7 Oktober
Setiap kali mengecek kalender dan menemukan bahwa Oktober
sudah datang, kedua mata saya selalu saja terpaku pada angka yang sama, angka
tujuh. Tentunya bukan tanpa alasan mengapa selalu saja tanggal itu yang menarik
perhatian saya. Ya, memang ada yang yang spesial dengan tanggal itu. Ada
seseorang yang spesial yang entah berada di mana sekarang yang selalu saja
membuat saya selalu mengambil jeda agak lama untuk memandangi angka itu di
bulan Oktober.
Sudah sangat lama saya mengenalnya. Kalo tidak salah hitung,
sudah sembilan belas tahun sejak pertama kali saya bertemu dengannya. Dia tidak
spesial. Dia hanya anak laki-laki biasa yang kurus, panjang (tinggi,
maksudnya), aktif (atau tidak bisa diam), dan usil. Awalnya saya tidak terlalu
mengenalnya karena kami berasal dari taman kanak-kanak yang berbeda dan saya
bukan tipikal anak yang mudah dekat dengan teman baru. Semenjak kecil, saya ini
tipe orang yang suka menjaga lingkaran saya tetap kecil. Jadi, di tahun-tahun
pertama sekolah dasar itu, saya hanya bermain dengan teman-teman yang satu
sekolah dengan saya di TK. Tapi kemudian, ketika mulai memasuki tahun ke tiga,
saya mulai memperlebar lingkaran saya. Saya mulai mempersilakan beberapa orang
teman baru yang kebanyakan adalah laki-laki, untuk masuk ke dalam lingkaran
saya, termasuk dia.
Sebagai seorang teman, sebenarnya dia itu bukan teman yang
menyenangkan. Bahkan sebenarnya dia tidak bisa saya sebut teman. Dia itu
menyebalkan. Amat sangat menyebalkan. Dia suka sekali menggoda saya, memanggil
saya dengan sebutan ‘gajah’, lalu menari-nari, melenggak-lenggok di depan saya
sambil menyanyikan lagu anak-anak daerah yang bercerita tentang gajah. Dan yang
paling membuat saya kesal adalah, dia selalu saja menemukan cara untuk
menganggu saya dengan selalu mempermainkan rambut saya. Apapun gaya rambut saya
waktu itu, dia selalu bisa membuatnya menjadi sebuah permainan yang
menyenangkan (sepertinya). Jika saya
mengikat rambut saya menjadi ikatan ekor kuda, dia pasti akan menjambaknya,
menariknya, lalu berlari menjauh sambil menggoda saya jika saya mulai mengamuk.
Jika saya mengikat rambut saya menjadi dua, kanan dan kiri, dia tiba-tiba akan
berdiri di belakang saya, lalu kedua tangannya menarik ikatan rambut saya dan
menjadikannya seperti tali kekang kuda. Tak berbeda dari kasus sebelumnya, dia
akan berlari sambil menggoda saya ketika saya mulai mengamuk. Makanya, sewaktu
SD itu, saya membencinya. Tapi anehnya, entah bagaimana, rasa benci saya
padanya mulai berkurang setiap tahunnya.
Lama kelamaan saya mulai merasa nyaman bersamanya. Walaupun
sering menyebalkan, lama-kelamaan saya tahu bahwa sebenarnya dia itu seorang
teman yang baik. Walaupun sering menggoda saya, dia juga telah selalu menjaga
saya. Kami menjadi lebih dekat dari sebelumnya ketika mulai memasuki bangku
SMP. Waktu itu kami berangkat dan pulang sekolah bersama. Yah, walaupun
sebenarnya rumah kami tidak dekat, tapi karena kami menempuh arah yang sama
ketika pergi dan pulang sekolah, kami sering janjian bertemu di lampu merah
lalu bersamaan ke sekolah. Mulai dari situlah kami mulai lebih dekat. Tapi
kedekatan kami tidak seperti cerita-cerita di film-film. Kami tidak berbagi
banyak rahasia, tidak melulu menghabiskan waktu bersama, tidak juga saling
berbagi rasa atau menasehati. Kami hanya merasa dekat, cukup dekat untuk saling
menjaga dan ada untuk satu sama lain.
Sebagai bagian dari hidup yang selalu naik turun, hubungan
kami pun akhirnya mengalami penurunan. Setelah meninggalkan SMP dan memasuki
SMA, setelah dia semakin memperluas lingkarannya, hubungan kami tidak lagi
sedekat dulu. Apalagi, semenjak jarak sekolah kami semakin jauh dari rumah yang
tidak memungkinkan bagi kami untuk menempuhnya dengan sepeda dan kelompok pertemanan
kami mulai berbeda. Ya, di SMA, kami memiliki berteman dengan orang-orang dari
dua kelompok yang berbeda. Dia, sebagai anggota paskibraka dan OSIS, secara
otomatis langsung menjadi anggota kelompok elit yang berisikan orang-orang
penting, aktivis sekolah. Sedangkan saya, saya tidak berubah. Saya tetap
menjaga lingkaran kecil saya, tetap membuat diri saya berada di area yang tidak
terlalu dilihat orang. Saya tetap menjadi orang yang hidup di dunia saya
sendiri, hanya datang ke sekolah, belajar, bersenang-senang, lalu pulang. Jarak
di antara kami semakin nampak ketika kami berada di kelas dua, sewaktu dia
masuk di kelas unggulan yang berisi para siswa paling cemerlang, sedangkan saya
masuk ke kelas yang dicap sebagai kelas buangan. Tapi anehnya, sepertinya
lingkungan kami tidak melihat perubahan yang terjadi dalam hubungan kami.
Pernah suatu hari seorang teman perempuan mendatangi saya. Kami
dulu sekelas selama tiga tahun sewaktu SMP. Tapi di SMA, kami berada di
kelompok yang berbeda. Dia, sama dengan teman dekat saya itu, berada di
kelompok elit yang berisi para siswa cemerlang. Siang itu dia menarik saya ke
dekat aula lalu memohon bantuan saya.
“Na, kamu kan deket sama dia. Coba kasih tau dia. Anak-anak
sekelas sudah pada ngomongin. Dia itu kalo ngomong nyakitin ati. Terus egoisnya
itu loh. Kamu itu kok bisa-bisanya sih tahan deket-deket sama dia?”
Awalnya, saya tidak tahu mau menjawab apa permintaannya
selain dengan tawa. Ya, secara saya sudah tadi lagi dekat dengan teman saya
itu, tidak lagi berada pada zona nyaman untuk menasehatinya ini dan itu di luar
kenyataan bahwa dari awal hubungan kami, kami memang tidak pernah saling
menasehati. Makanya, akhirnya, dengan sangat terpaksa, saya menolak permintaan
teman perempuan saya ini. Saya sampaikan padanya bahwa saya tidak bisa. Saya
beralasan bahwa tidak etis ketika saya, yang sebenarnya tidak tahu apa-apa,
tiba-tiba menasehatinya untuk begini dan begitu. Saya sampaikan bahwa ada
baiknya jika permasalahan itu mereka selesaikan sendiri saja. Saya mengusulkan
untuk bicara langsung saja kepada teman saya itu.
Tentang pertanyaan yang mengikuti permintaan itu, sampai
sekarang saya masih berusaha mencari jawabannya. Mengapa saya dulu bisa tahan
dengannya? Padahal dia itu menyebalkan, egois, hanya mengutamakan kepentingan
pribadinya, suka berbicara sesukanya. Mengapa saya bisa bertahan dengannya
selama itu? Mungkin karena saya dan dia sebenarnya sama. Kami sama-sama keras
kepala, sama-sama menyebalkan, sama-sama suka bicara apa adanya tanpa saringan.
Mungkin karena bagi saya dia tidak seperti apa yang orang lain katakan. Bagi saya
dia tidak egois. Bagi saya dia realistis. Bagi saya, walaupun kadang memang dia
menyebalkan bahkan super menyebalkan, tapi sebenarnya dia adalah teman yang
baik. Dia itu unik. Dia berbeda. Dia seringnya tidak berpikir seperti orang
kebanyakan, makanya dia dicap egois karena pemikirannya sering tidak sejalan
dengan kelompoknya.
Hei, ternyata sekarang tanggal tujuh. Hari ini dia merayakan
hari lahirnya. Ya, saya memang tidak lagi tahu bagaimana kabarnya sekarang.
Saya kehilangan semua kontaknya kecuali facebook. Tapi sepertinya, akunnya pun
sudah tidak terlalu aktif karena beberapa kali saya coba kontak tapi tidak
pernah ada balasan. Sampai kadang saya merasa dia memang sengaja menghilang
dari hidup saya, entah kenapa. Karena sampai saat ini pun saya masih kontak
dengan adik, kakak, bahkan orang tuanya. Saya masih sering kontak dengan
keluarganya. Satu-satunya anggota keluarga yang sudah sangat lama tidak (dapat)
saya hubungi justru dia sendiri. Makanya saya katakan tadi, saya merasa
sepertinya dia memang sengaja ingin menghilang dari hidup saya.
Ya sudahlah. Biar sajalah jika memang harus seperti itu. Yang
jelas, bagi saya, dia itu masih tetap sahabat saya. Dia masih tetap memiliki
tempat spesial di dalam hidup saya. Dia, walaupun menyebalkan, tetap adalah
seorang teman yang baik, yang dulu pernah selalu ada ketika saya butuhkan, dan
pernah menghabiskan waktu-waktu yang menyenangkan bersama saya.
Selamat hari lahir, kawan. Semoga di mana pun kamu berada,
apa pun yang kamu lakukan, dan jalan apa pun yang kamu pilih, Alloh selalu
melindungimu. Semoga Alloh menjodohkanmu dengan orang-orang yang baik. Semoga
sisa umurmu berkah. Aamiin. :)
Komentar