Manusia Bukan Manusia
Kedua mataku mengekor wanita
setengah baya yang baru saja melangkah cepat ke dalam warung makan tempat aku
menikmati makan siang ini, lalu duduk di bangku panjang kosong yang ada di
sebelahku. Tidak ada yang aneh dengan wanita itu, sebenarnya. Aku hanya sedikit
tertarik dengan gaya berpakaiannya yang bagiku tidak terlalu cocok dengan
tempat ini, terlalu jauh perbedaan kelasnya.
“Mbak, soto dagingnya dua porsi,
es teh manis satu, sama teh hangat satu,” katanya pada pemilik warung makan.
Aku sebenarnya sudah
menyelesaikan makan siang semenjak tadi. Mangkuk soto dagingku sudah kosong,
bersih tak bersisa, teronggok di hadapanku, di sebelah gelas berisi es teh
tawar yang tinggal separuh. Tapi aku masih belum ingin beranjak, masih ingin menikmati
gorengan-gorengan yang disajikan di atas meja di hadapanku ini. Pencuci mulut
yang mungkin dianggap aneh oleh beberapa orang. Aku mencomot lumpia basah yang
disajikan bersama beberapa macam gorengan, sosis solo, sate telur puyuh, dan
sate kerang. Renyahnya rebung yang berbalut rasa gurih, manis, dan sedikit
pedas dari cabe rawit yang aku gigit kemudian langsung bercampur di dalam mulutku.
“Eh, mbak. Ini teh hangat sama
soto yang satunya tolong kasih ke Pak Becak di luar sana itu.”
Kunyahan di mulutku melambat. Aku
tidak lagi bersemangat seperti sebelumnya demi mendengar apa yang baru saja
diucapkan oleh wanita itu. Iya, aku tahu bahwa ini sebenarnya bukan urusanku. Aku
juga tahu bahwa ini adalah hak wanita itu, bahwa sebenarnya wanita itu sudah cukup
berbaik hati menraktir tukang becak yang sudah mengantarnya. Hanya saja….
Aku menghela napas lalu
meletakkan sisa lumpia yang tidak lagi menarik perhatianku begitu saja ke dalam
mangkok bekas makanku tadi. Aku mendorong makanan di dalam saluran pencernaanku
dengan beberapa teguk es teh tawar lantas bergegas membayar dan melangkah
keluar dari warung makan ini.
Sekali lagi aku menghela napas
sewaktu melewati seorang lelaki tua yang sedang duduk di bawah pohon peneduh
depan warung sambil menikmati sotonya. Segelas teh hangat dia letakkan di
tanah, di dekat kakinya. Laki-laki itu makan dengan terburu-buru, begitu cepat,
seolah dia tak perlu mengunyah makanan di dalam mulutnya, seolah semua makanan
itu hanya langsung masuk saja ke kerongkongan dan lambungnya. Laki-laki itu
makan dengan begitu cepatnya seolah khawatir jika sampai wanita yang ada di
dalam itu menyelesaikan makan terlebih dahulu, dia akan memarahinya. Aku
menghela napas sekali lagi, bukan karena melihat betapa cepatnya laki-laki itu
makan. Aku menghela napas karena aku seolah sedang melihat manusia yang bukan
manusia.
Laki-laki itu di mataku seolah
bukan manusia. Bukan. Karena manusia itu, satu sama lain, memiliki derajat yang
sama. Jadi jika laki-laki itu memang manusia, seharusnya laki-laki itu makan di
dalam warung sana, tak harus semeja dengan wanita yang membayar jasanya, tapi
paling tidak mendapatkan hak yang sama, bisa makan dengan sama layaknya dengan
pembeli yang lain; duduk di kursi pelanggan dan dimanusiakan.
Aku bergegas melajukan motor
meninggalkan tempat itu, enggan melihat laki-laki itu lebih lama lagi. Setelah
beberapa menit membelah jalanan kota yang selalu saja mendadak begitu penuh
kendaraan bernomor polisi asing di setiap hari di sekitar hari besar seperti
ini, aku menghentikan motor di dekat sebuah benteng tua. Motor hitam yang sudah
menemaniku seharian ini aku parkirkan di tempat parkir gedung Telkom yang ada
di seberang jalan benteng. Aku bergegas menyeberang begitu jalan di depan
gedung Telkom agak sepi, kamudian melangkah ke trotoar dan menjatuhkan diri di
salah satu kursi besi yang sengaja diletakkan di sepanjang trotoar, di bawah
pohon-pohon peneduh.
foto was taken from www.skycrappercity.com |
Kedua telingaku lantas kusumpal
dengan earphone yang mengalunkan
rangkaian denting piano. Lagi-lagi aku menghela napas. Sebenarnya rasaku memang
sedang tidak nyaman semenjak bangun tadi pagi. Biasa. Perempuan. Hormonal.
Makanya, semenjak tadi rasanya semua hal salah buatku. Termasuk pertemuanku
dengan manusia yang bukan manusia tadi. Pertemuan yang mengingatkanku pada
sebuah perbincangan yang pernah saya lakukan dengan seorang teman dulu sekali.
“Aduh, Dek. Kepalaku pusing!” keluhnya begitu duduk di sisiku.
“Kenapa, Mbak?” Aku mengalihkan pandangan dari layar komputer.
“Pembantuku yang baru itu loh. Masak kemarin sore dia nemenin aku
nonton tivi, berani-beraninya dia duduk di kursi ruang tamuku.”
“Lah emang kenapa?” tanyaku bingung karena tidak merasa menemukan
masalah di dalam ceritanya.
“Ya masak dia duduk di kursi? Harusnya kan di lantai. Wong aku duduk di situ kok, mosok dia duduk di hadapanku? Lah dia itu kan cuma pembantu.”
Memangnya pembantu itu bukan
manusia? Kenapa sesama manusia harus dibeda-bedakan tempat duduknya hanya
karena pekerjaannya? Aneh. Padahal beberapa hari sebelumnya dia mengeluhkan
tentang betapa capeknya dia karena pembantunya yang lama pulang kampung dan
tidak kembali lagi. Padahal di hari-hari ketika dia tidak mempunyai pembantu
itu, hari-hariku dipenuhi dengan keluhan darinya tentang bagaimana tidak
tenangnya dia meninggalkan anaknya di tempat penitipan anak karena tidak ada
pembantu yang bisa menjaganya di rumah. Padahal dia mengeluh padaku tentang
betapa susahnya menemukan orang yang mau menjadi pembatu rumah tangga dengan
gaji pas-pasan dan bisa diandalkan tenaganya. Padahal sebenarnya dia sadar
bahwa dia membutuhkan pembantu, sangat membutuhkan tenaganya, bantuannya. Tapi,
mengapa begitu dia mendapatkan orang yang dia butuhkan, dia malah
memperlakukannya seperti itu.
Ah, sepertinya memang otakku yang
salah. Sepertinya memang segala yang diajarkan padaku yang salah. Sepertinya
memang menganggap pembantu sebagai salah satu anggota keluarga itu adalah
tindakan yang salah karena ternyata bukan begitu seharusnya. Seharusnya
pembantu itu ya pembantu, tidak bisa disejajarkan dengan orang-orang yang
mempekerjakannya. Sama halnya dengan tukang becak. Tukang becak itu ya tukang
becak, tidak bisa disamakan dengan orang-orang yang membayar jasanya. Tempatnya
tidak boleh disamakan dengan orang-orang yang membayar jasanya. Seharusnya
memang para pembayar jasa itu tempatnya harus dispesialkan, harus lebih tinggi,
harus lebih baik dari para manusia yang membayar jasanya. Jadi intinya mereka itu manusia tapi bukan manusia.
Entah karena apa, aku mendadak seperti tersengat listrik. Seperti ada kesadaran yang tiba-tiba merasukiku. Tidak.
Ini tidak mungkin salah. Bukannya memang semua manusia itu sama derajatnya?
Bukannya di hadapan Tuhan, yang membedakan kelas setiap manusia hanyalah kadar
keimanannya? Iya, kan? Berarti ibuk tidak salah mengajariku, kan? Berarti ibuk
tidak salah ketika mengajariku untuk menganggap bahwa pembantu sekali pun
adalah manusia, yang berhak untuk makan semeja dengan kami ketika kami makan
bersama di luar, yang berhak untuk mendapat pendidikan yang layak, yang berhak
tidur dengan nyaman dan hidup dengan layak seperti anggota keluarga yang lain? Iya,
kan? Benar begitu, kan? Jadi sebenarnya bukan mereka yang bukan manusia. Yang bukan manusia itu sebenarnya mereka-mereka yang tidak lagi punya kemanusiaan. Iya, kan? Dan karena saya ini manusia, maka saya memilih untuk menjaga kemanusiaan saya. Ya, saya tahu saya tidak salah.
Komentar