Kepada Tanah Soya Soya
Ojek
yang mengantarku segera pergi begitu aku menyerahkan selembar uang lima ribu
rupiah. Aku kemudian menyeret langkah menuju salah satu penjual jagung rebus
yang ada di pinggir jalan dan membeli satu jagung rebus lengkap dengan garam
sambalnya. Sore ini pantai Falajawa tidak seramai biasanya. Mungkin karena
langit di atas agak mendung, jadi orang-orang yang biasa memenuhi tempat ini di
setiap sore menjadi urung, khawatir hujan akan turun. Berbeda denganku. Aku
selalu tidak peduli apakah langit cerah atau tidak, asal aku masih punya waktu
sebelum hujan turun, sepulang bekerja aku akan mampir ke tempat ini.
Aku
memulai ritual soreku; melepas sepatu, duduk menghadap ke laut lepas dengan
kaki menggantung di atas airnya, menyumpal telingaku dengan eaphone yang mengalunkan suara
saxophone, dan menikmati jagung rebusku. Hampir setiap hari seperti ini,
mencari ketenangan pada luasnya laut dan langit yang saling berkait membentang
di hadapanku, hiasan hijau gunung Tidore dan Maitara yang memagarinya, dan
kadang mendapatkan bonus tarian cantik dari ikan laut warna-warni yang bermain
di beningnya air di bawah kakiku.
“Apa
kabar?” sapamu.
Salah satu sudut Pantai Falajawa Ternate Maluku Utara |
Angin
sore menerpa lembut wajahku tepat ketika aku memulai gigitan pertamaku pada
kuningnya jagung manis rebusku.
Aku
tersenyum. “Baik,” bisikku.
“Harimu
menyenangkan?” tanyamu lagi.
“Asal
bisa kututup bersamamu menikmati laut dan langit seperti ini, hariku tidak
pernah tidak menyenangkan,” jawabku.
Kamu
lantas tidak lagi bertanya-tanya, mungkin tidak ingin menggangguku menikmati
makanan pengganjal perutku di hampir setiap sore ini. Karena begitu aku
menyelesaikan jagung rebusku, kamu kembali bertanya.
“Sepertinya
sore ini ada yang sedikit berbeda,” katamu.
“Ya,
memang ada yang sedikit berbeda sore ini,” kataku jujur. “Sore ini aku tidak
hanya ingin duduk-duduk menikmati laut bersamamu. Aku kemari karena ada yang
ingin kusampaikan padamu.”
“Apa?”
tuntutmu. Sepertinya kamu cukup penasaran.
Aku
mengambil napas panjang, mempersiapkan diriku untuk menghujankan kata-kata
padamu.
“Apa?
Cepat bilang!” katamu, benar-benar tidak sabar.
“Baiklah,
baiklah. Aku akan bilang.” Aku kemudian kembali menarik napas panjang sebelum
mengatakan, “Aku ingin mengakui sesuatu padamu. Sebenarnya aku sudah lama
sekali ingin mengatakan ini setiap kali kita menikmati sore seperti ini. Tapi
entahlah, aku selalu tak sampai hati mengatakan ini. Jadi aku memilih menunggu
datangnya waktu yang tepat.”
Kali
ini kamu diam, tidak menuntutku dengan kata, lebih menungguku menyelesaikan
ucapanku.
“Semalam
aku berpikir; sepertinya jika aku menunggu datangnya waktu yang tepat, waktu
itu tidak akan pernah datang. Makanya aku memutuskan, sore inilah waktu yang
tepat. Karena kupikir juga, aku tidak bisa memastikan bahwa yang namanya
‘besok’ itu akan selalu datang. Kupikir, aku mungkin akan jadi hantu penasaran
jika ‘besok’ ternyata tidak lagi datang dan aku belum mengatakan ini padamu.”
Tidak
ada komentar darimu. Kamu masih menungguku mencapai ‘titik’ dari hujan
kata-kataku. Seperti memberiku lampu hijau untuk meneruskanku berbicara.
“Tapi,
sebelum aku mengakuinya, aku harus minta sesuatu padamu dulu.” Aku memberikan
syarat.
“Apa?”
tanyamu.
“Aku
akan memintamu untuk mendengarku menyelesaikan semua kata-kataku dulu, jangan
memutuskannya di tengah. Walaupun mungkin nanti kamu merasa tidak senang dengan
apa yang aku katakan, tolong dengarkan saja dulu. Aku khawatir jika kamu akan
salah memaknai maksudku jika kamu tidak mendengarkanku hingga selesai nanti.
Bisa?”
“Ya,
baiklah.”
Aku
tersenyum mendengarmu menyetujui permintaanku.
“Satu
lagi.”
“Apa?”
tanyamu.
“Aku
akan meminta banyak maafmu.”
Laut
tiba-tiba bergelombang. Sepertinya kamu heran dengan permintaan keduaku. Tapi,
tak urung kamu meluluskannya juga.
“Baiklah.
Jadi aku akan mengatakannya sekarang.” Aku lagi-lagi menarik napas panjang,
mengisi paru-paruku dengan oksigen beraroma laut. “Maaf, aku pernah sangat
membencimu,” kataku kemudian.
Kamu
memenuhi janjimu, tidak mengatakan apa-apa sewaktu mendengarku mengungkapkan
pengakuanku. Kamu bahkan nampak begitu tenang, tidak seperti orang yang pasti
akan langsung berubah roman mukanya ketika ada seseorang yang mengakui bahwa
dia membencinya. Ah, tapi kan memang kamu ini bukan mereka. Salahku
memperbandingkan dua hal yang memang benar-benar berbeda, tidak ada manfaatnya.
“Ya.
Aku pernah sangat membencimu,” lanjutku. “Bagaimana tidak? Gara-gara kamu aku
harus berpisah dengan keluarga dan teman-temanku. Gara-gara kamu aku harus
menghabiskan banyak waktu sendiri. Gara-gara kamu, aku pernah kesepian.”
Kata-kata itu meluncur mulus, tidak sesulit yang kubayangkan semalam.
Kamu
masih saja setenang sebelumnya. Kamu malah tersenyum, seolah sudah tahu bahwa
suatu hari aku akan mengatakan ini.
“Sudah
begitu, sepertinya dulu, bahkan mungkin sekarang-pun masih, orang tuaku tidak
menyukaimu. Kamu tahu apa yang ibuku bilang sewaktu tahu aku akan menemuimu?”
Tidak
ada jawaban darimu. Hanya ada hembusan lembut angin sore yang kemudian
menerbangkan ujung jilbabku. Sepertinya kamu menungguku menjawab pertanyaanku
sendiri.
“Ibuku
bilang begini, ‘Maluku Utara? Aduh, Nduk[i].
Kok ya jauh men[ii].
Maluku lagi. Di sana itu kan terpencil. Udah gitu orang-orangnya keras. Apa-apa
sedikit bentrok. Apa-apa sedikit perang, kerusuhan. Orang-orangnya
sedikit-sedikit mengamuk. Kenapa kamu harus ke sana?’. Begitu.” Aku menirukan
kata-kata ibuku dulu.
Angin
sore kembali menyentuh lembut wajahku. Kamu tertawa mendengar kata-kata ibuku.
Sama denganku waktu itu. Waktu itu aku juga tertawa, menertawakan kekhawatiran
ibu. Bukan, sejujurnya waktu itu aku tertawa lebih karena ingin menutupi
kekhawatiran yang sama yang muncul di hatiku.
“Ibuku
SARA banget, ya?” kataku lagi. “Ya tapi aku tidak bisa menyalahkannya.” Aku
menghela napas. “Kamu tahu kan bagaimana media mewartakannya? Setiap kali
muncul di televisi, jika bukan karena ada demonstrasi yang rusuh, ya
paling-paling bentrok antar warga,” kataku. “Beberapa hari ini notifikasi di
akun media sosialku, kotak masuk pesan singkatku, semuanya dipenuhi pertanyaan
teman-teman dan keluargaku. Mereka menanyakan keadaanku, khawatir dengan
keamananku gara-gara televisi heboh memberitakan Maluku sedang memanas akibat
pemilukada. Katanya sampai ada orang Maluku yang mengamuk di Mahkamah
Konstitusi sana.”
Kamu
lagi-lagi tertawa. Kamu sama denganku. Kita sama-sama merasa lucu dengan semua
itu. Kita merasa lucu dengan efek pemberitaan bagi masyarakat luas. Kita merasa
lucu dengan bagaimana berita di televisi selalu saja hanya membahas tentang
keburukan, selalu saja memberitakan tentang demonstrasi, bentrok, warga yang mengamuk,
kerusuhan. Kita selalu saja merasa heran mengapa televisi hampir tidak pernah
memberitakan tentang prestasi atau keindahan dan kekayaan yang ada di sini.
Padahal ada banyak sekali hal baik yang bisa diberitakan kepada masyarakat
luas. Tapi, selalu itu-itu saja yang mereka wartakan pada Indonesia.
“Kurang
menjual mungkin,” komentarmu.
benteng Telukko Ternate Maluku Utara |
Kita
kemudian sama-sama kembali tertawa.
“Tapi
kan tetap saja ini tidak menyenangkan. Berita-berita itu menanamkan ke kepala
hampir seluruh orang Indonesia bahwa semua orang Maluku itu pemarah, sukanya
hanya mengamuk, dan bentrok. Mereka jadi mengeneralisir, menganggap bahwa tidak
ada orang Maluku yang baik. Padahal kan kenyataannya tidak begitu. Kenyataannya
orang di sini sama saja kok dengan orang di Jawa sana. Banyak orang yang baik.
Banyak juga orang Maluku yang halus perangainya. Orang asli sini padahal.”
“Ya
kan memang sebenarnya kita tidak bisa mengelompokkan perangai orang berdasarkan
suku. Itu kan individual,” katamu.
“Nah,
itu!” seruku, menyetujui kata-katamu. “Ya, aku rasa budaya mempengaruhi. Tetap
ada pengaruhnya. Tapi kan tidak lantas kita bisa memukul rata bahwa semua orang
suku A itu selalu seperti itu dan suku B selalu seperti ini.”
Kamu
terkikik. “Kok jadi kamu yang emosi?” tanyanya. “Bukannya kamu yang
membenciku?”
“Hehehe.”
Aku menundukkan kepala, mengarahkan pandanganku pada ikan-ikan kecil berwarna
kuning dan biru muda yang menari-nari di dalam air di bawah kakiku, terlalu
malu untuk menatapmu.
“Jadi
awalnya kamu membenciku lantas kamu kasihan padaku karena segala macam
pemberitaan buruk itu dan pada akhirnya kamu jatuh hati padaku? Begitu?”
tanyamu lagi, membuat wajahku semakin panas, semakin malu.
Hall Pantai Sulamadaha |
“Apa
yang membuatmu jatuh hati?” tanyamu.
Aku
tertawa, berusaha menutupi betapa malunya aku karena begitu terbaca olehmu.
“Aku
ini mudah terbaca, ya?” tanyaku.
Giliran
kamu yang tertawa sekarang. “Bukan,” katamu begitu tawamu reda. “Cuma, aku ini
lebih mengenalmu. Itu saja.”
Ah,
kamu ini selalu saja bisa membuat wajahku memerah. Kurasa sekarang ini wajahku
lebih merah daripada langit di atas kita.
“Jadi?”
tanyamu lagi, kembali mempertanyakan alasan jatuhnya hatiku padamu. “Apa
luasnya laut ini? Atau hijaunya gunung-gunung itu? Atau gagahnya
benteng-benteng yang sering kamu datangi?”
Aku
masih mengulum senyuman malu. “Mereka salah satunya. Kurasa,” jawabku akhirnya.
“Salah
satunya? Jadi ada lagi?” tanyamu.
“Jadi
begini,” kataku memulai menjelaskan. “Seperti yang sudah kubilang, dulu aku
begitu membencimu dengan alasan yang tadi kujelaskan. Awalnya, luasnya lautan ini,
hijaunya gunung-gunung itu, gagahnya benteng-benteng yang sering kudatangi
sekarang, semua itu tidak menarik hatiku. Sama sekali tidak. Karena pada
awalnya, bagiku, tanah ini adalah tanah hukuman. Awalnya aku selalu berpikir
aku punya kesalahan sebegitu besar sehingga Tuhan menghukumku dengan mengirimku
ke sini, mengasingkanku. Cukup lama aku terkungkung dalam pemikiran sempit itu.
Awalnya aku menyerah. Tapi lantas, dua tahun yang lalu, aku mulai membaca.”
“Membaca?”
tanyamu, sepertinya tak mengerti dengan akhir ucapanku tadi.
Aku
mengangguk. “Kamu ingat Legu Gam[iii]
dua tahun lalu sewaktu ada pemecahan rekor menari Soya Soya?” tanyaku.
“Ya.
Ada apa dengan itu?” tanyamu.
“Entahlah
ada apa dengan itu. Yang jelas, hari itu ketika aku berdiri di antara ratusan
orang untuk melihat ratusan orang menari Soya Soya[iv],
mataku mulai terbuka dan aku mulai membaca. Cepat dan lincahnya gerakan kaki
para penari itu, warna-warninya pakaian mereka, ngana-ngana dan salawaku[v]
yang mereka bawa di tangan…” Aku menggantung ucapanku, mulai menerawang,
membayangkan hari itu. “Semuanya memukau mataku,” lanjutku.
Kamu
tidak berkomentar, tahu aku belum benar-benar menyelesaikan kata-kataku.
“Pakaian
mereka yang berwarna-warni dan gerakan mereka yang begitu cepat, bersemangat
namun selalu seirama itu membuatku teringat Indonesia,” kataku. “Kamu tahu kan
negeri ini punya begitu banyak ‘warna’? Waktu itu aku sadar jika aku sebelumnya
merasa begitu terhukum ketika dikirim kemari karena aku hanya selalu terpaku
pada satu warna. Aku selalu menganggap warna yang dulu selalu kulihat adalah
satu-satunya warna, yang terbaik dari semuanya, dan warna lainnya itu tidak
cantik. Nah, di momen itu aku sadar bahwa ada warna lain yang juga cantik, yang
sama cantiknya dengan warna yang selalu kupandangi dulu.”
Laut
di depanku tiba-tiba kembali bergelombang. Sepertinya aku terlalu banyak
memakai kata ‘warna’ dalam penjelasanku. Karena kulihat kamu sedikit bingung.
“Penjelasanku
berbelit-belit, ya?” tanyaku, memastikan rasaku.
“Sedikit,”
katamu.
“Intinya
adalah bahwa aku mulai sadar, ini bukanlah hukuman tetapi hadiah. Sepertinya
Tuhan ingin menunjukkan padaku bahwa negeri ini bukan hanya punyaku dan bukan
hanya terdiri dari satu warna dan tidak bisa dipaksa untuk menjadi satu warna.”
“Warna
lagi,” komentarmu, kembali memicu tawaku.
“Iya
iya, maaf. Kalau begitu aku akan katakan secara lugas saja,” kataku seraya
menahan tawa. “Negeri ini punya begitu banyak suku dan ternyata semua suku sama
baiknya. Tidak ada yang lebih baik dari yang lain karena setiap hal sebenarnya
punya kelebihan dan kelemahan. Kamu tahu, dulu aku selalu menganggap bahwa
suku-ku itu yang terbaik. Tapi sekarang aku sadar. Semua sama saja, sama
baiknya. Seperti, maaf, warna.”
Air
di bawah kakiku bergelombang lagi. Kamu sedikit menggerutu mendengar kata itu
kuucapkan lagi. Aku tertawa lagi.
“Sudahlah,
jangan memrotesku terus. Bisaku menjelaskan memang seperti ini.”
“Ya,
ya, baiklah.”
“Dulu
sewaktu masih SD, aku pernah disuruh mewarnai sebuah kertas dengan beberapa
warna lalu aku disuruh memutarnya.”
“Oh,
percobaan pelangi itu?” tanyamu.
“Iya.
Percobaan pelangi itu. Tujuh warna penyusun pelangi ketika diputar akan menjadi
satu warna, menjadi putih. Kamu tahu kan?”
“Iya.”
“Nah,
sama halnya dengan Indonesia. Warnanya banyak, sukunya banyak. Tapi sebenarnya,
pada kenyataannya semua ini satu. Ya Indonesia. Jadi, bagiku, salah besar
ketika aku menganggap suku-ku lebih baik dari suku yang lain.”
Sekarang
giliran angin lembut meniupku. Sepertinya kamu sudah mengerti maksudku.
“Inti
dari intinya, yang membuatku pertama kali jatuh hati padamu adalah tarian
Soya-Soya itu. Karena dia yang membuka pikiranku, membuatku pada akhirnya
membuka hatiku.”
Kali
ini alunan suara saxofon di telingaku sedang membawa lagu Dave Kozz yang
berjudul Don’t Give Up. Aku tersenyum
mendengarnya, membuatku ingat masih ada yang belum kusampaikan padamu.
“Apa?”
tanyamu, mempertanyakan arti senyumanku.
“Ini,
lagu yang sedang kudengarkan ini judulnya Don’t
Give Up. Aku jadi ingat masih ada yang belum kubilang.”
“Masih
tentang Soya-Soya?” tanyamu.
Aku
mengangguk.
“Ada
hubungannya dengan lagu itu?”
“Ada,”
jawabku cepat. “Kamu tahu kan seperti apa semangatnya musik yang mengiringi
gerakan para penari itu?”
“Musik?
Kan hanya suara tifa, saragai, dan tawa-tawa[vi]?
Lebih mirip suara genderang perang malah.”
“Iya.
Itu,” kataku. “Nada yang berderap itu ditambah teriakan semangat dari panglima
pemimpinnya itu. Sewaktu pertama kali mendengarnya dulu, jantungku rasanya
seperti disuntik adrenalin, serasa terpacu.”
Aku
menghela napas dan ganti memandangi langit luas di atasku yang masih saja
mendung tapi tak bisa menyembunyikan warna merahnya.
“Tarian
perang itu seolah memberi tahuku untuk tidak menyerah. Mereka yang dulu harus
berjuang sampai meregang nyawa saja tidak menyerah, mengapa aku yang tidak
perlu menyerahkan nyawaku, harus menyerah? Mengapa aku yang hanya karena
dipisahkan dari orang-orang yang sebelumnya kukenal harus menyerah?”
Kamu
diam, menungguku mencapai titik dari kalimatku.
“Hidup
sendirian memang sulit. Tapi bukannya hidup itu sendiri memang bukan sesuatu
yang mudah?”
Tidak
ada komentar apapun darimu. Kamu hanya diam untuk waktu yang cukup lama. Cukup
lama sampai warna merah semakin tua dan akhirnya matahari benar-benar pulang.
Cukup lama sampai adzan magrib berkumandang dari masjid besar di belakangku,
memanggilku untuk datang, menandakan kita sudah harus berpisah lagi.
“Jadi,
kamu sudah tidak lagi membenciku?” tanyamu sebelum pergi.
Aku
menggeleng. “Tidak.”
“Jadi,
itu tadi pengakuanmu?”
“Iya,”
jawabku seraya menarik lepas earphone
yang sedari tadi menyumbat telingaku dan memasukkan pemutar musikku ke dalam
tas, merapikan barang-barangku, bersiap pergi.
Lagi-lagi
angin lembut menerpa wajahku. Kamu sepertinya puas dengan hasil akhir dari
pengakuanku.
“Sudah
mau pergi?” tanyamu.
“Sudah
harus pergi,” jawabku, mengoreksi kata-katamu.
“Sampai
ketemu besok kalau begitu.”
Aku
mengangguk dan berdiri, membersihkan bagian belakang celanaku dari pasir yang
menempel dan memakai sepatuku.
“Sampai
ketemu besok,” kataku.
Aku
seperti melihatmu tersenyum sebelum aku tahu kamu menghilang entah ke mana. Mungkin
ikut terbang bersama angin menuju langit dan laut yang saling bertaut. Aku ikut
tersenyum, merasa lega karena akhirnya sudah kukatakan semua yang lama
kusimpan. Semua sudah kusampaikan kepadamu, Tanah Soya Soya.
Tamat (Ternate, 15 November 2013)
[i]Nduk : panggilan untuk anak perempuan
(Jawa)
[ii] Men: bentuk pendek dari kata temen yang berarti ‘sangat’ (Jawa)
[iii]
Legu Gam: Acara perayaan hari
kelahiran Sultan Ternate. Biasanya dirayakan dengan pesta rakyat selama hampir
satu bulan.
[iv]
Soya-Soya: tarian khas propinsi Maluku Utara yang diciptakan pada masa Sultan
Baabullah untuk mengobarkan semangat pasukan pasca tewasnya Sultan Khairun oleh
Portugis. Sekarang tarian ini digunakan sebagai tarian penyambutan tamu.
[v] Ngana-ngana dan Salawaku: pedang bambu dan perisai yang dibawa oleh para penari
Soya-Soya.
[vi]
Tifa, saragai, dan tawa-tawa: adalah alat musik pengiring tari Soya Soya. Tifa
adalah gendang, saragai adalah gong, dan tawa-tawa adalah gong berukuran kecil.
Komentar