Manusia Setengah-Setengah
Jika Om Iwan Fals menciptakan dan
menyanyikan lagu yang berjudul Manusia Setengah Dewa dan Bang Raditya Dika
menulis buku yang berjudul Manusia Setengah Salmon, maka saya tidak mau kalah.
Saya juga ingin menghasilkan sesuatu yang judulnya boleh jadi mirip, namun
isinya akan sangat berbeda dengan dua karya terkenal yang saya sebut
sebelumnya. Yap, postingan saya kali ini akan menceritakan tentang pengalaman
saya berinteraksi dengan manusia setengah-setengah.
Secara sadar maupun tidak,
sebenarnya dunia kita ini dipenuhi dengan manusia setengah-setengah. Dalam
berbagai bidang kehidupan, ada saja manusia semacam ini. Entah di sekolah, di
tempat kerja, dalam hal berkehidupan sosial, atau kehidupan beragama. Tapi,
ngomong-ngomong, apa itu manusia setengah-setengah? Manusia setengah-setengah
adalah manusia yang memiliki sifat nanggung,
abu-abu.
Di tempat kerja misalnya, kita
bisa menemukan orang-orang yang memiliki idealisme luar biasa, tahu dan paham
aturan, paham harus melakukan apa, ketika mengobrol dengan kita menceritakan
idealismenya secara berapi-api, tetapi tidak berani melakukan apa-apa untuk
mempertahankan idealismenya. Pemberani, tapi penakut. Nanggung. Ada juga manusia setengah-setengah dalam hal beragama.
Misalnya, sholatnya rajin, tidak pernah bolong, selalu tepat waktu; mengaji
juga rajin, setiap bulan khatam; rajin juga datang ke pengajian- pengajian.
Tapi tetap saja merasa selalu paling benar, merasa paling dekat dengan Tuhan,
selalu berusaha menunjukkan dosa orang lain, selalu senang jika aib orang
terbuka, selalu senang menjadikan aib orang sebagai bahan pembicaraannya. Tetap
saja melakukan dosa. Nanggung.
Tapi, tetap saja segala sesuatu
itu tidak dapat dinilai hanya dari satu sisi. Dan tetap saja, semua orang
memiliki alasan untuk semua hal yang dia lakukan. Walaupun sebenarnya ada
banyak alasan yang bagi saya tidak masuk akal dan hanyalah alasan yang
dibuat-buat, tapi saya berusaha memahaminya. Saya berusaha memahami ketika
seorang teman yang sebenarnya memahami setiap aturan yang berkenaan dengan
pekerjaannya, punya gambaran yang bagi saya begitu ideal mengenai bagaimana
organisasi kami seharusnya dijalankan, dan tahu apa yang harus dilakukan
memilih untuk diam saja dan mengikuti arus yang ada.
Iya, saya berusaha memahami
pilihannya yang ingin hidup tenang. Tapi tetap saja saya tidak ingin menjadi
seperti dia karena bagi saya, hidup tenang yang dia alami sekarang ini serupa
diam terlentang di atas aliran sungai yang mengalir menuju jurang. Mungkin
untuk saat ini kita bisa tenang, mengikuti arus saja, tidak perlu mengeluarkan
tenaga lebih untuk bertahan, untuk melawan. Untuk saat ini. Tapi bagaimana
dengan nanti? Masihkah nanti kita bisa merasa tenang ketika arusnya sudah
sampai di jurang? Bisakah nanti kita merasa tenang ketika aliran mulai jatuh ke
jurang dan menarik begitu banyak orang yang bisa jadi dosanya ikut dibebankan
pada kita?
Iya, saya memilih untuk tidak
mengikuti arus jika memang arusnya menuju jurang. Lagipula orang bilang, hanya
ikan mati yang mengikuti arus. Jadi, iya. Saya tidak ingin menjadi manusia
setengah-setengah.
Komentar