Bertemu Malaikat



www.etsy.com



Setelah penerbangan pagi yang lebih banyak saya isi dengan tidur, dengan malas saya menyeret langkah saya menuju tempat pemberhentian bus bandara. Pagi itu saya merasa belum sepenuhnya sadar setelah semalam sebelumnya saya kurang tidur dan pagi-pagi sekali aya sudah harus ada di bandara untuk mengejar penerbangan ke Jakarta.

“Mau kemana, Teh?” Laki-laki berseragam abu-abu itu bertanya pada saya dengan sebelah tangannya yang menggenggam tumpukan karcis menunjuk ke arah saya.

“Cikarang, Pak,” jawab saya sambil mendaratkan pantat di sebuah bangku panjang.

“Cikarang tunggu dulu ya? Bis kecil,” kata laki-laki itu sebelum kemudian berlalu.

Saya meraih buku ajar membaca EKG yang saya bawa dari rumah lalu membuka-bukanya, mengisi waktu saya dengan beberapa gambaran perekaman sistem kelistrikan jantung itu. Saya harus bersiap menghadapi pre tes besok paginya yang saya tahu saya sama sekali tidak menguasi bahan ujiannya. Makanya semenjak diberitahu untuk mengikuti pelatihan yang akan saya datangi itu, saya setengah mati belajar membaca EKG. Untungnya, sahabat saya yang kebetulan meja kerjanya berada tepat di belakang saya, yang adalah empunya materi ini di kampus tempat saya bekerja, mau meluangkan waktunya untuk mengajari saya.

“Teh, Cikarang!” Seseorang menepuk bahu saya. Laki-laki berseragam abu-abu tadi sudah berdiri tepat di hadapan saya seraya menunjuk ke sebuah bus kecil yang berhiaskan tulisan “Jababeka” di bagian depannya. “Tadi saya panggil-panggil.”

“Eh iya, maaf, Pak,” sahut saya sambil bergegas menggendong tas ransel dan mendatangi bus yang berhenti tak jauh dari tempat saya duduk tadi.

Bus itu masih sepi penumpang. Baru ada beberapa kursi yang diduduki. Itu pun oleh orang-orang yang bersamaan masuk dengan saya. Saya memilih tempat duduk paling dekat dengan pintu keluar dan jendela. Saya pikir ini adalah posisi paling strategis, paling cepat untuk bisa keluar kalau-kalau saya melewatkan tempat di mana saya seharusnya turun.

Seorang laki-laki naik ke dalam bus dan ikut duduk di sisi saya sewaktu bus yang saya tumpangi memasuki terminal F (jika saya tidak salah ingat). Kami sempat mengobrol sedikit dan saya sempat menanyakan tentang alamat yang akan saya datangi. Sudah. Hanya itu. Karena sisa waktu lainnya akhirnya saya habiskan untuk kembali mencoba tidur.

Saya terbangun sewaktu kondektur bus meneriakkan nama terminal tujuan saya. Saya bersiap turun bersama laki-laki yang duduk di sebelah saya. Tapi dia mencegah saya turun. Katanya nanti saja turunnya karena alamat yang saya tuju masih lumayan jauh dari terminal. Dengan enggan saya menurut. Saya agak enggan karena sesuai instruksi dari panitia pelatihan, saya memang seharusnya turun di terminal itu.

“Kakak mau ke mana?” tanya seorang perempuan yang sejak dari bandara tadi duduk di kursi di sebelah saya. Dia menggeser duduknya, berpindah ke kursi kosong yang ditinggalkan laki-laki teman duduk saya tadi.

“Ke Bapelkes.”

“Oh, kalo gitu jangan turun di sini. Bapelkes masih jauh. Nanti ikut turun bareng-bareng saya sama suami saya saja. Kalo turun di sini nanti harus naik ojek, mahal.”

Tidak tahu mengapa, saya menurut saja pada perempuan itu. Saya membiarkan dia duduk di sisi saya dan bercerita banyak tentang perjalanannya dari Batam serta pelayanan bagasi penerbangan yang dia gunakan. Entah kenapa, saya yang biasanya tidak terlalu nyaman bersama orang asing, siang itu menurut saja padanya dan merasa nyaman berada di sisinya.

“Di sini, Kak. Ayo turun!” kata perempuan itu. Lagi-lagi, saya menurut.

Saya mengikuti perempuan itu dan suaminya turun dari bus. Suami perempuan itu kemudian menghentikan sebuah angkot dengan nomor 33, berbicara dengan bahasa yang saya tidak begitu pahami, lalu meminta saya segera naik.

“Saya sudah bilang ke Bapelkes, Mbak,” katanya. “Nanti mbak bisa langsung turun di depan Bapelkes-nya.” Laki-laki itu menunjuk ke arah angkot.

“Kak, nanti jangan tanya bayar berapa, ya? Langsung aja kasih 4 ribu. Deket, kok. Soalnya kalo kakak tanya, nanti malah dikasih mahal.” Perempuan itu berbisik di sebelah saya sebelum saya naik ke angkot. Saya mengangguk lalu segera naik ke angkot.

Perjalanan dengan angkot tidak memakan waktu lama. Saya segera turun begitu mobil berwarna kuning itu berhenti di pertigaan depan Bapelkes Cikarang. Senyuman dan pertanyaan ramah dari satpam yang berjaga di dekat pintu masuk menyambut saya. Beliau lantas menunjukkan gedung tempat pelaksanaan pelatihan yang akan saya ikuti. Setelah mendaftar pada staf yang super ramah, saya akhirnya bisa merebahkan badan, beristirahat sebentar sebelum saya harus belajar lagi untuk menghadapi pre tes esok harinya.

Tapi belum sempat saya memejamkan mata, pintu kamar saya diketuk. Seorang perempuan ayu memasuki kamar saya, yang kemudian saya tahu adalah perempuan muda luar biasa yang menjadi teman sekamar saya selama hampir satu minggu kemudian.

Hampir satu minggu saya kemudian diisi dengan kegiatan yang luar biasa. Pelatihan saya yang kali ini, walaupun menguras tenaga dan pikiran karena saya tidak mau tertinggal dalam mengikuti materi dengan bekal ilmu saya yang amat sangat minimal, tapi telah memberikan kepada saya teman-teman baru dan ilmu baru yang sangat berharga. Hal yang menyenangkan saya adalah bahwa di dalam pelatihan itu, saya dipertemukan dengan orang-orang luar biasa cerdas, berpengalaman, bahkan memiliki jabatan yang tidak main-main di institusi kerjanya tetapi semuanya bersikap biasa saja dan tidak berusaha menunjukkan kehebatan mereka. Tidak ada satu pun yang berusaha menunjukkan bahwa dirinya lebih cerdas, lebih tua, lebih berpengalaman, atau lebih tinggi jabatannya dari yang lain. Keluarga baru saya itu semuanya adalah orang-orang rendah hati yang memperlakukan setiap “anggota keluarga baru”-nya dengan tidak membeda-bedakan. Kami benar-benar seperti teman lama yang dipertemukan kembali.

“Wah, Ndut. Itu kamu ketemu malaikat!” seru seorang teman, salah satu anggota keluarga baru saya sewaktu saya bercerita betapa lancarnya perjalanan saya ke tempat pelatihan di malam terakhir kami makan bersama.

Saya langsung tercenung sewaktu mendengar celetukan itu. Bertemu malaikat. Saya tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya. Iya, saya percaya pada malaikat. Mereka ada. Saya tahu. Tapi tidak pernah sekali pun terpikir oleh saya bahwa mereka akan bekerja dengan cara seperti itu. Seperti kata teman saya itu. Dia percaya bahwa Tuhan bekerja dengan cara yang misterius, bahwa Tuhan tidak pernah jauh, bahwa Tuhan menyanyangi dan melindungi setiap makhluknya bahkan tanpa diminta. Makanya Tuhan mengirim malaikat untuk setiap makhluknya, untuk menjaga mereka. Dia juga percaya, malaikat bisa mengambil bentuk apa pun dan dalam kasus saya, malaikat itu mengambil bentuk orang-orang yang dengan baik hati telah membantu saya di perjalanan lumayan panjang ini. Mungkin juga pada setiap hal baik yang pernah terjadi pada saya.

Dan ini, sekali lagi, adalah tamparan keras bagi saya. Betapa saya ini sudah menjadi makhluk yang kurang ajar dan tidak tahu berterima kasih sekali. Betapa sudah banyak sekali nikmat yang tidak saya syukuri. Betapa banyak hadiah yang Dia berikan dan saya tak pernah mengucapkan terima kasih. Betapa selama ini saya lebih sering berfokus pada kesialan daripada keberuntungan saya. Betapa susahnya saya menjadikan-Nya yang utama di setiap waktu saya. Betapa saya telah selalu memberi-Nya waktu sisa. Padahal apa yang sudah diberikan-Nya kepada saya itu amat sangat luar biasa.

Hmmm.. yah, saya rasa saya memang telah bertemu malaikat. Entah malaikat yang sedang menyamar atau hanya manusia biasa yang berhati malaikat. Yang jelas, ini membuat saya percaya bahwa di dunia ini masih banyak orang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan