Revolusi Mental
“Revolusi mental,” cemoohku. “Revolusi mental apanya?
Mental bobrok gitu. Masak ngerokok di depan kamera? Masak perempuan pamer
tato?”
Kamu hanya tersenyum, tak menanggapiku. Kedua mata yang
kamu sembunyikan di balik kaca mata
minus itu masih saja menekuni berita yang ada di surat kabar.
“Ini lagi, ngajarin nggak rapi. Masak di acara resmi
kayak gitu kok bajunya pada nggak dimasukin? Berantakan.” Aku mendengus.
“Revolusi mental,” cemoohku.
Masih tidak ada komentar darimu.
“Mau revolusi mental gimanaaaaa kalau menterinya SMA aja
nggak lulus?” Aku mengganti saluran televisi. “Revolusi mental,” cemoohku.
Surat kabar yang tadinya terbuka lebar di meja di
hadapanmu itu akhirnya kamu tutup. Kaca mata yang menghiasi wajahmu akhirnya
kamu lepas, kamu lipat baik-bauk dan kamu masukkan ke dalam tempatnya yang
berwarna hitam. Kedua tanganmu lantas kamu lipat di atas meja dan senyuman
kemudian menghiasi wajahmu.
“Yah, memang sebenarnya tidka etis juga ketika kita
merokok di depan kamera karena sebenarnya kan pemerintah kita ini sedang
gencar-gencarnya promosi bahaya merokok,” katamu. “Sama juga dengan perempuan
yang memamerkan tato karena tidak sesuai dengan budaya kita.”
Kamu menarik napas panjang dan kembali tersenyum.
“Apalagi bagi para pemimpin. Sudah sepantasnya mereka
dituntut untuk bersikap dan berpenampilan sesuai norma karena mereka ini
contoh. Mereka ini sebenarnya guru, digugu lan ditiru, didengarkan nasehatnya
dan ditiru tingkah lakunya.”
“Betul kan apa kubilang?” seruku bersemangat mendengar
dukunganmu.
“Tidak bisa juga kita mengabaikan etika dan hanya
mementingkan kinerja. Tapi tak ada gunanya juga sih beretika di depan kamera
dan di belakang melakukan korupsi. Jika keduanya, etika dan kinerja, bisa berjalan bersama, alangkah lebih
baiknya.” Kamu melepaskan lipatan tanganmu dari atas meja lalu meluruskan
keduanya di atas sana.
“Betul!” sambutku.
“Ya tapi tidak etis juga sebenarnya ketika kita
menjelek-jelekkan orang lain, menyorot segala keburukannya, bahkan
membesar-besarkannya. Tidak etis juga ketika kita merendahkan dan meragukan
kemampuan kerja seseorang yang tidak kita kenal tanpa memberinya kesempatan
untuk membuktikan.”
Kamu lagi-lagi tersenyum, tapi aku tak lagi menyukai
senyumanmu.
“Banyak kok orang yang tidak tamat sekolah tapi sukses
menjadi pemimpin, berhasil memimpin sebuat perusahaan besar atau menemukan
sebuah penemuan luar bisas yang bermanfaat untuk orang banyak.”
Senyuman nampak lagi di wajahmu. Lagi, aku tak suka.
“Revolusi mental,” katamu dengan suara lebih pelan dari
sebelumnya, serupa menggumam. “Kurasa negara ini memang memerlukan revolusi
mental.”
Aku berdiri, mulai jengah dengan pembicaraan ini. Aku tahu
akan ada sesuatu yang tak kusuka di ujung kata-katamu.
“Negara ini butuh revolusi mental karena isinya cuma
orang-orang seperti kita ini. Orang-orang yang bisanya cuman berkomentar,
membicarakan kekurangan pemimpin kita, mengumpat di media sosial, seolah-olah
kita ini sudah makhluk paling sempurna yang tak punya kekurangan, tak punya
dosa. Orang-orang yang menjadikan ijasah sebagai satu-satunya patokan kemampuan
seseorang. Orang-orang yang selalu ketakutan ketika dihadapkan pada sesuatu
yang baru, terlalu takut kalau-kalau pada akhirnya harus meninggalkan zona
nyaman karena pembaruan itu. Padahal sebenarnya tahu, zona nyamannya itu
sesuatu yang sudah melanggar rambu.”
Aku memutar bola mata dan mulai melangkah meninggalkanmu.
“Ya ya ya... ayah memang selalu benar dan aku yang selalu
salah,” kataku dengan kesal. “Bah, revolusi mental!!” cemoohku. Lagi.
Ternate, 28 Oktober 2014 11:18 PM
#edited
Komentar