Sudah, Telan Saja!
Setelah beberapa hari mengidam, kemarin pagi akhirnya saya berhasil
menyempatkan diri untuk sarapan di warung bubur ayam langganan saya. Saya
menyukai bubur ayam di tempat ini karena selain memang rasa makanannya enak, tempatnya
lumayan bersih dan mudah dicapai, penjualnya juga ramah dan baik hati karena
suka memberi bonus kerupuk kepada saya. :D
Sarapan pagi saya kemarin itu tidak terlalu berbeda dari biasanya.
Selesai berdoa, saya akan mencampurkan bubur ayam saya dengan kecap dan tiga
sendok sambal lalu menghancurkan kerupuk dan melumatkannya dalam bubur ayam. Dan
masih seperti biasanya, saya akan berlama-lama membiarkan setiap sendokan bubur
ayam saya di dalam mulut, mengunyah-ngunyah makanan yang sebenarnya sudah halus
itu. Tapi mendadak ritual saya agak sedikit terganggu oleh suara seorang ibu
yang mengomeli anaknya.
“Dek, makan bubur ayam saja kok lama, sih? Kan tinggal telan aja. Ayo
cepat! Jangan suka ngemut makanan kayak gitu!”
Suara itu membuat saya melirik pada seorang ibu yang duduk di kursi
panjang yang berhadapan dengan saya. Saya, yang juga sedang ‘mengemut’ makanan,
merasa lumayan terusik mendengar kata-kata beliau. Bibir dan lidah saya
mendadak terasa gatal, ingin memberitahu ibu itu tentang proses pencernaan
makanan. Tapi saya tahu, saat itu bukan waktu dan tempat yang tepat. Jadi
akhirnya saya hanya dapat kembali menelan keinginan saya tadi. Jadi, karena
saya tidak dapat memberitahukannya langsung kepada beliau, saya memutuskan
untuk menuliskannya di sini saja. Jadi, begini cerita tentang pencernaan makanan.
Tahap pertama pada pencernaan makanan adalah penghancuran makanan di
dalam mulut kita. Apa yang kita lakukan pada tahap pertama? Mengunyah makanan
tentunya agar makanan menjadi halus dan mudah ditelan sehingga meringankan beban
pencernaan makanan di saluran pencernaan bagian bawah. Makanan dengan molekul
yang besar ketika masuk ke saluran pencernaan bagian bawah akan membuat
organ-organ dalam kita bekerja lebih keras. Bila makanan tidak dikunyah dengan
baik dan fragmen makanan masih terlalu besar sampai saat di perut untuk
dihancurkan, maka pencernaan sempurna tidak terjadi. Ingat bahwa gigi hanya ada
di mulut sementara usus dan lambung tak memiliki gigi. Ekstrak dari makanan
akan gagal diserap. Bakteri juga akan timbul yang menjadi penyebab utama
gangguan di perut dan usus. Selain itu, otot perut akan rileks jika proses
mengunyah sempurna dan pemilahan mana yang sari dan sisa makanan sudah dapat
dimulai yang membuat kerja pankreas dan lambung lebih ringan.
Membuat kerja lambung semakin ringan. Kita perlu sedikit menggaris
bawahi kalimat tersebut karena hal ini sering disepelekan oleh sebagian besar
orang. Semakin besar ukuran fragmen makanan yang masuk, maka lambung akan
meningkatkan jumlah asam lambung yang merupakan cara lambung mencerna makanan. Jika
hal ini dibiarkan terus-menerus, tubuh kita akan beradaptasi dan lambung akan
terbiasa mengeluarkan asam lambung dalam jumlah banyak, baik ada makanan yang
berfragmen besar maupun tidak. Akibatnya, jika jumlah makanan yang dihancurkan
tidak seimbang dengan jumlah produksi asam lambung, maka asam lambung ini akan
mengiritasi dinding lambung yang kemudian kita kenal dengan istilah sakit
maagh.
Makanya, mengunyah makanan itu tidak hanya sekedar mengunyah. Tidak
hanya asal kunyah-kunyah-kunyah-telan. Tapi harus benar-benar sampai halus.
Makanya juga, tidak salah ketika Rasulullah menyunahkan untuk mengunyah makanan
di dalam mulut sampai tiga puluh dua kali karena dengan begitu, makanan
benar-benar akan menjadi halus dan tidak memperberat kerja lambung kita.
Seorang ahli gizi dari Jepang, Prof
Hiromi Shinya, menyatakan bahwa mengunyah adalah suatu proses yang perlu diperhatikan dan
menjadi unsur penting bagi kesehatan. Menurutnya, mengunyah yang baik adalah
antara 30-60 kali untuk makanan biasa, sedangkan untuk makanan yang sulit
dicerna sebanyak 70-75 kali. Jika jumlah kunyahan sedikit, misal hanya 7-10
kali, maka sebagian makanan itu akan terbuang tanpa terserap dan bahkan
menimbulkan pembusukan yang menghasilkan banyak zat membahayakan di dalam
perut.
Selain mastikasi (pengunyahan), tahap awal dari pencernaan makanan di
dalam mulut juga dimulai dengan pencernaan kimiawi. Di dalam mulut manusia
terdapat air ludah yang selain berfungsi untuk membasahi dan melumasi makanan
agar mudah ditelan serta melindungi selaput mulut dari panas, dingin, asam, dan
basa, juga memiliki fungsi dalam pencernaan kimiawi. Di dalam ludah terdapat
enzim ptialin (amilase) yang dapat mengubah karbohidrat (amilum) menjadi gula
sederhana (maltosa) sehingga lebih mudah dicerna oleh organ pencernaan
selanjutnya.
Ini sebenarnya yang paling ingin saya sampaikan kepada ibu itu kemarin.
Saya ingin sampaikan bahwa selain perlu dicerna secara mekanik dengan dikunyah,
setiap makanan yang akan masuk ke tubuh kita juga perlu dicerna secara kimiawi.
Seringnya, ketika kita makan makanan yang sudah halus, bubur misalnya, kita
merasa tidak perlu lagi mengunyahnya dan cukup langsung ditelan saja seperti si
ibu yang sarapan bersama saya itu. Padahal ketika kita langsung menelannya,
bubur yang merupakan karbohidrat, molekulnya belum terpecah menjadi maltosa
dengan sempurna. Akibatnya apa? Kembali pada pembahasan sebelumnya. Akibatnya,
lambung akan bekerja ekstra dengan mengeluarkan asam lambung dalam jumlah
banyak. Efek akhirnya apa? Sakit maagh lagi.
Nah jadi ketahuan juga kan sekarang mengapa ada orang yang makannya
sudah teratur, tidak suka makan makanan yang asam atau pedas, tidak suka
mengonsumsi makanan atau minuman yang bisa meningkatkan asam lambung, tapi
tetap juga terkena penyakit maagh? Ini sebabnya, karena ada hal penting yang
disepelekan: mengunyah makanan.
Selain tentang proses pencernaan makanan, sebenarnya ada hal lain yang
masuk di kepala saya ketika mendengar ibu itu mengomeli anaknya. Entah
bagaimana, saya tiba-tiba berpikir bahwa mungkin kepasifan beberapa orang dalam
generasi-generasi yang saya temui, masih berhubungan dengan cara mereka makan
yang suka langsung telan. Saya berpikir, mungkin kebiasaan manusia dalam satu
hal akan mempengaruhi kebiasaannya dalam bidang yang lain. Misalnya, jika
terbiasa untuk asal menelan saja ketika makan, mereka juga akan asal menelan
mentah-mentah saja setiap perintah yang diberikan padanya. Misalnya disuruh
oleh atasan untuk me-mark up
anggaran, menggelapkan barang milik negara, atau menerima suap, mereka akan
dengan mentah-mentah menelan semua perintah itu karena tubuhnya sudah
beradaptasi dengan kebiasaan asal menelan. Tapi ini hanya mungkin saja.
Mungkin. Bisa jadi seperti itu, bisa juga tidak. Hehehe.. Ah, jadi melantur.
Sudahlah. Mari menyiapkan makan malam! Ey, jangan lupa mengunyah, ya? ;)
Komentar