Memainkan Rasa
Kemarin pagi, untuk pertama
kalinya saya memarahi mahasiswa di dalam kantor karena permasalahan registrasi
perkuliahan semester pendek. Yah, sebenarnya kesalahan mahasiswa ini tidak
terlalu parah. Dia hanya terlambat datang registrasi sehingga namanya tidak
saya masukkan dalam daftar hadir perkuliahan dan pagi ini dia menuntut saya
untuk membuatkan daftar hadir yang baru. Mungkin karena cara dia meminta yang
bagi saya kurang sopan, makanya saya agak terpicu untuk marah padanya tadi. Apalagi,
sebenarnya sebelum saya mencetak daftar hadir kuliahnya, saya sudah
menghubunginya berulang-ulang tetapi dia tidak merespon. Dan sialnya dia
adalah, tamu bulanan saya sedang datang jadi emosi saya lebih mudah terpicu.
Oke, sebenarnya inti dari postingan saya kali ini bukan tentang mahasiswa ini,
tapi komentar salah seorang teman kerja saya begitu mahasiswa itu meninggalkan
kantor.
“Na, marahmu itu tadi terlalu
lembut,” katanya. “Pantesan anak-anak pada nggak takut sama kamu.”
Saya hanya tertawa menanggapinya.
Bagi saya, apa yang saya lakukan tadi pagi itu sudah maksimal. Yah, memang jika
dibandingkan dengan cara marah orang-orang di sini, cara saya masih terlalu
lembut. Tapi mau bagaimana lagi? Saya memang tidak bisa marah dengan cara
seperti mereka. Saya tidak terbiasa berteriak-teriak dengan suara besar dan
mengamuk. Setiap kali marah, ya saya hanya mengatakan apa yang perlu saya
katakan saja, paling-paling tidak sampai sepuluh kata karena kalo sudah terlalu
banyak bicara, ujung-ujungnya justru saya sendiri yang akan menangis. Iya, saya
akan menangis setiap kali kesal dan marah. Makanya, biasanya setiap marah, saya
hanya akan memilih untuk diam karena saya tidak suka jika sampai harus menangis.
Membahas tentang cara marah, saya
jadi ingat beberapa hari yang lalu, saya dan teman-teman sekantor membahas
kebiasaan marah orang tua dan guru kami dulu. Ada seorang teman yang bercerita
bahwa sewaktu kecil dulu, setiap kali dia dianggap nakal, bapaknya akan
memarahinya dengan suara yang keras dan mengurungnya di kamar mandi, sedang
ibunya akan mencubitnya di paha. Teman saya yang lain bercerita bahwa sewaktu
masih kecil dulu, dia takut sekali pada ayahnya karena sang Ayah suka memukul
betisnya dengan rotan setiap kali dia dianggap tidak menurut dan nakal. Ada
lagi yang bercerita pernah diminta berdiri berjajar dengan saudara-saudaranya
lalu saling memukul karena mereka dianggap nakal. Waktu itu saya hanya bengong
mendengarkan cerita mereka karena seumur hidup, saya belum pernah mengalami
semua itu.
Bapak dan ibu saya hampir tidak
pernah marah. Seingat saya malah tidak pernah marah berteriak-teriak kepada
saya. Mungkin karena saya memang tidak nakal. Hehehe… Seingat saya, bapak saya
itu orangnya pendiam. Bapak tidak pernah mengomel. Jika saya melakukan
kesalahan, seringnya bapak malah menggendong saya. Tapi di dalam gendongan itu
bapak menasehati ini itu. Agak sedikit berbeda dengan bapak, ibuk lebih sering
memperingatkan jika saya melakukan hal-hal yang kurang berkenan bagi beliau. Ketika
saya berlarian, memanjat jendela, memanjat pagar, memanjat pohon, bermain
pisau, merengek minta dibelikan hal-hal yang tidak saya butuhkan, atau
bertengkar dengan kakak saya, Ibuklah yang selalu memberikan peringatan. Yang
saya sangat ingat, peringatan ibuk tidak pernah diberikan dengan suara yang
keras. Volume suara ibuk setiap memberikan peringatan tidak berubah dari suara
normal, hanya saja nadanya yang sedikit naik. Dan yang juga selalu saya ingat
sampai sekarang, ibuk tidak pernah memberikan peringatan lebih dari tiga kali.
Jika peringatan pertama saya abaikan, ibuk akan memberikan peringatan ke dua.
Jika peringatan ke dua juga saya abaikan, ibuk akan memberikan peringatan ke
tiga. Baru kemudian, jika peringatan ke tiga tetap saya abaikan, ibuk akan
diam, tidak akan memberikan peringatan lagi. Tapi seringnya saya tidak berani
sampai membuat ibuk mengeluarkan peringatan ke tiga. Karena kalo sudah masuk
peringatan ke tiga, setelah itu ibuk akan mendiamkan saya. Ibuk tidak akan
berbicara pada saya, tidak akan menghiraukan saya. Dan setiap kali seperti itu,
rasanya luar biasa tidak menyenangkan. Yah, memang begitulah cara orang tua
saya mendidik saya, dengan memainkan rasa.
Memainkan rasa. Ini istilah yang
saya buat sendiri sebenarnya, yang bagi saya berarti membuat saya dan
kakak-kakak saya menyadari kesalahan kami dengan cara ‘merasa’. Kami tidak
pernah ditakut-takuti, tidak pernah dibentak, tidak pernah diberitahu bahwa
bapak atau ibuk sedang marah. Tapi kami dibuat merasakannya. Kami dibuat peka
terhadap respon orang lain, peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain
terhadap setiap perkataan dan tindakan kami. Dan hal itu terbawa sampai
sekarang. Saya tahu kapan seseorang marah, kapan dia senang, kapan dia bosan,
kapan dia tertarik dengan topik pembicaraan kami dari respon non verbalnya.
Makanya sebenarnya kemarin pagi itu saya kesal sekali ketika menghadapi
mahasiswa itu. Setelah kelalaiannya melakukan registrasi yang dia lakukan
bahkan setelah saya lakukan panggilan beberapa kali, dia tiba-tiba datang dan
menuntut ini itu seolah-olah waktu saya hanya untuk mengurusi dia. Lebih kesal
lagi ketika saya sebenarnya sudah sangat marah dan dia dengan tampang tanpa
rasa bersalah masih saja terus menuntut saya. Ah, yah, saya kan tidak bisa
memaksakan setiap orang untuk menjadi seperti apa yang saya inginkan. Tapi paling
tidak saya tahu bagaimana tidak menyenangkannya menghadapi orang-orang yang
tidak peka, jadi saya tidak mau jika anak-anak saya nanti menjadi
manusia-manusia yang tidak peka.
Ngomong-ngomong, baru semalam
saya tahu jika ternyata selama ini ibuk tidak pernah mengomel atau
berteriak-teriak setiap kali marah juga karena jika dipaksakan, ibuk akan
menangis. Makanya ibuk selalu memilih untuk diam setiap kali kesal. Ternyata…. Walaupun
secara fisik saya ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan ibuk, secara
psikologis saya ini ibuk saya sekali, sangat mirip dengannya. Terbantahkan
sudah teori yang mengatakan bahwa saya ini tidak mirip ibuk.
Ah, sudahlah. Sesi curhatnya
sepertinya cukup sampai di sini saja. Saya mau memainkan rasa dulu. J
Komentar