Hak (2)
Aku mencabut lepas headset yang menyumpal telinganya
semenjak tadi. Bukan semenjak tadi sebenarnya, tapi semenjak beberapa hari ini.
Dengan malas, dia mendongakkan kepalanya, menatapku dengan raut wajah yang
sangat datar.
"Nggak baik buat telinga," kataku sambil duduk di
hadapannya.
"Ini jauh lebih baik daripada mendengar suara-suara
itu," jawabnya. Sebelah tangannya siap memasang kembali headset yang
kulepas.
Aku menahan tangannya. "Suara apa?" tanyaku
penasaran.
"Ya suara itu. Suara yang berteriak-teriak menuntut
haknya dipenuhi."
Tanganku masih ada di tangannya, masih belum melepaskannya
hingga akhirnya dia menyerah dan menurunkan tangan, urung memasang kembali
headset di telinganya.
"Maksudmu apa, sih? Aku nggak ngerti," kataku.
"Memangnya mereka salah menuntut haknya? Mereka berhak kok untuk itu.
Mereka juga punya hak untuk berpendapat, untuk bersuara. Itu kan sudah dijamin
oleh Undang-undang dasar."
Dia menghela napas lalu menatapku. "Itulah yang bikin
aku nggak suka. Mereka merasa sudah dijamin Undang-undang. Tapi sayangnya
mereka lupa bahwa hak itu bukan hak absolut. Mereka lupa bahwa orang lain juga
memiliki hak yang sama. Dan buatku, yang lebih parah dari itu, mereka lupa
bahwa mereka punya kewajiban untuk menjamin hak-hak orang lain."
Aku masih tak terlalu paham dengan kata-katanya, masih
mencoba mencerna semuanya.
"Hak untuk berbicara misalnya. Mereka marah karena
merasa hak mereka untuk berbicara dihalangi. Tapi, apa? Ketika diberikan hak,
yang mereka bicarakan hanya kejelekan orang, membuka aib orang, menuduh orang,
menyakiti. Gimana aku nggak muak coba?
"Intinya, Na, yang bikin aku paling muak tuh, mereka cuma bisa nuntut, nuntut, dan nuntut! Ah, negeri ini memang negeri para penuntut!" Dia melepaskan tangannya dari tanganku lalu kembali memasang headset di telinganya.
Komentar