Awan-Awan Putih



pixabay.com



Aku berjalan pelan di trotoar tepi jalan. Pertengkaran yang terjadi di sekolah siang tadi masih membekas di kepalaku. Aku masih ingat Aldaka hanya diam menatapku saat aku meluapkan amarahku padanya. Lama kemudian, setelah aku mengatakan semua yang ingin kukatakan, dia baru membuka mulut.

“Semua terserah elo, Na. Kalo elo emang nggak percaya lagi sama gue, terserah. Yang jelas, gue sama sekali nggak kenal cewek itu,” jelasnya.

Aku hanya diam mendengar penjelasannya itu. Entah percaya atau nggak. Kalopun aku percaya, itu nggak sepenuhnya. Kalo benar dia nggak tidur sama cewek itu, kenapa dia hanya diam saat gosip itu menyebar? Kenapa dia nggak melakukan apapun untuk menyangkalnya?

Pintu pagar itu kudorong pelan. Aku lumayan terkejut saat menemukan sebuah motor terparkir di halaman rumahku. Sepertinya aku mengenal motor itu, tapi mungkin hanya mirip saja.

“Hai, Na.”

Aku mematung di pintu saat seorang cowok dengan rambut gondrong yang diikat rapi mendatangiku lantas mencium keningku.

“Fi ..... Ficus?” tanyaku tak percaya. Aku masih kenal dengan bau tubuh dan caranya mencium keningku. Aku masih ingat semuanya walaupun dua tahun sudah aku lewati tanpanya.

“Rambut elo kok dipangkas sih, Na? Kan gue lebih suka liat rambut panjang elo,” katanya memrotes rambut pendekku.

“Elonya aja nggak ada, ngapain juga gue harus manjangin rambut,” jawabku enteng.

Ficus menarik hidungku. Kebiasaan lamanya itu ternyata belum hilang. Dia nampak senang melihatku cemberut.

“Gitu aja marah,” katanya. Kami lantas duduk.

“Gue bukannya marah gara-gara elo narik hidung gue. Gue marah gara-gara elo nggak pernah ngasih kabar dua tahun terakhir ini!”

“Iya deh, sori. Kan elo tau sendiri gue sibuk. Ini juga kalo nggak libur, gue nggak bakal pulang. Tapi yang jelas, gue nggak pernah berhenti mencintai elo, Na.”

Aku langsung diam saat kata cinta itu meluncur dari mulut Ficus. Ficus membelai kepalaku lembut.

“Eh, si Daka udah dapet cewek belum?” tanya Ficus kemudian.

Sekali lagi, nggak ada kata yang keluar dari mulutku. Aku nggak tahu harus bilang apa. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya padanya kalo sahabat terbaiknya itu sekarang sudah punya pacar dan pacarnya adalah aku? Aku yang sejak tiga tahun lalu sampai saat ini masih berstatus sebagai pacarnya? Karena antara aku dan Ficus sama sekali belum ada yang mengucapkan kata pisah. Aku nggak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalo Ficus tahu yang sebenarnya.

“Na, ditanya kok malah diam,” kata Ficus.

“Mmm ..... itu ......”

Suara motor yang memasuki halaman menyelamatkan aku dari kewajiban menjawab pertanyaan Ficus. Aku dan Ficus lantas berdiri, melangkah bersama ke pintu untuk melihat siapa yang datang.

Rasanya aku ingin berlari dan bersembunyi. Aku melihat keterkejutan di mata Aldaka saat dia melihatku di dalam pelukan Ficus.

“Ficus?” tanya Aldaka seraya menunjuk ke arah cowok yang ada di sisiku, yang sebelah tangannya melingkar di bahuku.

“Daka?” kata Ficus. Dia melepaskan lingkar tangannya di bahuku lantas memeluk sahabat terbaiknya itu.

Aku berdiri diam di teras menatap dua orang sahabat yang sekarang adalah pacarku, keduanya. Aku bisa melihat ada kebahagiaan di wajah Ficus dan kekecewaan di wajah Aldaka.

“Kapan dateng dari Aussie?” tanya Aldaka.

“Tadi pagi,” jawab Ficus singkat. “Eh, gue pulang, ya. Kayaknya Athena masih masih capek. Ntar malem aja gue kesini lagi.”

“Loh, kok pulang, sih!” kata Daka. “Kan baru ketemu sebentar.”

“Iya. Gue tau kok kalo elo masih kangen ama gue.”

“Cih, GR amat lo!” kata Daka. Ficus tertawa.

“Gue pulang ya, Na,” kata Ficus. Dia mencium keningku lantas naik ke motornya dan segera menghilang.

Aku bermaksud masuk ke dalam rumah begitu Ficus pulang. Aku lagi nggak pengin bertemu dengan Aldaka. Tapi cowok itu justru meraih tanganku dan memaksaku tinggal.

“Gue nggak mau kita putus, Na,” katanya.

Aku terperanjat mendengar apa yang diucapkan Aldaka.

“Elo serius?” tanyaku memastikan. Aldaka mengangguk cepat. “Lantas Ficus?”

“Terserah elo. Kalo elo nggak mau mutusin Ficus, nggak pa-pa. Gue sadar kok kalo gue yang salah. Gue rela kalo elo masih jalan ama Ficus. Asalkan kita nggak putus.”

Tanpa sadar, ada air mata yang menetes dari kedua mataku. Aku nggak tahu harus berbuat apa. Aku sayang dua-duanya. Aku nggak mungkin meninggalkan Daka, tapi aku juga nggak mungkin memutuskan hubunganku dengan Ficus. Dia terlalu baik untuk disakiti.

“Gue juga nggak mau kita putus, Ka. Tapi gue juga nggak mau mengkhianati Ficus,” kataku setengah bebisik.

Kami lantas sama-sama diam. Aku berharap Daka akan mengambil keputusan dan memutuskan hubungan kami. Tapi kenyataannya nggak. Dia justru berdiri, berjalan ke arahku lantas mencium pipiku dan berbisik, “Gue sayang elo, Na.”

Aldaka segera meninggalkanku menuju motornya. Dia menatapku sesaat sebelum kemudian melajukan motornya meninggalkan rumahku.

***

“Kita ajak Daka, ya?” kata Ficus saat menjemputku untuk malam mingguan. Dia memutar stir mobilnya di perempatan dekat rumah Aldaka.

“Daka?” tanyaku terkejut.

“Iya. Kenapa? Elo nggak suka?” tanya Ficus lagi. Aku diam. “Elo kok aneh, sih. Setiap kali gue bilang nama Aldaka, kayaknya elo nggak suka. Jangan-jangan elo sama Daka .........” Aku langsung panik. Aku takut Ficus sudah tahu hubungan itu. “Elo sama Daka marahan, ya?” lanjut Ficus. Aku menghela napas lega.

“Nggak.”

“Bener?” tanyanya lagi. Aku menjawab dengan anggukan kepalaku. “Ya, udah. Turun, yuk!” katanya lagi.

Mobil Ficus ternyata sudah berhenti. Karena terlalu panik, aku sampai tidak sadar kalau ternyata kami sudah sampai di depan rumah Aldaka.

Ragu-ragu aku melangkah mengikuti Ficus memasuki halaman rumah. Seorang anak laki-laki membukakan pintu untuk kami. Arka, adik semata wayang Aldaka. Dia tersenyum menyambutku.

“Halo, Sayang,” sapaku. Dan seperti biasa, dia langsung naik ke gendonganku, mencium pipiku. “Kak Daka ada?” tanyaku.

“Ada. Kenapa? Kak Nana udah kangen, ya?” godanya. Aku tersenyum tipis.

“Iya, nih!” kata Ficus. “Kak Ficus juga udah kangen.”

Arka menatap Ficus dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Kenapa? Arka udah lupa ya sama Kak Ficus?” tanya Ficus. Dan layaknya anak kecil yang masih polos, Arka menganggguk. Ficus tertawa. Dia lantas menarik Arka dari dalam gendonganku.

Aku memasuki rumah, melangkah ke kamar Aldaka, meninggalkan Ficus dan Arka yang lantas bercanda di ruang tamu.

“Ka,” panggilku seraya mendorong pintu kamar, membukanya.

“Nana?” kata Aldaka. Dia buru-buru beranjak dari tempat tidur. “Katanya elo mau pergi sama Ficus?”

“Emang. Tuh si Ficus ada di ruang tamu sama Arka. Cepet ganti baju! Ficus mau elo pergi ama kita,” kataku.

Aldaka sesaat hanya berdiri diam menatapku.

“Daka! Buruan! Ntar filmnya keburu maen!” kataku galak.

“Oke, oke. Tunggu sebentar.”

“Ya udah. Gue tunggu di ruang tamu,” kataku. Aku hampir melangkah keluar kamar saat Aldaka tiba-tiba menarik sebelah tanganku.

“Na, gue sayang elo,” katanya pelan, setengah berbisik.

“Gue tau. Gue juga sayang elo.”

Aldaka tiba-tiba menarik tanganku, mendekatkan wajahnya ke wajahku lantas mengecup bibirku. Aku buru-buru mendorong tubuhnya.

“Jangan, Ka,” kataku. Aku lantas keluar dari kamarya.

Kecupan Aldaka tadi rasanya masih melekat di bibirku saat aku melangkah ke ruang tamu.

“Loh, Arka mana?” tanyaku saat menemukan Ficus duduk di ruang tamu sendirian.

“Oh, dia di kamarnya. Lagi nyoba mainan yang tadi gue bawain buat dia.” Aku manggut-manggut tanda mengerti. “Daka mana?” tanya Ficus.

“Dia masih ganti baju. Eh, elo mau minum dulu nggak?” tanyaku.

“Nggak, deh! Emangnya kalo gue mau minum, elo mau buatin?”

“Ya iyalah! Masak nggak?”

“Nggak usah, deh! Habis ini paling juga beli minuman,” kata Ficus.

“Berangkat sekarang?” tanya Aldaka yang ternyata sudah siap.

“Yuk!” kata Ficus. Dia berdiri.

“Oom ama tante kemana sih, Ka?” tanyaku saat kami berjalan menuju mobil.

“Ke pesta pernikahan temen papi.”

“Loh, terus Arka di rumah sama siapa?” tanya Ficus. Dia membuka pintu mobil.

“Kan ada pembantu,” jawab Aldaka seraya mendaratkan pantatnya di jok belakang mobil.

Nggak ada bicara buat waktu yang cukup lama sampai saat Ficus membelokkan mobilnya memasuki lapangan parkir bioskop.

“Kalian berdua sebenernya kenapa, sih? Kok sekarang beda. Jangan-jangan ada yang kalian sembunyiin dari gue, ya?” kata Ficus. Dia lantas menghentikan mobilnya setelah menemukan tempat kosong.

Aku dan Aldaka sama-sama diam. Bahkan sampai kami turun dari mobil. Kami cuma saling padang.

Hey, Guys! I’m talking to you!” kata Ficus.

“Kita nggak menyembunyikan sesuatu dari elo, Fic!” kataku. Daka mengangguk, mengiyakan.

“Nah, gitu, dong! Ngomong!”

Kami lantas melangkah. Ficus melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku sempat melirik Daka dan melihatnya membuang muka. Aku pasti juga akan melakukan hal yang sama jika ada di posisinya.

“Nih, tiketnya,” kata Ficus setelah mendapatkan tiket. Dia menyerahkan tiket itu padaku. “Gue mau ke toilet dulu,” katanya lagi. Dia lantas dengan cepat meninggalkan aku dan Aldaka.

Aldaka merangkul bahuku begitu Ficus menghilang dari pandangan kami. Kami berjalan bersama ke tempat penjualan makanan, membeli tiga kaleng softdrink dan popcorn. Aldaka melepaskan lingkar tangannya di bahuku lantas menyulut sebatang rokok.

“Sejak kapan elo merokok?” tanyaku. Soalnya aku tahu, dia nggak suka merokok.

“Sejak elo nggak sepenuhnya jadi milik gue,” jawabnya cuek.

Belum sempat ada kata yang keluar dari mulutku, Ficus sudah menghampiri. Kami lantas masuk ke dalam bioskop. Aku duduk di antara Ficus dan Aldaka. Ficus melingkarkan tangannya di bahuku. Dia nggak tahu kalo tangan kiriku tengah digenggam erat oleh tangan Aldaka.

Dua seperempat jam berlalu. Kami keluar begitu film selesai.

“Kalian duluan aja ke mobil. Gue mau ke toilet dulu,” kata Daka. Dia lantas berjalan mendahului kami.

Aku dan Ficus melangkah keluar, menuju mobil yang terparkir sambil sesekali bercanda.

“Athena!”

Aku menoleh. Titan, temanku di tempat les berjalan cepat ke arah Ficus dan aku.

“Hai, sama siapa?” tanya Titan setelah bersalaman dan cium pipi kanan kiri.

“Ini. Kenalin, ini Ficus,” kataku. Ficus mengulurkan tangan yang dengan cepat disambut oleh Titan.

“Baru, ya? Aldaka elo kemanain?” tanyanya sambil menyikutku.

Rasanya seperti tersambar petir sewaktu pertanyaan itu menyapa telingaku. Aku melihat air muka Ficus langsung berubah. Dia tanpa mengatakan apa-apa langsung melangkah meninggalkanku.

“Loh, temen elo mau kemana?” tanya Titan.

“Nggak tau, tuh. Sori ya. Dia emang suka gitu,” kataku.

“Ya udah deh. Gue masuk dulu, ya? Bye

Bye.”

Aku segera melangkah ke mobil, menyusul Ficus. Ternyata Aldaka juga sudah ada di sana. Mereka sama-sama diam, menantiku di luar mobil.

“Ayo pulang,” kata Ficus ketus. Aku belum pernah mendengar dia bicara seketus itu.

Daka dan aku menurut. Nggak ada yang bicara selama perjalanan. Ficus menghentikan mobil di pinggir jalan yang lumayan sepi di dekat perumahan tempat Daka tinggal.

“Daka, turun!” katanya, nggak kalah ketus dari sebelumnya.

Aldaka dan Ficus hampir bersamaan membuka pintu.

“Elo tetep di sini!” kata Ficus saat melihatku hampir membuka pintu. “Jangan coba-coba turun!”

Aku menurut. Aku sama sekali nggak berani membuka pintu mobil. Dari dalam mobil, aku melihat Ficus menarik Aldaka ke lapangan yang biasanya mereka pakai bermain sepak bola waktu mereka kecil dulu. Mereka berdebat lumayan lama. Ficus nampak sangat marah dan Daka nggak kelihatan melawan.

Dengan cepat aku membuka pintu mobil dan berlari ke arah mereka saat melihat Ficus akhirnya mengayunkan pukulan ke wajah dan perut Daka. Sedangkan Aldaka hanya diam, tidak membalas.

“Ficus, jangan!” teriakku. Ficus menoleh ke arahku.

“Gue kan udah bilang jangan turun, kenapa turun?” tanya Ficus dengan galak.

“Fic, gue nggak akan membiarkan elo mukulin Daka tanpa sebab!”

“Tanpa sebab elo bilang? Apa gue nggak boleh mukulin orang yang udah merebut cewek gue?”

“Elo ngomong apa, sih?” tanyaku.

“Jangan pura-pura nggak ngerti, deh! Gue tahu, kalian berdua pacaran, kan?” katanya.

Aku menatap Aldaka. Pipinya lebam akibat pukulan Ficus. Dia juga menatapku.

“Tadi gue liat kalian ciuman di kamar Aldaka. Tadinya gue nggak curiga apa-apa. Tapi .......” Ficus nggak menyelesaikan ucapannya. “Kenapa sih semua orang tahu sedangkan gue, pacar elo justru nggak tahu?” katanya lagi kemudian dengan keras.

“Semua orang?” tanyaku.

“Iya. Semua orang. Arka, temen les lo tadi, semua orang! How could I be so blind?”

Ficus bersiap memukul Aldaka lagi. Tapi aku buru-buru berdiri di hadapan Aldaka, mencoba melindunginya dari pukulan Ficus. Membuat cowok itu urung mengayunkan tangannya.

“Jadi sekarang elo melindungi dia? Kenapa?” tanya Ficus. “Oh iya. Gue lupa. Sekarang kan dia cowok elo juga. Sori, gue bener-bener lupa.”

“Daka nggak salah, Fic,” kataku kemudian lirih.

“Dia nggak salah? Lantas siapa yang salah? Gue?”

“Iya. Lebih tepatnya kita berdua,” kataku. Ficus memandangku tak mengerti. Daka juga. “Selama dua tahun terakhir ini apa elo pernah ngasih kabar ke gue? Apa elo pernah telpon atau kirim email ke gue? Pernah?” tanyaku keras. Ficus diam menatapku. “Gue emang sayang elo, Fic. Gue emang janji bakal nunggu elo pulang. Tapi gue juga manusia biasa. Gue nggak tahan ditinggal sedirian tanpa tahu gimana kabar elo, gimana keadaan elo.” Masih nggak ada yang membuka mulut. “Dan gue akui, gue salah. Gue salah karena gue nerima cinta Daka. Gue salah karena gue membuka hati gue buat dia sedangkan kita belum putus.”

“Tapi, Na .......” kata Aldaka.

“Udah, Ka. Elo nggak usah ngomong apa-apa,” potongku cepat sebelum Aldaka menyelesaikan ucapannya.

“Oke. It looks so clear now.” Ficus melepas kalung yang melingkar di lehernya. Kalung yang sama dengan milik Aldaka. “Kita putus. Sekarang!” kata Ficus kemudian sambil menatapku. “Dan ini!” Dia lantas melemparkan kalungnya ke arah Aldaka. “Ambil kalung ini! Gue rasa, gue nggak butuh lagi benda itu. Dan cukup sampai di sini persahabatan kita!”

“Tapi, Fic .....” kata Aldaka, dia meraih kalung yang dilemparkan Ficus padanya.

“Gue nggak mau dengar apapun dari mulut elo!” potong Ficus seraya menunjuk tepat ke wajah Aldaka. Dia segera masuk ke dalam mobil dan meninggalkan kami.

Aku berdiri mematung menatap Aldaka. Cowok itu, yang sebagian wajahnya lebam, berdiri di hadapanku, menatap kosong ke arah yang dituju mobil Ficus. Nggak lama, aku melihat ada senyuman pahit di wajahnya yang lumayan hancur karena pukulan Ficus tadi.

“Gue tahu semuanya bakal kayak gini,” katanya pelan. Seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi seandainya dulu gue nggak nekat nembak elo, mungkin gue nggak akan tahu kalo elo dari dulu sebenernya cinta ama gue, bukan dia, bukan Ficus. Iya, kan?” katanya. Kami lantas sama-sama tertawa.

Aku melangkah mendekatinya, memeluk tubuhya erat. Kami lantas melangkah bersama ke rumahnya.

***

Seminggu kemudian, sebuah email masuk ke dalam inbox emailku.

Dear Athena,
Hai, pa kabar? Gue yakin elo baik-baik aja. Gimana kabar Daka? Just as fine as you, right? Ah, gue jadi merasa bodoh karena baru sekarang nulis email ke elo. Hal yang seharusnya gue lakukan dua tahun lalu. Gue cuma mau minta maaf soal malam itu. I really am.
Oh iya. Kemaren gue pergi ke padang rumput. Gue berbaring disana, melihat langit dan gue langsung inget elo. Gue jadi inget cinta kita, persis banget sama awan-awan putih di langit itu. Indah waktu kita pertama kali mengenalnya, tapi di belakangnya kadang dia membawa badai yang menyakitkan.
Udahlah. Gue seharusnya nggak mengingat hal itu. Gue berdoa semoga elo dan Daka bahagia. Sampein maaf gue ke Daka juga. Gue bakal cabut kata-kata gue. Dia tetap sahabat gue, selamanya. Jangan lupa sampein ke dia, ya? Dan jaga dia baik-baik.
Luv, Ficus.

Aku tersenyum, berpaling ke arah cowok yang duduk di sisiku, yang juga tersenyum saat aku akhirnya mematikan komputer.

“Gue sayang elo, Na,” bisik Aldaka kemudian.

Tamat ( 15 September 2001)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan