengan mata yang basah. Dengan cepat mama melangkah ke arahku lalu
menarikku ke dalam pelukannya.
“Aku kangen, Ma.
Aku kangen banget,” isakku di dalam pelukan mama. Setelah sekian lama, akhirnya
aku menangis.
“Mama tahu. Maafin
mama waktu itu selalu memarahi kamu setiap kali kamu menemui papa. Maaf mama
selalu berusaha memisahkan kalian. Maaf mama nggak menyadari kalian saling
membutuhkan. Maaf.” Mama masih memelukku erat. “Menangislah, Sayang. Jangan
memendamnya terlalu lama. Kamu harus melepaskan semuanya. Let go.”
“Jangan lakukan kesalahan yang sama denganku. Jangan
mengusirnya dari hidupmu. Perpisahan kami adalah hal yang paling aku sesali
dalam hidupku. Jangan biarkan dia pergi.” Kamu kembali menoleh ke arahku.
“Tapi bahagiaku itu cuma papa,” kataku.
Sebelah tanganmu terulur, membelai kepalaku. “Bukan. Hati itu milik Tuhan. Kalo kamu menginginkan bahagia, mintalah padaNya. Hati itu ada di kamu. Bahagia atau tidak, tergantung dari pilihanmu, permintaanmu. Kita ini fana. Kalo kebahagiaanmu hanya aku, bagaimana jika aku harus pergi?” Tamat (Ternate, 30 April 2013)
Sebelah tanganmu terulur, membelai kepalaku. “Bukan. Hati itu milik Tuhan. Kalo kamu menginginkan bahagia, mintalah padaNya. Hati itu ada di kamu. Bahagia atau tidak, tergantung dari pilihanmu, permintaanmu. Kita ini fana. Kalo kebahagiaanmu hanya aku, bagaimana jika aku harus pergi?” Tamat (Ternate, 30 April 2013)
Cerpen ini pernah dimuat di majalah Kawanku No. 167/2013
Komentar