Ketika Benci






"Aku membencimu!" teriakku di depan wajahnya.

Lelaki itu tak terpancing oleh kata-kataku. Air mukanya begitu tenang dan anehnya, dia justru tersenyum.

"AKU MEMBENCIMU!" teriakku sekali lagi, lebih keras dari sebelumnya hingga napasku terengah kemudian.

"Katakan lagi," katanya kemudian dengan nada yang setenang air mukanya.

Aku menatap bingung padanya.

"Katakan kau membenciku. Lagi," pintanya.

Aku masih saja menatap heran padanya, tak tahu apa maksudnya.

"Katakan lagi. Aku mau kau katakan lagi. Katakan sebanyak-banyaknya, sebanyak yang kau bisa. Katakan dengan suara sekeras-kerasnya, sekeras yang kau bisa."

"Mengapa ?" pertanyaan itu akhirnya kumuntahkan juga dalam kata.

"Batas benci dan cinta itu begitu tipis," katanya. "Maka teriakkanlah bencimu lagi dan lagi. Katakanlah terus hingga rasa itu menjadi begitu besar hingga pecah dan menghancurkan batas itu. Lalu, setelah itu hanya ada cinta yang tertinggal."

Aku membisu, menatapnya, menikmati rasa benciku yang mulai pecah dan kedua mataku mulai basah.

"Maaf," bisikku dalam isakan tangis. "Maaf... Aku… Aku mencintaimu."

#‎KetikaBenci

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan