Halo, Mei!




Halo, Mei. Tidak terasa ya kamu sudah datang lagi. Benar kata orang, waktu itu tidak berjalan, tidak berlari. Waktu itu melaju terbang cepat sekali. Padahal rasanya baru kemarin aku bertemu denganmu, tahu-tahu kamu sudah datang lagi. Tidak. Aku tidak bosan padamu, pun membencimu. Tapi jujur saja, kamu bukan bulan favorit aku.


Kamu membawa kenangan indah dan kebahagiaan. Benar. Ada banyak tanggal padamu yang bisa aku rayakan dengan kebahagiaan: hari lahir ibuk, hari lahir bapak, dan hari lahir sepupu-sepupu keakungan aku. Tanggal-tanggal itu selalu mengingatkan betapa beruntungnya aku, dilahirkan di dalam keluarga besar yang luar biasa ini.

Aku beruntung dilahirkan dari rahim seorang ibu yang luar biasa. Seorang ibu berhati besar, kuat, cerdas, yang tidak pernah lelah atau mengeluh ketika hampir seluruh waktu dalam hidupnya tersita untuk mengurus keluarga. Seorang ibu yang dengan hebatnya membesarkan tiga orang anak sendirian, yang rela tidur terlambat dan bangun cepat-cepat agar bisa memenuhi kebutuhan dan bisa mengurusi anak-anaknya, yang rela bekerja di dua tempat tanpa pernah mengeluhkan lelah.

Aku beruntung dilahirkan dari benih seorang bapak yang hebat. Seorang bapak yang cerdas, pekerja keras, disiplin, dan punya ‘hati’. Aku beruntung memiliki seorang bapak yang ketika pergi meninggalkan warisan luar biasa: sahabat-sahabat yang hebat, anak-anak didik yang setiap kali bertemu selalu bercerita tentang kebaikannya, dan kesan baik yang mendalam pada setiap orang yang dikenalnya. Ya, itu warisan yang luar biasa. Itu benih yang walaupun nampaknya sepele, tetapi telah menumbuhkan pohon kekeluargaan yang luar biasa rindang dan menyejukkan.

Tapi sayangnya kamu tidak hanya membawa kebahagiaan. Setiap kali kamu datang, aku harus siap-siap menumpahkan tangis. Bukan karena kamu membawa kesialan atau keburukan. Tenang saja, bukan. Kamu hanya membawa rindu. Kedatanganmu selalu disertai rindu tebal pada bapak karena di dekat penghujungmu, ada hari di mana bapak pergi. Kamu ingat, kan? Ya, 27 Mei, dua puluh tahun yang lalu bapak pergi. Padahal hari itu, untuk pertama kalinya aku berhasil membelikan kado buat hari lahir bapak. Sebelumnya kan aku tidak pernah membelikan kado buat bapak. Peringatan hari lahir bapak itu hanya terlewatkan begitu saja, tak ada hadiah, hanya sekedar makan bersama keluarga. Tapi, hari itu aku membelikan kado buat bapak. Sebuah handuk. Waktu itu aku ingat membeli handuk berwarna putih dengan gambar seorang perempuan naik sepeda melewati padang bunga. Lalu memberikannya pada bapak yang waktu itu sedang dirawat di rumah sakit. Waktu itu bapak sakit dan entah sudah ke berapa kalinya dirawat di rumah sakit. Waktu aku menyerahkan kado itu bapak, sama seperti biasanya, wajah bapak datar-datar saja. Seingatku, sih. Tapi entahlah. Yang jelas, sewaktu berikutnya bapak dimandikan, bapak memakai handuk dariku. Hmm.. sebenarnya ini kenangan yang menyenangkan jika saja sekitar dua minggu kemudian bapak tidak pergi. Sekitar dua minggu kemudian, aku dibangunkan dari tidurku dan langsung disambut isak tangis ibuk yang mengatakan bahwa bapak sudah pergi. Ah, sudahlah. Aku tak ingin meneruskan cerita yang ini. Menyesakkan.

Makanya, Mei. Maaf, aku tidak terlalu mengidolakanmu.  Tapi tenang, aku tidak membencimu. Aku akan selalu menyambut kedatanganmu. Aku akan selalu bahagia menjalani waktu bersamamu. Dan aku akan tetap menggulung rindu bersamamu.

Oiya, sampaikan salamku pada April, ya? Sampaikan juga maafku padanya karena kemarin aku tidak mencatat apa pun ceritaku bersamanya. Waktuku kemarin lumayan terkuras oleh dunia. :)                        

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan