Muak



www.designswan.com




"Kau ini kenapa?" tanyaku setelah beberapa saat melihat wajah cemberutnya.

"Aku muak," katanya. "Pada orang-orang yang begitu takutnya dihukum, tapi tak juga sadar hukum."

"Maksudmu?" Aku tak begitu paham kata-katanya.

Dia menoleh padaku. "Jangan lupa pakai helm, nanti biar tidak kena tilang," katanya. "Jangan buang sampah di sungai, nanti kena denda!" Dia mencibirkan bibirnya sewaktu mengatakan semua itu.
Kepalaku terangguk-angguk. Aku mulai paham maksudnya.

"Aku muak pada orang-orang yang begitu takut pada atasan, bukannya sadar peraturan!" katanya lagi.

Kali ini aku tak bertanya, hanya diam menunggu kelanjutan kalimatnya.

"Besok jangan datang terlambat. Kalau tidak, nanti ibu direktur marah," cibirnya.

Ada senyuman kecil di wajahku. Aku tahu, aku mulai sadar siapa yang sedang dia bicarakan.

"Ya diambil positifnya aja. Mungkin dengan begitu, dengan dimulai dari takut pada hal-hal itu terlebih dahulu, nantinya mereka akan sadar peraturan," kataku sok bijak. Aku juga tidak tahu dari mana asalnya kata-kata yang baru saja kuucapkan.

"Ya semoga sih begitu," sambutnya. "Tapi kau tahu kan itu semua tetap saja memuakkan?" Dia menghela napas sebelum melanjutkan berbicara.

Aku menunggunya.

"Peraturan itu kan sebenarnya untuk mereka juga, helm untuk melindungi kepala mereka supaya tak pecah kalau-kalau di jalan mengalami kecelakaan. Larangan membuang sampah di sungai itu kan untuk mereka juga. Supaya aliran sungai tak tersumbat, lalu ketika hujan, mereka tak kebanjiran."

Kepalaku terangguk.

"Apa kau tak muak dengan orang-orang yang hanya terlihat patuh karena merasa diawasi oleh atasan?" Dia bertanya padaku.

Aku mengangkat bahu.

"Kau ini!" katanya. "Aku muak sekali pada mereka ini. Orang-orang yang kemudian datang terlambat seenaknya, tak pernah patuh seragam, dan bahkan hanya duduk bercerita, tak kerja apa-apa dengan alasan 'ah hari ini ibu direktur kan tidak ada, sedang dinas luar'!"

Lagi-lagi aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku.

"Bodoh. Munafik."

"Sudahlah. Tak perlu kau pikirkan mereka. Bukannya yang penting kita tak seperti mereka?" tanyaku.

"Ya. Kau benar. Hanya saja...." Dia menggantung kalimatnya. "Memuakkan."

"Iya. Aku tahu. Bertahan dulu saja lah."

"Kau tahu apa lagi yang membuatku muak?"

"Apa?"

"Aku muak pada jawaban, 'Sudah, ikut saja perintah atasan' atau 'Aduh, saya nggak ngerti. Ibu direktur suruh begitu'. Kau sering dengar itu, kan?"

Aku mengangguk.

"Apa gunanya sih otak mereka ini? Tak bisakah mempertanyakan tujuan dari setiap apa yang dikerjakannya? Jangan-jangan kalau nanti disuruh minum racun, mereka juga tak bertanya. Langsung minum saja."

Dia lagi-lagi menghela napas. Kesal.

"Tapi, ada lagi yang paling membuatku muak."

"Apa?" tanyaku.

"Mereka begitu takutnya pada polisi, pada surat tilang, denda, atasan. Begitu patuh saat merasa diawasi. Tapi entah bagaimana, mereka sepertinya selalu lupa jika Tuhan tak pernah berhenti mengawasi mereka, bahwa di kanan dan kirinya selalu ada malaikat yang mendokumentasikan setiap detail detik hidup mereka."

"Ah, kau benar," kataku. "Tapi sudahlah. Aku harus pergi!"

Aku membungkukkan badanku, membasahi mukaku dengan air dari wastafel, lalu mengeringkannya dengan tisu.

"Aku pergi," kataku sambil tersenyum pada bayangan yang ada di cermin di hadapanku sebelum kemudian melangkah keluar dari toilet kantor.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan