Sajadah Ungu dan Awan Biru
Aku membelokkan motorku ke sebuah
gang kecil. Sudah hampir dua jam aku mengendarai motor bututku mengelilingi
kota kecil tempatku menghabiskan tiga tahun terakhir kehidupanku ini. Hari ini
aku sedang merasa sumpek dengan rutinitasku. Aku sedang bosan. Dan setiap kali
aku bosan, ini yang aku lakukan; berkendara mengelilingi kota, memasuki setiap
jalan, entah besar, entah kecil, yang masih bisa dijajaki oleh motorku.
Adzan magrib yang baru saja
berkumandang membuatku memperlambat laju motor lalu menghentikannya,
memarkirkannya di depan pagar sebuah masjid yang ada di gang kecil ini. Aku
bergegas masuk ke dalam masjid, mengenakan mukenaku, dan menjalankan sholat
sunnah seraya menuggu jamaah sholat magrib dimulai.
Baru saja menyelesaikan sholat
sunnahku, seorang anak perempuan dengan setengah berlari masuk ke dalam masjid
lalu duduk di sisiku. Dia kemudian menggelar sajadahnya, meletakkannya
melintang, memanjang ke samping, merelakan sebagian sajadahnya untuk aku pakai.
Dia tersenyum lebar sewaktu aku menoleh padanya untuk mengucapkan terima kasih.
Sajadah itu tidak istimewa, tidak
juga terlihat mahal. Dari bentuk dan bahannya, aku tahu sajadah itu pastilah
murah. Sajadah itu hanya sajadah anak-anak biasa berwarna dasar ungu dengan
hiasan bergambar warna-warni berbentuk menara masjid, bunga, kupu-kupu,
matahari, dan awan. Awan biru. Iya, ada sebentuk awan berwarna biru dijahitkan
di bagian sajadah yang berada di hadapanku, bersisihan dengan gambar matahari
berwarna merah.
Awan biru… Awan kok biru? Orang
yang membuat sajadah ini pastilah orang bodoh. Iya. Masak dia membuat awan
berwarna biru. Yah, secantik-cantiknya sajadah itu, sesepele apapun fungsi
pendidikannya, paling tidak sesuatu yang dibuat untuk anak-anak itu haruslah mendidik,
memberikan pengetahuan yang benar. Lah ini, masak dia membuat gambar awan
berwarna biru. Memangnya di belahan dunia mana ada awan berwarna biru? Ini
namanya pembodohan. Yah, walaupun masa kanak-kanak adalah masa bermain dan
berimajinasi. Tapi, tetap saja sebagai orang dewasa, pembuat sajadah ini
memberi tahukan sesuatu dengan benar. Awan itu di mana-mana warnanya putih atau
kelabu, itu pun jika memang sudah dipenuhi hujan, bukan biru.
“Ciyeeh.. sajadah baru!” Sebuah
suara cempreng terdengar tidak terlalu keras begitu jamaah sholat magrib mulai
bubar.
Anak perempuan yang ada di sisiku
terkikik menanggapi komentar temannya.
“Kakak, sudah?” tanya anak
perempuan itu padaku seraya menunjuk ke arah sajadahnya.
Aku mengangguk dan tersenyum,
menyibukkan diri melipat mukena dan merapikan barang-barang di dalam tasku.
“Lucu. Beli di mana?”
“Ta pe mama ada biking,” jawab anak perempuan itu.
Oh, ternyata buatan mamanya. Hmm.. orang tua kok nggak bisa ngajarin
yang bener, batinku.
“Itu kenapa awannya biru? Aneh,”
komentar temannya lagi.
“Aneh? Nggak aneh. Ini kan
ceritanya tentang masjid di Negeri Langit Ungu.”
“Negeri Langit Ungu?” tanya
temannya.
Aku mulai memelankan pekerjaanku
membereskan barang-barang, ingin tinggal lebih lama lagi, mulai tertarik dengan
pembicaraan dua orang anak perempuan itu.
“Iyooo.. Ah, kamu nggak gaul.”
Anak perempuan bermukena ungu itu berdiri, mengajak temannya untuk ikut
berdiri.
Tanpa dikomando, aku buru-buru
ikut berdiri, berjalan pelan di belakang anak perempuan itu hanya untuk
mendengarkan penjelasannya.
“Kata mama, ini adalah gambar
masjid di Negeri Langit Ungu. Di negeri itu, langitnya berwarna ungu karena
awannya berwarna biru dan sinar matahari di sana berwarna merah.”
Aku tersenyum mendengarkan
ceritanya. Dasar anak-anak…
Anak perempuan bermukena ungu itu
tiba-tiba tertawa sendiri. “Ini tuh sebenernya karena aku kasihan sama mama,”
katanya di sela tawa kecilnya. “Kemarin waktu jahit ini, mama sebenarnya mau
kasih awan warna putih. Cuma mama nggak nemu kain perca warna putih. Makanya
aku usul sama mama pakai warna biru saja. Biar lain dari yang lain. Biar
spesial,” lanjutnya.
Plak! Aku mendadak merasakan tamparan yang luar biasa kuat di wajah
dan hatiku. Apa yang sudah kulakukan? Sebegitu mudahnya aku memberikan
penilaian tanpa dasar yang jelas. Begitu mudahnya aku menyalahkan pembuat
sajadah itu, menilainya bodoh, menilainya membodohi anak-anak, bahkan tanpa aku
bertanya apa alasannya. Bahkan tanpa aku mengenalnya. Lebih parahnya, penilaian
negatifku telah menutupi hal-hal positif yang sebenarnya terjadi. Aku tidak lagi
bisa melihat ketulusan dan keringanan hati anak perempuan itu ketika tanpa
perlu merasa mengenalku, dia dengan suka rela membagi sajadah barunya untukku. Astaghfirullah.
Maafkan aku ya Allah..
Aku tidak tahu sudah seberapa banyak
kali aku melakukan ini. Bohong. Aku tahu. Aku tahu bahwa sudah terlalu sering
aku melakukan ini, menilai semua kekurangan hingga menutupi segala kebaikan. Aku
telah menilai seorang calon pemimpin dengan begitu buruknya hanya karena kata
orang dia itu tidak baik, hanya dari tautan-tautan berita yang keakuratan
sumbernya masih dipertanyakan banyak orang, hanya dari penilaian orang lain
yang sudah terlebih dahulu memberikan penilaian buruk padanya. Aku pernah
membenci orang itu bahkan tanpa merasa perlu mengenalnya. Aku pernah sebegitu
benci padanya hingga apa pun yang dia lakukan tidak pernah benar menurutku,
bahkan hanya cara berpakaiannya saja membuatku begitu membencinya. Padahal aku mengenalnya
pun tidak. Astaghfirullah… Maafkan aku ya Allah… Itu baru satu, belum
orang-orang yang lain yang pernah kubenci. Memangnya selama ini sudah
sesempurna apa aku ini? Astaghfirullah…
Anak perempuan itu kembali
berdiri, memakai sendalnya dan mulai melangkah menjauh dariku. Tanpa bisa
kutahan, aku bergegas memakai sendalku dan menyusul anak perempuan itu.
“Dek,” panggilku begitu sampai
tepat di belakangnya.
Anak perempuan itu berbalik,
menatapku. Lagi-lagi, tanpa bisa kutahan, aku memeluknya.
“Terima kasih,” bisikku.
“Eh.. iya, Kak. Sama-sama,”
jawabnya terbata-bata, pastinya bingung dengan apa yang kulakukan. “Tara apa, Kakak. Cuma sajadah saja,
kong.” Dia tersenyum lebar sekali saat aku melepaskan pelukanku di tubuhnya.
Iya, dia benar. Ini hanya sebuah
sajadah. Tapi dia juga salah. Ini bukan hanya tentang sebuah sajadah. Ini
tentang sebuah sajadah berwarna ungu dan awan berwarna biru.
Ternate, 14 Juli 2014
02:59 PM
Komentar