Para Pemuja Rupa
Selama
hidup, saya telah dipertemukan dengan berbagai macam manusia dengan berbagai
macam orientasi saat melakukan interaksi dengan sesamanya. Ada manusia yang
berorientasi pada keuntungan. Manusia semacam ini hanya akan berusaha mengambil
keuntungan dari setiap interaksi yang dia lakukan dengan orang lain. Ada
manusia yang berorientasi pada akhirat yang begitu taat menjalankan setiap
perintah Tuhannya, menjauhi semua larangannya, dan menjaga hubungan baiknya
dengan sesama tanpa membedakan latar belakang. Ada manusia yang berorientasi
pada agama, sedikit mirip dengan mereka yang berorientasi pada akhirat, hanya
saja seringnya lupa bahwa agama itu tidak hanya satu seperti miliknya. Ada juga
manusia yang berorientasi pada rupa, hanya menyukai apa-apa yang memuaskan
pandangannya, segala hal yang terlihat cantik di mata. Saya menyebut macam yang
terakhir ini sebagai manusia pemuja rupa.
Bukan
hanya sekali atau dua kali saja saya dipertemukan dengan para pemuja rupa,
tetapi berkali-kali. Jadi seharusnya saya sudah terlatih dan bisa menjaga hati
saya. Tapi, tetap saja saya masih kesal jika bertemu dengan mereka. Sama
seperti ketika saya bertemu dengan salah satu dari mereka beberapa hari yang
lalu. Sore itu dengan begitu bersemangat saya bercerita tentang sebuah film
yang baru saja saya tonton. Dan semangat
saya yang awalnya berkobar, mendadak menyusut lalu padam sewaktu mendengar
komentarnya.
“Oh,
film itu. Aku tahu. Tapi aku males nontonnya. Pemainnya yang cowok jelek.”
Cerita
saya langsung terhenti di sana. Saya mendadak menjadi malas melanjutkan cerita
saya. Padahal sebenarnya ada banyak sekali hal yang ingin saya ceritakan
padanya tentang film itu, tentang betapa bagusnya penguasaan karakter para
pemainnya, tentang plot ceritanya yang tidak monoton dan akhir yang sama sekali
tidak tertebak, dan juga tentang betapa bagusnya pesan di dalam film itu. Dan
semua hal hebat itu menjadi tidak berarti hanya karena satu alasan dangkal;
pemain cowoknya jelek. Sayang sekali. Rugi sekali dia. Padahal sebenarnya dia
bisa mendapatkan hal-hal luar biasa jika saja dia tidak berorientasi pada rupa.
Rupa itu bukan penentu segalanya.
Saya
jadi ingat pernah membaca kata-kata berbahasa Jawa yang tercetak di sebuah
kaos; Yen mung rupa sing gawe atimu tresna, banjur kepiye anggonmu tresna
marang Gusti sing tanpa rupa? Kata-kata ini dalam sekali artinya, jika
hanya (kecantikan) wajah yang membuat hatimu jatuh cinta, lantas bagaimana kamu
akan mencintai Tuhan yang tak berupa?
Jika dipikir-pikir lagi,
kata-kata ini memang benar. Bagaimana kita akan bisa mencintai Tuhan yang kita
tak tahu seperti apa rupanya jika memang hanya rupa yang bisa membuat kita
jatuh cinta? Yah, ini sebenarnya suatu pembelajaran untuk saya juga, untuk
tidak selalu menjadikan keindahan fisik sebagai patokan utama dalam melakukan
suatu penilaian. Suatu pembelajaran bahwa ada begitu banyak hal yang tidak bisa
diliihat oleh mata saya. Pembelajaran bahwa menilai itu yang memerlukan kerja
otak, hati, dan rasa, bukan hanya mata. Juga pembelajaran bahwa kecantikan yang sebenarnya itu datangnya dari dalam, bukan sebatas fisik saja.
Komentar