Ruang-Ruang Kosong
Pagi itu hujan turun dengan deras
sejak setelah saya menyelesaikan rekaat terakhir sholat subuh. Malas. Iya. Rasa
itu yang menggelayuti saya semenjak pagi, semenjak hujan itu turun. Wajar
sebenarnya untuk merasa malas dan enggan bergerak dalam situasi seperti itu.
Karena langit yang digantungi mendung tebal, udara yang lumayan dingin, dan
guyuran air yang tidak berhenti selama berjam-jam, ditambah beberapa kali
gemuruh guntur pastinya akan membuat kadar hormon dopamin dan serotonin manusia
turun, termasuk saya. Tapi janji temu dengan para mahasiswa dan teman satu tim
mengajar saya dalam ujian tengah semester akhirnya memaksa saya untuk bergegas
bersiap-siap, memasak untuk sarapan, menikmati sarapan, lalu berangkat ke tempat
kerja.
“Blame it on the rain?”
Saya hanya
tersenyum sewaktu kata-kata itu meluncur dari teman saya. Kedua matanya
diarahkan pada ruang-ruang kelas yang kosong di sepanjang tepi koridor lantai
dua tempat kami mengawas ujian. Tanpa harus dijelaskan pun, saya paham apa
maksud kata-katanya. Ini bukan pertama kalinya ruang-ruang kelas itu tak
berpenghuni ketika hujan mengguyur. Selalu seperti itu.
Selalu
seperti itu. Selalu hujan yang salah. Hujan terlalu deras. Hujan datang terlalu
pagi. Hujan membuat jalan-jalan licin. Hujan membuat jalanan terlalu berbahaya
untuk dilewati. Hujan juga yang membuat hormon-hormon penyemangat menjadi
berkurang. Jadi, hujan juga yang membuat manusia menjadi malas. Selalu hujan.
Kasihan dia.
Ah, tapi
sebenarnya saya sedang tidak ingin membicarakan tentang hujan. Saya ingin
membicarakan tentang ruang-ruang kosong yang saya lihat, yang membuat saya
berpikir tentang manusia dan ruang-ruang kosong. Tentang kebiasaan beberapa manusia
yang selalu berusaha mengisi ‘ruang-ruang kosong’-nya. Iya, manusia pada
dasarnya memiliki kebiasaan seperti itu. Secara fisik, hal ini dapat terlihat
pada individu dengan empty nest syndrome,
sindroma sarang kosong. Para lansia yang mulai ditinggalkan oleh anak-anaknya,
jika tidak memiliki sistem pendukung yang kuat, kemungkinan besar akan
mengalami ini. Berusaha mengisi setiap ruang kosong di dalam rumah yang
biasanya ditinggali anak-anaknya, yang kemudian terasa kosong setelah mereka dewasa dan membangun
rumahnya sendiri. Kebanyakan dengan cara membeli barang-barang yang tidak
mereka butuhkan, bisa perabot atau makanan, apa saja untuk membuat rumah mereka
tak lagi nampak kosong. Apa saja untuk membuat mereka tidak merasa kosong.
Pengisian ruang kosong juga bisa jelas terlihat pada beberapa klien yang mengalami
demensia (pikun). Beberapa klien dengan demensia memiliki pola koping
(pertahanan diri) kompensasi, cenderung
memiliki kebiasaan untuk terlalu banyak bicara tentang hal-hal yang sering
tidak nyata, sering berbohong, untuk mengisi ruang kosong di memorinya yang
hilang.
![]() |
www.moreandcool.com |
Pepatah
mengatakan bahwa tong kosong nyaring bunyinya. Ya, itu tidak salah. Dan itu
terjadi karena para tong kosong ini berusaha menutupi kekosongannya, berusaha
terlihat berisi, berbobot. Mengatakan banyak hal sambil berharap agar orang
yang mendengarnya berpikir bahwa dia tahu segalanya. Atau mungkin hanya untuk
membuat orang-orang yang mendengarnya menjadi bingung saking banyaknya kata
yang diucapkannya sehingga pada akhirnya mereka akan lupa pada inti pembicaraan
dan tak lagi sadar dia sedang membual. Entahlah. Jelasnya, bagi saya, kadang
ini memuakkan; mendengar mereka terus-menerus berbicara tentang banyak hal yang
sebenarnya tidak mereka pahami, tentang hal-hal yang tak penting untuk
dibicarakan, tentang hal-hal yang tak patut untuk dibicarakan.
Ah, coba saja
ya kebiasaan pengisian ruang kosong ini tidak hanya terjadi dengan cara seperti
itu? Coba saja kebiasaan ini dijadikan alasan untuk bersemangat bekerja,
misalnya melihat ruang kelas kosong di jam belajarnya, karena memiliki kebiasaan
mengisi ruang kosong, maka buru-buru menyiapkan materi dan masuk mengajar. Coba
saja jika ada waktu yang kosong, tidak hanya digunakan untuk bercerita tidak
penting atau duduk-duduk tidak jelas, tetapi berdiskusi, mencari ilmu. Coba
saja jika memang sadar kepalanya kosong, berusaha diisi dengan ilmu yang
bermanfaat, dan bukannya malah pembicaraan tak penting. Coba saja…
Komentar