Ideal











“Galauuuuu lagi… Manusia jaman sekarang kerjaannya galau terus. Apa sih yang kamu pikirkan?”

Aku menoleh padanya. Seperti biasa, setiap kali aku menikmati senja seperti ini, dia datang lalu duduk di sisiku.

“Sok tau kamu!” kataku mengingkari.

“Halah… Semua juga tahu kalo kamu lagi galau. Kalian ini manusia emang nggak pernah bersyukur, ya?”

“Enak aja!” Aku tidak terima dengan tuduhannya. “Siapa bilang aku nggak bersyukur?”

Dia mencibirku, “Bersyukur kok bisa galau.”

“Kamu sih enak nggak perlu mikirin kerjaan, nggak perlu pusing ngasih nafkah ke anak bini, nggak terikat aturan! Tiap hari kerjaanmu cuma kesana kemari nggak jelas sesuka hatimu. Kamu bahkan nggak perlu ketemu orang-orang feodal yang nyebelin yang suka ngejilat atasan dan nginjak bawahan dengan alasan loyalitas!” bentakku. “Kamu tuh enak! Hidupmu tuh enak!” Aku mulai terengah-engah di akhir muntahan kata-kataku.

Dia diam, melirikku sesaat lalu melemparkan pandangannya pada hamparan langit yang sudah mulai ditinggalkan senja di hadapan kami.

Lama kemudian ketika matahari telah benar-benar pulang dan aku bersiap meninggalkannya, dia menoleh padaku.

“Hah, manusia. Kalian ini baru liat permukaan aja udah ngerasa bener-bener ngerti berapa pastinya kedalaman lautan,” katanya, membuatku urung berdiri. “Kalian pikir enak jadi kecoak? Baru numpang lewat aja, udah disemprot obat serangga, diinjak, dipukul pake sapu. Padahal nggak pernah tuh aku niat gangguin kalian. Aku tuh cuma numpang lewat di rumah kalian. Itu aja.” Kedua matanya menerawang ke arah langit yang sudah didominasi warna hitam. “Itu yang kamu bilang enak? Coba aja kamu jadi kecoak sehari. Sehari aja. Aku nggak yakin kamu masih bisa nikmati senja kayak sekarang ini.”

Aku terdiam, tergugu, lidahku kelu. Otakku tiba-tiba tidak mampu mengolah kata.

Dia menoleh padaku. “Hidup ini nggak ada yang ideal, Kawan. Dan sialnya, kita harus nelen semua ketidakidealan itu,” katanya. “Katamu dulu, hidup itu pilihan? Terus, kenapa kamu nggak milih buat ngerasa cukup sama hidupmu sekarang dan buang jauh-jauh itu kegalauanmu? Bukannya kamu juga pernah bilang kalo Tuhan itu nggak pernah pilih kasih?” tanyanya sambil menatapku. “Jadi, itu semua ternyata cuma sekedar kata? Cuma omongan? Omong kosongmu?”

Aku termenung, menggulung mukaku dengan rapi, lalu memasukkannya ke dalam saku. Aku malu.

Ternate, 21 April 2014 at 07:49 PM
#Ideal



"As you breathe right now, another person takes his last.
So stop complaining and learn to live with what you have."
                                                                          -Anonymous 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Belum Adzan

Hidup dari Jendela Bus