Cerita Bulan





Semalam, seperti malam-malam biasanya, aku memantulkan sinar matahari di langit yang lumayan cerah. Bintang-bintang menari dan bermain dengan gembira di sekitarku. Tapi bintang-bintang yang gembira itu lantas berubah muram, aku juga. Sebagian dari kami bahkan menangis sewaktu mendengar seorang gadis kecil yang bersimpuh di sisi tempat tidurnya berusaha berbicara pada Tuhan.

“Tuhan, terima kasih karena telah memberikan sebuah kehidupan yang menyenangkan padaku. Terima kasih karena memberiku kesempatan untuk merasakan kasih sayang sesamaku,” ucapnya.

Dia lantas berdiri, bersiap tidur. Tapi tiba-tiba dia kembali bersimpuh di sisi tempat tidurnya.

“Oh iya, Tuhan. Aku lupa. Ada sesuatu yang harus aku ceritakan pada Mu. Sejak kecil orang tuaku mengajari aku untuk mencintai sesama, untuk menghormati hak-hak asasi sesama. Aku masih sangat ingat hal itu. Tapi yang kutahu sekarang, papa, paman sebelah rumah, kakek yang rumahnya di ujung gang, mereka sepertinya lupa dengan apa yang pernah mereka ajarkan kepada anak-anak mereka.

“Tuhan, aku sangat percaya kalo apa yang aku pegang sekarang adalah yang terbaik, sama dengan apa yang dipegang oleh papa, paman sebelah rumah dan kakek yang rumahnya di ujung gang. Aku amat meyakininya. Tapi bukan berarti bahwa apa yang orang lain pegang, sesuatu yang berbeda dengan apa yang aku, papa, paman sebelah rumah dan kakek yang rumahnya di ujung gang pegang itu jelek dan harus dibuat musnah, kan?

“Bukankan apa yang kami dan mereka pegang itu sama-sama mengajarkan kebaikan? Bukankah itu adalah hak asasi untuk memilih sesuatu untuk dipegang dan diyakini? Bukankah hak asasi itu tidak dapat dicabut dari diri pemiliknya kecuali jika dia melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain?

“Tunggu, tunggu. Atau mungkin papa, paman sebelah rumah dan kakek yang rumahnya di ujung gang itu menganggap bahwa orang-orang yang memiliki pegangan yang berbeda dengan pegangan mereka dan aku itu membahayakan orang lain?

“Tapi, apa coba bahayanya? Apakah mereka berbahaya karena mendirikan rumah untuk menyembah Mu dengan cara mereka? Apakah mereka berbahaya karena mereka membantu sesamanya dengan kelebihan harta yang mereka punya? Apakah mereka berbahaya karena menggunakan kelebihan harta mereka untuk membuat negeri ini cerdas? Mereka membagikan makanan serta sekolah dan perlengkapannya secara gratis. Bukankah itu hal yang baik? Bukankah itu yang selalu Engkau ajarkan lewat firman-firman Mu? Untuk membantu sesama?

“Tuhan, aku sungguh tidak mengerti. Aku tidak mengerti kenapa papa, paman sebelah rumah, kakek yang rumahnya di ujung gang dan beberapa papa, paman sebelah rumah serta kakek yang rumahnya di ujung gang yang lain membangun dinding untuk menghalangi orang-orang itu berbuat kebaikan. Ya, mereka membangun dinding dalam arti yang sesungguhnya. Mereka berusaha menghalangi orang-orang itu untuk memberikan makanan dan sekolah gratis yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar anak seusiaku di sini.

“Tuhan, aku memang hanya seorang anak kecil yang (menurut mereka) tidak tahu apa-apa. Tapi setidaknya aku tahu bahwa Engkau mengajarkan kepada kami untuk berbuat kebaikan dan menyayangi sesama seberapa berbeda pun keadaan kami. Setidaknya aku tahu bahwa Engkau memberikan hak asasi yang tidak dapat dicabut atau diatur oleh orang lain kepada setiap kami.

“Tuhan, aku harus bagaimana? Apa aku harus diam saja melihat apa yang dilakukan papa, paman sebelah rumah dan kakek yang rumahnya di ujung gang? Apa aku harus diam saja melihat teman-temanku tidak dapat meneruskan sekolah, bahkan tidak dapat makan? Apakah aku harus diam saja melihat negeri ini perlahan menjadi bodoh dan lemah?

“Aku ingin membantu teman-temanku. Aku tidak mau negeri ini perlahan menjadi lemah dan bodoh. Tapi aku harus bagaimana? Aku hanya seorang anak kecil yang (menurut mereka) tidak tahu apa-apa. Kalo aku membantu teman-temanku, papa akan menghukumku. Kalo aku membantu teman-temanku, paman sebelah rumah tidak akan bicara lagi padaku. Kalo aku membantu teman-temanku, kakek yang rumahnya di ujung gang akan marah padaku. Aku harus bagaimana, Tuhan?

“Tuhan, bantu aku. Bantu aku membuka mata dan hati papa, paman sebelah rumah dan kakek yang rumahnya di ujung gang juga papa, paman sebelah rumah dan kakek yang rumahnya di ujung gang yang lain. Bantu aku memberitahu mereka bahwa mereka salah. Bantu aku memberitahu mereka bahwa apa yang mereka lakukan pada akhirnya hanya akan merugikan negeri ini, hanya akan merugikan kita semua.

“Tolong ya, Tuhan. Tolong aku.”

Gadis kecil itu lantas menyudahi ceritanya dan naik ke atas tempat tidur. Tapi senyuman yang biasa menghiasi wajahnya setiap malam, tidak terlihat olehku malam ini.

Aku menoleh. Bintang-bintang di sekitarku menghapus air mata mereka, saling memandang dan tersenyum pahit. Manusia memang aneh. Seorang anak kecil yang seharusnya masih memikirkan bermain dan bermain, sudah bisa memikirkan nasib sesamanya. Sedangkan orang tuanya, orang-orang yang lebih tua darinya justru hanya memikirkan keegoisan mereka. Berusaha menghancurkan sesuatu yang mengganggu kebebasan dan keegoisan mereka.

Ah, manusia memang aneh. Hidup memang aneh!


Tamat (Solo, 08 November 2004)



Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[1], teman sejawat, ibnu sabil[2], dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.

Qur’an Surat An Nissa’
Ayat: 36
 

[1] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dengan yang bukan muslim.

[2] Ibnu sabil adalah orang yang dalam perjalanan yang bukan maksiat, yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan