Pindah



“Kamu itu, pindaaaaaah aja yang dibahas. Kamu mau pindah ke mana emangnya?” Dia meluruskan kakinya, menyandarkan punggungnya di dinding di belakang kami.

“Solo, laah,” jawabku.

“Solo…” Dia tersenyum, seolah menertawakan jawabanku.

“Kenapa? Ada yang salah?” Aku mempertanyakan arti senyumannya.

“Solo… Mau ngapain di Solo? Nggak bosen kamu di Solo? Bukannya lebih dari separuh hidupmu sudah kamu habiskan di sana?” tanyanya. “Na, dunia ini luas. Masak kamu cuma pengen ke Solo, Cuma pengen di Solo? Kamu nggak pengen keliling dunia?” tanyanya lagi. Kedua matanya memandangi hamparan bintang di langit malam di atas kepala kami.

Aku tersenyum. “Kamu pengen keliling dunia?” tanyaku balik.

“Iya.”

“Kamu nggak pengen settle down, gitu? Nikah? Jadi istri? Jadi ibu?”

“Aku pengen keliling dunia, Na. Masih pengen nikmatin hidup.” Dia berpaling padaku. “Na, kamu ini masih muda. Sayang kalo waktumu kamu sia-siakan di satu tempat saja.”

Aku balik memandangnya. Perempuan bermata bulat itu masih menatapku, menunggu komentarku. Kami memang dekat, tapi cita-cita dan pola pikir kami begitu jauh berbeda.

“Ayolah, Na. Jangan sia-siain hidupmu. Ayo keliling dunia,” katanya bersemangat.

Aku menggeleng dan tersenyum. “Aku juga pengen keliling dunia sebenarnya, Li. Tapi kurasa aku tidak butuh melakukan itu karena Tuhan sudah  menciptakan seseorang yang telah selalu menjadikan aku dunianya. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan hidup di dunia ini, Li. Kupikir, sudah tiba waktunya aku menjadikan dia sebagai duniaku. Ya, aku tidak perlu keliling dunia. Aku hanya cukup pulang. Karena dia, duniaku, ada di sana.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan