Ah, Sudah Biasa....
“Nduk, ponakanmu itu loh. Hla wong gempa banter banget, pas bobok tak angkat metu seko ngomah kok bareng tangi mung komen, ‘Ah, Titi. Cuma gempa aja, kok. Udah biasa’!”
(“Nduk, ponakanmu itu loh. Orang gempa keras sekali, waktu tidur ibu angkat keluar dari rumah, begitu bangun dia hanya berkomentar,’ Ah, Titi. Cuma gempa aja, kok. Udah biasa’!”)
Beberapa hari yang lalu ibu saya menelpon dan melaporkan hal itu pada saya. Ceritanya, akhir minggu kemarin, karena ada libur agak panjang, ibuk menginap di rumah kakak saya di Pacitan Jawa Timur, melepas kangen dengan anak dan cucu-cucunya. Kata ibuk, malam itu Pacitan gempa dengan goyangan yang lumayan keras sehingga dengan panik ibuk menggendong keponakan saya keluar rumah. Kata ibuk, begitu gempa reda dan ibu kembali membawanya masuk ke dalam rumah, ponakan saya berkomentar seperti itu. Katanya, dia sudah terbiasa dengan gempa seperti itu.
Sudah biasa…
Kalimat ini mungkin terdengar begitu simpel dan sangat
‘biasa’. Tapi ternyata tanpa kita sadari, kalimat ini sebenarnya adalah kalimat
yang amat sangat super berbahaya sekali bagi kelangsungan alam semesta. Maaf,
mungkin saya agak berlebihan. Hanya saja, pada kenyataannya kalimat ini memang
berbahaya.
Pernah dengar cerita tentang seekor katak yang dimasukkan ke
dalam sebuah panci berisi air yang kemudian dipanaskan? Kasus ‘ah sudah biasa’
ini pada dasarnya sama dengan cerita tentang katak itu. Oke, untuk yang belum
pernah dengar cerita ini, saya akan tuliskan sedikit. Jadi ceritanya (lagi), ada
seekor katak yang dimasukkan ke dalam sebuah panci berisi air. Namanya katak
diberi air, dia senang sekali, berenang kesana kemari di dalam panci itu.
Ketika panci mulai diletakkan di atas api, si katak masih merasa senang, masih
berenang kesana kemari. Lima menit kemudian ketika air sudah mulai hangat, si
katak masih tidak peduli. Dia masih saja berenang, tidak peduli pada air yang
sebenarnya sudah mulai terasa hangat. Dia malah mulai membiasakan diri terhadap
hal itu. Lima belas menit kemudian, ketika air sudah mulai panas dan mendidih,
si katak ini baru sadar, baru merasakan ketidaknyamanan. Tapi semuanya sudah
terlambat. Si katak sudah tidak punya waktu lagi untuk menyelamatkan diri. Hmm…
agak tidak berperikehewanan sebenarnya ya cerita ini? Tapi ini hanya cerita
saja. Sebuah cerita yang mengingatkan kepada kita untuk tidak terlena, untuk
tidak merasa ‘sudah biasa’.
Nah, di situlah berbahayanya si ‘ah sudah biasa’ ini.
Kondisi ini membuat kita terlena, merasa nyaman dengan apapun kondisi kita
bahkan ketika sebenarnya kita sedang berenang di sungai yang arusnya membawa
kita ke arah jurang yang dalam. Kondisi ini seringnya membuat kita lantas
mengabaikan tanda bahaya sehingga pada akhirnya kita sudah sangat terlambat
sadar dan kondisi ini membunuh kita. Sama seperti si katak di dalam panci tadi.
Lucunya, ternyata di dunia ini (dunia yang pernah saya masuki), banyak sekali
orang yang sudah terkena virus ‘ah sudah biasa’. Datang kuliah terlambat? Ah
sudah biasa. Membolos kuliah? Ah sudah biasa. Mencontek sewaktu ujian? Ah sudah
biasa. Tidak menjalankan tanggung jawab? Ah sudah biasa. Menyalahi komitmen
bersama? Ah sudah biasa. Pokoknya, asal nyaman di badan, tidak menimbulkan efek
bahaya secara langsung kepada diri sendiri, dan banyak temannya, sepertinya
kebanyakan orang tenang-tenang saja dengan apapun kondisinya, entah itu benar
maupun salah. Lebih parahnya, sepertinya sekarang ini, mengambil hak orang
lain-pun ternyata banyak orang yang sudah biasa.
Selain kebiasaan, sebenarnya ada hal lain lagi yang menjadi
penyebab permasalahan ini. Masyarakat kita adalah masyarakat wajar. Masyarakat
kita ini hanya menerima semua sikap, perilaku, pola pikir, dan tata cara yang
dianggap wajar oleh mereka. Sesuatu yang tidak ‘wajar’, yang berbeda dari
mereka, walaupun benar, lebih seringnya dimusuhi, dianggap aneh, kalo bisa
disingkirkan dan dianggap anti kemapanan. Masih ingat orde baru? Masa di mana
semua orang dibuat seragam dalam perilaku dan pola pikir? Tau kan banyak orang
yang hilang karena mereka berpikir, bersikap, berperilaku berbeda? Yah, seperti
itulah keadaan masyarakat kita hingga sekarang. Makanya jangan heran jika
banyak yang berpesan, “Sudah, lakukan saja apa yang orang lain lakukan” atau “Sudah,
jangan aneh-aneh” atau “Sudah, jadi manusia itu sewajarnya saja.”
Orang-orang mungkin membencimu karena kamu berbeda dan tidak hidup sesuai dengan standar masyarakat. Namun, sebenarnya mereka berharap mereka punya keberanian untuk melakukan hal yang sama. - Anonim |
Ah, membicarakan tentang biasa dan wajar ini membuat saya
teringat tentang sebuah hadist yang membahas tentang orang-orang asing (Al Ghuraba).
Sepertinya memang sejak awal sebenarnya kita sudah diingatkan.
“Sesungguhnya Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan
kembali asing seperti saat kemunculannya. Maka beruntunglah orang-orang
yang terasing”. Seseorang bertanya : “Siapakah orang-orang yang asing itu ya
Rasulullah?” “Orang-orang yang selalu memperbaiki (melakukan ishlah) di saat
manusia merusak sunnah-sunnahku”, jawab Rasulullah”
(HR. At Tirmidzi,
dinyatakan Hasan Shahih oleh Imam At Tirmidzi).
Ngeri sebenarnya jika mengingat semua ini.
Ketika yang salah dianggap benar dan sudah biasa sedangkan yang benar malah
dianggap asing, dimusuhi, bahkan berusaha dihilangkan. Yah, semoga kita semua diberi
kekuatan untuk berani menjadi orang-orang asing, membetulkan apa yang harus
dibetulkan, bahkan ketika dimusuhi dan dianggap orang aneh. Semoga kita terhindar
dari sifat terlena serta terbiasa menganggap benar yang salah dan menyalahkan
yang benar. ^o^
Kamu menertawakanku karena aku
berbeda
Aku menertawakanmu karena kalian
semua sama
- Jonathan Davis - |
Komentar