Pengadilan Tak Adil
Aku menyeret
langkah keluar sekolah. Trotoar yang panas menantiku. Dengan malas, aku
menapaki trotoar itu. Tak jauh dari sekolah, aku terpaksa turun dari trotoar
dan berjalan di tepi jalan. Trotoar yang seharusnya menjadi tempat bagi pejalan
kaki seperti aku, dimonopoli oleh pedagang kaki lima. Yah, aku tahu bahwa
mereka harus mencari sesuap nasi. Tapi, apa harus dengan mengambil hak orang
lain?
Tin! Tin!
Tin!
Aku
mempercepat langkahku dan buru-buru naik ke trotoar lagi demi mendengar klakson
tadi. Mengagetkan saja! Menyebalkan! Kalau seperti ini, lantas aku harus lewat
mana? Lewat trotoar, dipenuhi pedagang kaki lima. Lewat tepi jalan, dihujani
suara klakson! Aku harus lewat mana? Terbang?
Langkahku
terhenti lagi di perempatan. Sewaktu lampu merah menyala, aku bersiap
menyeberang jalan. Tapi, lagi-lagi aku dihujani suara klakson oleh sebuah bus
kota yang nekat menerobos lampu merah. Yah, aku paham bahwa mereka harus
mengejar setoran. Tapi, apa harus dengan membahayakan nyawa orang lain?
Dengan
santai, aku melangkah menyeberangi jalan. Tak jauh di depanku, di atas
jembatan, seorang ibu menghentikan motornya lalu melemparkan dua buntelan
plastik ke sungai. Dia lantas kembali melajukan motor tanpa rasa bersalah. Tak
berselang lama, seorang pria juga melakukan hal yang sama. Dilihat dari
penampilan, sepertinya mereka adalah orang-orang terpelajar. Tapi kenapa mereka
membuang sampah ke sungai? Apa mereka tidak tahu bahwa suatu saat sungai akan
meluap jika terus-menerus disesaki sampah?
Aku
melongokkan kepala ke arah sungai yang ada di bawah jembatan. Air sungainya
sangat keruh, bukan lagi coklat susu, tapi campuran antara hitam, coklat, hijau
tua dan ’butek’. Si kanan-kiri sungai dipenuhi sampah plastik, BH bekas,
pembalut, diapers. Baunya busuk
sekali. Menurutku, ini bukan lagi sungai, tapi tempat pembuangan sampah.
Jangan-jangan kalo aku kecemplung ke sana, aku akan berubah menjadi monster
butek berbau busuk. Untungnya di sini tidak ada ksatria baja hitam yang sering
melawan monster. Gatotkaca kan tidak kenal dengan monster. Dia hanya kenal
dengan buto[1].
Jadi, aku akan aman kalau benar-benar menjadi monster.
Ih, aku kok
jadi melantur, sih? Begini nih kalau setiap hari hanya disuguhi sinetron dan
gosip-gosip oleh televisi; jadi sering memikirkan hal-hal yang tidak penting!
Otak manusia menjadi tumpul, menjadi sulit digunakan untuk memikirkan hal-hal
penting seperti bagaimana caranya memajukan negara. Semua orang sudah terperosok
dalam dunia yang berisi hiburan tidak berbobot hasil kerja para plagiat.
”Aduh!”
pekikku sewaktu sebuah kaleng minuman ringan mengenai dahiku.
”Sori,
Mbak!” teriak seorang laki-laki dari atas mobil mewah tanpa berhenti.
Minta maaf
sih sudah bagus. Jarang loh ada orang naik mobil mewah terus minta maaf saat
lemparan sampahnya secara tidak sengaja mengenai pejalanan kaki. Tapi, akan
lebih bagus lagi kalau orang tadi tidak melemparkan kaleng keluar jendela
begitu saja. Akan lebih bagus lagi kalau kaleng ini disimpan dulu, lalu baru
dibuang sewaktu menemukan tempat sampah. Mungkin memang sewaktu masih kecil
dulu, orang itu tidak diajari untuk membuang sampah pada tempatnya, sama dengan
ibu dan pria yang membuang sampah ke sungai tadi.
Kaleng
minuman ringan itu aku pungut dan kubawa berjalan. Siapa tahu di depan sana
nanti ada tempat sampah. Kasihan sungai ini kalau harus menampung satu kaleng
lagi.
Jalan yang
harus aku lewati setelah jembatan ternyata macet. Suara klakson bersahutan
menyambutku di sana. Ternyata tak jauh di depan deretan mobil-mobil dan
motor-motor itu, ada bus kota menaikkan dan menurunkan penumpang di luar halte,
tepat di bawah tanda S berwarna merah yang disilang. Apa sopir bus kota itu
tidak tahu arti dari tanda S yang disilang? Apa dia tidak tahu tempat yang
bernama halte? Mungkin juga sih dia tidak tahu. Mungkin, sewaktu membuat SIM,
dia tidak mengikuti ujian. Jadi tidak paham tentang hal itu. Yah, aku sih paham
bahwa sopir itu juga harus mengejar setoran untuk membuat asap dapurnya tetap
mengepul. Tapi, apa harus dengan melanggar peraturan? Menurunkan penumpang di
tempat yang tidak seharusnya itu kan sebenarnya berbahaya. Apakah demi mengejar
setoran, dia harus merelakan penumpangnya suatu hari diserempet kendaraan lain?
Di perempatan
berikutnya, aku membelokkan langkah ke kiri. Di kanan kiri jalan yang akan aku
lewati ini berderet banyak toko yang menjual berbagai macam barang. Jalan ini
sebenarnya tidak terlalu sempit. Tetapi di jalan ini sering terjadi macet
karena kanan dan kiri badan jalan secara liar telah dijadikan lahan parkir.
Padahal beberapa tanda S dan P yang disilang telah dipasang di sepanjang jalan
dan di ujung jalan sana ada satu lahan yang disediakan khusus untuk parkir.
Tetapi tetap saja orang-orang memilih untuk tidak parkir di lahan yang sekarang
lebih sering kosong itu. Alasannya apalagi kalau bukan jaraknya yang jauh dari
toko yang akan didatangi.
Langkahku
terhenti di dekat kerumunan orang. Di tengah kerumunan itu nampak seorang
laki-laki yang sedang kesal dan bersiap mengayunkan pukulan ke wajah laki-laki
lain. Untung dia sempat dicegah.
”Ada apa ya,
Pak?” tanyaku pada seorang bapak yang ikut berkerumun.
”Oh itu,
Dik, mobilnya bapak itu lecet.”
”Loh, lantas
kenapa dia mau memukul mas-mas yang itu?” tanyaku lagi.
”Mas-mas
yang itu tukang parkir di sini. Dia tidak mau bertanggung jawab.”
”Lah kan
memang bukan salah mas-mas itu. Dia kan hanya tukang parkir, bukan penitipan
mobil,” kataku.
Bapak-bapak
itu menatapku. Dia terdiam sebentar lalu mengangguk-angguk. ”Iya ya, Dik.
Lagipula kan ini memang bukan tempat parkir.”
Aku
menangguk. ”Saya duluan, Pak,” kataku pada bapak-bapak itu sebelum kemudian
menyeberang jalan dan masuk ke dalam gang kecil yang ada di antara toko-toko
itu, aku berbelok dan muncul di jalan kampung. Lima belas langkah kemudian, aku
sampai di depan rumah mungilku. Pintu depan masih tertutup rapat. Jam segini
memang biasanya belum ada orang di rumah. Aku merogoh kunci dari dalam saku
rok, membuka pintu. Sebelum memasuki rumah, aku melemparkan kaleng minuman
ringan yang kubawa semenjak tadi ke dalam keranjang sampah.
Aku
menjatuhkan diri ke atas kasur yang ada di depan televisi dan meraih remote.
Hari ini melelahkan sekali. Bukan badanku yang lelah, tapi hati dan pikiranku.
Aku lelah setiap hari harus bertemu para jaksa yang tidak pernah makan bangku
sekolahan itu.
Para guruku
hanya bisa menuntut dan menuntut tanpa berusaha memperbaiki kualitas mereka
sendiri. Banyak dari mereka yang masih memegang prinsip senioritas dimana
senior tidak pernah salah. Dan ketika mereka membuat kesalahan, mereka tidak
mau mengakuinya. Padahal kan mereka manusia juga yang tidak luput dari
kesalahan.
Orang-orang
yang lain juga sama saja. Mereka terus saja membuang sampah ke sungai,
menebangi pohon-pohon, menutup daerah resapan air dengan semen. Baru ketika
sungai penuh sampah itu mampat, tak bisa mengalir, sehingga akhirnya meluap dan
membanjiri kampung, mereka berteriak-teriak menyalahkan pemerintah yang tidak
segera membangun banjir kanal. Mereka menyalahkan pemerintah lagi ketika air
yang meluap tidak menemukan tempat untuk meresap. Bisanya hanya menyalahkan!
Yah, aku tahu pemerintah juga salah karena tidak bisa melakukan tindakan
pencegahan banjir. Tapi kan itu tidak sepenuhnya salah pemerintah. Coba
orang-orang itu tidak membuang sampah ke sungai dan tidak menebangi pohon-pohon
di hutan, pasti aliran sungai akan lancar dan air hujan yang jatuh akan diserap
oleh pohon-pohon. Banjir bisa dicegah.
Para
pengguna kendaraan umum dan sopirnya juga sama saja. Mereka berteriak-teriak
dan membunyikan klakson sekeras-kerasnya ketika jalan macet. Tetapi mereka juga
sering naik turun kendaraan umum sembarangan. Para sopir itu juga sering
menghentikan kendaraannya sembarangan. Kalau diingatkan, tidak ada yang mau
mengaku salah.
”Habis penumpangnya
juga nunggu di sembarang tempat. Kalo mereka menunggunya di halte, pasti kami,
para sopir, juga hanya akan berhenti di halte,” kata seorang sopir bus sewaktu
ditanya oleh reporter berita di televisi semalam.
”Haltenya
jauh, Mbak. Harus jalan kaki dulu. Lagian busnya mau kok berhenti di sini,”
kata penumpang bus yang naik tidak di halte.
Ah, semua
pihak memang tidak mau mengalah. Coba salah satu pihak mengalah, misalnya semua
penumpang hanya mau naik dan turun bus di halte atau para sopir bus itu kompak
untuk hanya bersedia menaikkan dan menurunkan penumpang di halte, pasti jumlah
kemacetan di jalan bisa ditekan. Memang semua hanya bisa menuntut yang lain
untuk mengalah, tetapi dirinya sendiri tidak mau mengalah.
Orang-orang
yang suka parkir sembarangan itu juga sama saja. Mereka hanya mau enaknya
sendiri. Maunya kalau parkir itu tidak usah jauh-jauh dari tempat mereka berbelanja
tapi kalau kendaraannya lecet sedikit saja, orang lain yang disalahkan. Coba
mereka mau mengalah sedikit untuk berjalan ke tempat parkir yang seharusnya,
pasti lebih terjamin keamanannya dan tidak merugikan pengguna jalan yang lain.
Pasti tingkat kemacetan di jalan bisa ditekan lagi.
Sayangnya,
tidak ada yang mau mengalah. Semuanya mau enaknya sendiri dan menuntut kepuasan
pribadi. Mereka tidak peduli dengan orang lain. Hanya bisa menuntut dan
menuntut tanpa berusaha menyelesaikan maupun mencegah masalah. Yah, aku paham
kalau manusia itu memang makhluk individual, tapi manusia kan makhluk sosial
juga. Seharusnya mereka sadar kalau mereka tidak hidup sendirian di dunia ini.
Seharusnya mereka peduli kepada sesama, bukan hanya menuntut orang lain untuk
mengalah. Kalau semua bisa berjalan beriringan dan bekerja sama, pasti dunia
ini akan menjadi tempat yang lebih menyenangkan, bukan lagi pengadilan yang tak
adil. Tamat (Mei, 2008)
Komentar