Malu!
Hari Kamis saya minggu ini dimulai dengan jatuh tersungkur dari atas
motor. Entah karena terburu-buru atau mungkin karena otak saya belum sepenuhnya
sadar, pagi itu saya benar-benar kurang berhati-hati. Saya turun dari motor dan
bergegas melangkah tanpa mengecek dan tahu bahwa bagian bawah rok saya
tersangkut. Jadilah saya tersungkur dengan posisi bertumpu pada kedua telapak
tangan dan lutut. Untungnya, kejadian itu hanya menghasilkan luka lecet pada
telapak tangan dan lutut saya saja. Untungnya, refleks saya masih cukup bagus
untuk bisa bertumpu pada kedua tangan ketika kemarin jatuh karena jika sampai
saya hanya bertumpu pada satu tangan atau pada lutut saja, bisa saja saya
mengalami fraktur pada tulang lengan bawah atau lutut saya. Hehe.. untungnya
begitu.
Kata orang, terjatuh dengan posisi seperti yang saya alami itu, rasa
sakit akibat jatuh tidak akan terlalu terasa. Kata orang, rasa sakitnya akan
kalah dengan rasa malu. Iya, kata orang, terjatuh dengan posisi seperti itu
seringnya mengundang tawa orang yang melihatnya dan menimbulkan rasa malu yang
jauh lebih besar dari rasa sakit pada orang yang mengalaminya. Itu kata orang.
Saya tidak seperti itu. Sewaktu jatuh kemarin, walaupun hasilnya hanya lecet,
tapi tetap saja saya merasakan sakit. Saya justru tidak merasakan rasa malu
sama sekali. Atau jangan-jangan saya ini sebenarnya tidak punya malu, ya?
Malu. Jika saya ditanya apa saya punya malu, tentu saja saya punya
malu. Tapi malu saya adalah malu yang tahu diri. Karena telah ditempa oleh
begitu banyak wejangan dari orang tua, keluarga, guru, bahkan hidup itu
sendiri, malu saya seringnya adalah malu yang selalu tahu kapan dan di mana dia
harus hadir.
Contohnya pada kejadian kemarin pagi itu. Malu saya pagi itu tidak mau
hadir. Karena dia tahu, dia tidak harus ada di sana. Kata ibuk, selucu apa pun
posisi jatuhnya, tidak seharusnya seseorang itu merasa malu. Yang merasa malu
itu seharusnya bukan orang yang terjatuh, tetapi orang-orang yang
menertawakannya ketika dia terjatuh. Seharusnya mereka malu karena hanya bisa
tertawa tanpa mau berusaha menolong. Itulah di mana seharusnya malu hadir.
Kapan lagi malu harus hadir? Seharusnya malu harus hadir ketika kita
tidak memakai baju hingga bagian-bagian tubuh yang tidak selayaknya dilihat
orang lain, bisa dilihat orang lain. Betul, kan? Ya. Semua orang pasti tahu
itu. Tapi, anehnya, walaupun tahu, ternyata masih banyak sekali orang yang
berjalan-jalan tanpa memakai baju. Masih banyak orang yang membiarkan
bagian-bagian tubuhnya dinikmati oleh orang lain dan lebih anehnya lagi, mereka
justru merasa bangga.
Malu seharusnya juga hadir ketika kita melakukan kecurangan; mencontek,
korupsi, menyogok, menerima gratifikasi… seharusnya malu hadir pada saat itu.
Tapi, anehnya lagi, sekarang ini seringnya justru bukan malu yang hadir. Yang
seringnya hadir justru bangga. Masuk ke sekolah dengan menyogok, lalu ketika
sudah mulai sekolah bersikap sesuka hatinya dan ketika diingatkan malah
berteriak, “Kalian tidak tahu siapa saya? Saya ini di sini yang bawa bapak
kepala sekolah, loh!”. Nah loh. Aneh memang, tapi nyata. Sama halnya dengan
yang diterima bekerja lewat jalur titipan, baik dengan maupun tanpa ada uang
suapnya. Kasusnya mirip. Bekerja sesuka hati, lantas ketika diingatkan akan
membawa-bawa nama orang yang membawanya bekerja di situ. Atau pada kasus lain,
sering sekali saya menemukan orang bercerita dengan mata dipenuhi kebanggan
bahwa dia telah menghabiskan dana ratusan juta rupiah agar anaknya bisa
bersekolah di sekolah A atau bekerja di instansi B. Wah wah wah… Ke mana
perginya si Malu?
Ah, yah. Dunia ini memang mulai aneh. Tapi anehnya, justru seringnya
orang-orang yang menempatkan malu pada tempatnya lah yang dianggap aneh.
Huwehehehe.. aneh memang. Sudahlah. Sekian dulu saja. Selamat berakhir pekan. :)
*Gambar dipinjam dari www.getcreative.com
*Gambar dipinjam dari www.getcreative.com
Komentar