Bukan Kupu-Kupu
"Kamu cantik.. secantik kupu-kupu," katanya.
"Aku tidak mau
disamakan dengan kupu-kupu!" kataku tanpa meninggalkan beberapa ekor
kupu-kupu bersayap luar biasa cantik yang terbang di hadapan kami.
"Kenapa? Mereka
itu luar biasa, kau tahu?"
Aku menoleh padanya
dan menemukan tatapan herannya padaku.
"Luar biasa
bagaimana?" tanyaku.
"Kau tahu, untuk
mendapatkan kecantikan semacam itu mereka harus rela terkurung, menyendiri,
melewati hari-hari menyakitkan di dalam kepompong mereka. Makhluk sekecil itu
dengan perjuangan sebesar itu apa tidak luar biasa?"
Aku tersenyum,
mengangguk-anggukkan kepalaku. "Ya, aku menghargai perjuangan mereka.
Memang perjuangan yang luar biasa." Aku kembali memandangi kupu-kupu yang
berterbangan di ataa sungai di hadapan kami.
"Tapi?"
tanyanya, tahu aku belum benar-benar menyelesaikan ucapanku.
"Tapi tahukah
kamu, begitu mereka bisa menjadi kupu-kupu, umur mereka tidak panjang dan di
umur sependek itu, tujuan hidup mereka hanya kawin lalu bertelur dan setelah itu
mati?"
Dia tidak
berkomentar.
"Ya aku memang
menghargai hidup luar biasa mereka. Sayangnya mereka hanya hidup untuk dirinya
sendiri. Perjuangan di dalam kepompong itu, kecantikan sayap itu, sisa hidup
mereka setelah itu, itu hanya untuk mereka sendiri. Aku mau lebih dari itu,
Ren. Aku tidak mau hidup yang sedangkal itu, Ren. Aku tidak mau hidup yang
hanya mengejar kecantikan duniawi, kawin, punya anak, lalu mati."
Ada tawa kecil
darinya. Lelaki bertubuh kurus itu mengacak rambutku.
"Lalu kamu maunya
jadi seperti apa?" tanyanya.
"Ya jadi diriku
sendiri saja. Aku tidak perlu menjadi secantik siapapun. Aku hanya perlu
menjadi diriku sendiri, belajar menjadi orang yang lebih baik setiap harinya,
dna berusaha meninggalkan sesuatu yang bermanfaat buat duniaku."
"Baiklah, Adikku
Sayang," katanya. Dia lantas tertawa dan menarikku masuk ke dalam
pelukannya.
Komentar