Terima Kasih


advanturesinvoluntarysimplicity.blogspot.com


"Bang, batagor satu." Aku menjatuhkan diri ke atas bangku kayu panjang yang ada di belakang gerobak batagor.

"Makan di sini apa dibungkus, Neng?" tanya penjual batagor itu dengan senyuman menghiasi wajah.

"Bungkus," jawabku pendek.

Aku sedang malas berbicara hari ini. Banyaknya pekerjaan yang menguras waktu istirahatku beberapa hari ini dan beberapa permasalahan di tempat kerja benar-benar sudah merusak mood-ku.
Seorang wanita setengah baya menghentikan motornya di depan gerobak.

"Mas, tukar dua puluh ribuan dua sama sepuluh ribuan satu!" kata wanita itu dari atas motornya.

Menyebalkan sekali tampangnya! Aku membatin sambil mengamati wanita itu. Aku tidak menyukainya. Entah mengapa. Padahal kenal dengannya pun tidak. Mungkin karena apa yang baru saja dia lakukan adalah sesuatu yang bagiku tidak sopan, tidak menghargai orang. Masak minta tolong ke orang kok kayak gitu? Harusnya kan dia turun dari motornya, berbicara baik-baik pada penjual batagor.
 
Tapi, anehnya penjual batagor itu tetap melayaninya dengan senyuman dan mau bersusah payah mencari sejumlah uang sesuai permintaan wanita menyebalkan itu.

"Makasih," kata penjual batagor begitu dia menerima selembar uang lima puluh ribu rupiah dari tangan wanita itu, penukar tiga lembar uang yang dia terima.

Tanpa mengatakan apa-apa, wanita itu langsung melajukan motornya pergi, bahkan tanpa mengucapkan terima kasih.

"Ih, orang sini nih emang nggak bisa ya bilang makasih gitu." Aku akhirnya tak tahan untuk tak berkomentar.

Penjual batagor itu tertawa. "Ya mungkin nggak terbiasa, Neng." Dia mulai menggunting-gunting batagor pesananku.

"Tetep aja nyebelin, Bang. Lagian abang ini. Ngapain juga dilayanin? Udah nyebelin, nggak sopan, nggak tau terima kasih, nggak nguntungin lagi!"

Penjual batagor itu lagi-lagi tertawa. Dia tidak menanggapi protesku. Kedua tangannya sibuk menyiapkan pesananku.

"Saya nggak habis pikir. Mau-maunya abang ini ngucapin makasih buat ibu-ibu tadi. Lah dia aja nggak tau terima kasih."

Laki-laki bertopi itu berbalik, menghadapku dengan sebuah bungkusan plastik di tangan kanannya. Dia menyorongkan pesananku itu begitu aku berdiri.

"Ya paling nggak, karena saya tahu orang nggak akan suka menusia semacam itu, saya nggak mau jadi manusia semacam itu, Neng. Lah kalo saya nggak layanin, nggak senyumin, bersikap nggak sopan sama dia sama seperti apa yang dia lakukan tadi, terus apa bedanya saya sama dia?" katanya sambil mengaduk-aduk laci tempat penyimpanan uang, mencarikan uang kembalian untukku.

"Ya tapi kan kayaknya sia-sia aja berbuat baik sama orang kayak gitu." Aku berkeras.

"Ah si Eneng. Masak berbuat baik sia-sia? Tenang aja, Neng. Pasti kecatet, kok. Makasih, Neng." Penjual batagor itu tersenyum lebar seraya menyerahkan uang kembalianku. "Yah, moga-moga itu cukup buat ngimbangin dosa pas kita ngomongin ibu-ibu tadi. Hehehehe.."

Ah, sial. Dia malah menyindirku! Aku bergegas pergi. Tak merasa perlu lagi mengucapkan terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan