KESABARAN
Jarum panjang di jam tanganku sudah mencapai
angka sembilan lagi. Artinya, aku sudah berada di ruang tunggu bandara ini
selama tiga jam. Ya, tiga jam yang menyebalkan!
”Mau kemana, Om?”
Aku menoleh, kaget ada yang memanggilku
dengan kata ’Om’. Seorang anak perempuan duduk di sisiku, nampak menunggu
jawaban keluar dari mulutku.
”Surabaya,” jawabku pendek. Aku memang tidak
terlalu suka bicara kalau sedang kesal.
”Ooo...” Anak perempuan itu
mengangguk-angguk. ”Penerbangannya ditunda, ya?” tanyanya itu lagi.
Sudah tahu
kok tanya! Batinku kesal sambil mengangguk.
Pesawat yang akan membawaku ke Surabaya
seharusnya berangkat tiga jam yang lalu. Tetapi, dengan alasan cuaca buruk,
penerbangan ditunda. Maka, jadilah aku di sini, terjebak di dalam ruang tunggu
bandara bersama puluhan orang yang hampir semuanya menekuk muka, sama
sepertiku.
”Menunggu memang membosankan .....” kata anak
perempuan itu menggantung.
Sok dewasa sekali dia. Tapi tak urung, aku
mengangguk-angguk menyetujui ucapannya tanpa kata.
”Terkadang juga menyebalkan!” lanjut anak perempuan
itu.
Aku mengangguk-angguk lagi.
”Tapi, ....”
Aku berdiri sebelum anak perempuan itu
menyelesaikan ucapannya. Ah, anak kecil ini. Dia pasti akan mengatakan hal-hal
tentang ke-sok-tahu-annya. Tidak penting. Aku melangkah ke arah loket
informasi, mendatangi seorang laki-laki yang duduk di sana.
”Maaf, Pak. Penerbangan yang ke Surabaya mau
berangkat kapan?” tanyaku. Kesabaranku sudah mulai menipis.
”Sabar, Pak. Kita harus menunggu sampai cuaca
benar-benar sudah baik. Sebaiknya Bapak tunggu dulu,” kata petugas informasi
agak ketus. Mungkin dia kesal karena aku bukan orang pertama yang menanyakan
hal yang sama.
”Ini sudah tiga jam, Pak!” kataku tak kalah
ketus. ”Lagipula cuaca juga sudah membaik!”
Tiba-tiba aku tidak sendirian di dekat loket.
Beberapa orang dengan wajah kesal menemaniku. Nampaknya mereka juga sudah tidak
sabar menunggu untuk terbang. Semangatku semakin terpacu. Aku membentak semakin
keras. Aku bahkan memukul-mukul kaca loket hingga akhirnya pihak bandara
memutuskan untuk menerbangkan pesawat kami.
Dengan wajah penuh kemenangan, aku melangkah
ke kursi tempatku duduk tadi.
”Mau berangkat ya, Om?” tanya anak perempuan
yang tadi. Dia masih duduk di tempatnya.
”Iya,” jawabku jumawa.
”Cuaca kan belum terlalu baik. Apa tidak
berbahaya?” tanya anak perempuan itu.
Ah, anak
kecil ini terlalu banyak bicara! Tahu apa sih dia? Batinku.
”Apa tidak sebaiknya ditunggu sebentar lagi,
Om? Sebentar lagi, sampai cuaca benar-benar baik. Kenapa tidak sabar?”
”Tidak bisa, Adik! Om harus segera terbang
karena harus segera sampai di Surabaya. Kalau tidak Om akan terlambat untuk
mengisi seminar. Ini menyangkut nama baik Om,” jelasku dengan kesal.
”Sepenting itukah?”
”Hah?” tanyaku tak mengerti.
”Apa seminarnya penting?”
”Iya!” jawabku pendek. Aku jelaskan sepanjang
apapun, dia tidak akan mengerti. Dia kan masih anak-anak. Dia belum mengerti
apa itu nama baik. Aku ini seorang pembicara dengan jam terbang tinggi. Aku
sudah dikenal sebagai orang yang tidak menolerir keterlambatan. Aku selalu
mengecam orang yang terlambat. Keterlambatan adalah bukti ketidakdisiplinan.
Aku tidak suka ketidakdisiplinan. Mau jadi apa negara ini kalau
ketidakdisiplinan selalu mendapat toleransi?
Aku tidak mau menjadi orang yang hanya bisa
bicara. Kalau aku tidak menolerir keterlambatan orang lain, maka aku juga tidak
boleh terlambat. Makanya aku tidak mau terlambat. Aku akan melakukan apa saja
agar tidak terlambat. Apa saja.
”Yah, baiklah kalau Om sudah memikirkannya
masak-masak,” kata anak perempuan itu.
Ya ampun! Anak ini
benar-benar sok dewasa sekali, sih!
Aku tersenyum samar kepada anak perempuan itu
latas melangkah meninggalkannya. Bayangan seminar yang sukses sudah memenuhi
benakku. Aku harus bisa sampai di sana tepat waktu. Tidak boleh terlambat
sedikitpun.
Lampu kecil bergambar sabuk pengaman menyala.
Aku memasang sabuk pengaman di sekitar pinggangku. Dua orang pramugari nampak
memberikan pengarahan tentang keamanan dan apa yang harus dilakukan jika
terjadi sesuatu dengan pesawat yang kami tumpangi.
Ah, aku
sudah tidak sabar lagi. Cepat.... cepat....
Pesawat-pun terbang. Ah, akhirnya.
“Anda yang tadi protes ke loket, ya?” tanya
seorang bapak yang duduk di sisiku.
Aku mengangguk pelan dengan kebanggaan. Pasti
dia akan memujiku.
”Hebat! Coba tadi Anda tidak protes, pasti
kita masih terkatung-katung di bandara.”
”Tapi, mungkin memang sebaiknya kita bersabar
sebentar lagi sampai cuaca benar-benar baik.”
Buru-buru aku menoleh ke arah sumber suara.
Seorang ibu nampak duduk dengan tidak nyaman di sisi bapak tadi. Aku dan bapak
yang duduk di sisiku menatapnya, tidak mengerti dengan maksud ucapannya.
”Iya, seharusnya kita tidak terbang sekarang.
Cuacanya belum benar-benar baik,” kata ibu itu lagi.
Alah, ibu
itu sok tahu. Kalau cuaca belum benar-benar baik, pihak bandara tidak mungkin
akan menerbangkan pesawat, batinku.
Baru saja aku selesai membatin si ibu ang sok
tahu itu, pesawat yang kami tumpangi berguncang keras. Semua penumpang langsung
menjerit ketakutan.
Hanya
guncangan kecil,kataku dalam hati.
Tapi ternyata aku salah. Ini bukan guncangan
kecil. Para pramugari langsung memberikan penjelasan untuk penyelamatan diri.
Pesawat akan jatuh. Tidak. Ini tidak boleh terjadi.
Guncangan di pesawat semakin keras. Tiba-tiba
mesin pesawat mati. Kami jatuh. Ya Tuhan, kami jatuh. Aku tidak mau mati
sekarang! Tidak sekarang!
Kami jatuh semakin cepat. Aku yakin semua
akan hancur begitu mencapai tanah. Aduh, bagaimana ini? Seharusnya tadi aku
bersabar sedikit lagi. Ya, seharusya aku tadi tidak terburu-buru. Sekarang aku
tidak hanya terlambat, aku justru tidak akan bisa datang ke seminar.
Aku memejamkan mata. Aku takut sekali.
Telingaku dipenuhi suara teriakan dan doa-doa dalam kepanikan penumpang yang
lain. Aduh, aku bertambah takut. Aku belum pernah setakut ini. Aku akan mati.
Aku akan mati.
Bagian depan pesawat menghantam tanah dengan
keras. Gaya aksi-reaksi bekerja. Kami semua terdorong ke depan dengan keras
sementara hantaman tanah mendorong ke bagian belakang pesawat. Kami hancur.
Aku terbangun. Napasku terengah. Jantungku
berdenyut tak karuan. Ketakutan masih merasukiku.
”Mau kemana, Om?”
Aku menoleh. Seorang anak perempuan yang
duduk di sisiku menatapku, menunggu jawaban keluar dari mulutku. Tapi, bukannya
segera menjawab, aku justru terdiam, memandang berkeliling. Aku belum mati. Aku
bahkan belum naik ke pesawat. Aku masih di ruang tunggu bandara. Itu semua
hanya mimpi.
”Om?” tanya anak perempuan itu.
”Eh.” Aku tersadar. ”Surabaya. Om mau ke
Surabaya,” jawabku.
”Oo..” Anak perempuan itu mengangguk-angguk
sok dewasa. ”Penerbangannya ditunda, ya?”
Aku mengangguk.
”Menunggu memang membosankan. Terkadang juga
menyebalkan.”
Aku mengangguk lagi, menyetujui ucapan anak
kecil itu.
”Tapi, semua ada balasannya. Kata mama, kalau
kita bisa sabar, pasti ada hadiahnya. Semakin sabar, hadiahnya semakin besar.
Setelah badai yang besar, selalu ada pelangi yang lebih indah dari biasanya.
Iya kan, Om?” kata anak perempuan itu panjang lebar.
”Iya,” kataku.
”Jadi tidak apa-apa menunggu sampai cuaca
benar-benar baik daripada mati kecelakaan. Iya kan, Om?” katanya lagi.
Yeah, tell
me about it! kataku dalam hati sambil mengangguk menyetujuinya. Tamat (Solo, Mei 2008)
Terinspirasi oleh kasus mengamuknya penumpang salah satu maskapai penerbangan karena adanya penundaan penerbangan selama beberapa jam akibat cuaca buruk.
Komentar