Lepaskan Tangismu Dalam Pelukku

 
www.pickywallpapers.com


Matahari beranjak pulang. Perlahan turun membentuk warna merah tua di atas pantai sore ini. Senja yang indah. Nggak ada mendung yang menemani pulangnya matahari.

Septiano yang sedari tadi duduk di pasir pantai, mulai bangkit dari duduknya setelah matahari benar-benar pulang. Pelan dia melangkah menuju rumah tingkat di seberang jalan, dekat pantai.

Brak! Pintu depan rumah tingkat itu terhempas kuat. Septiano lantas menapaki anak-anak tangga, menuju kamarnya. Dan pintu kamar itu bernasib sama dengan pintu depan. Valent, adik cewek Septiano, cuma geleng-geleng kepala melihat tingah kakak kesayangannya itu. Dia lantas menyusul Septiano ke kamar.

“Elo kenapa, sih?” tanya Valent begitu membuka pintu kamar. Dia menemukan Septiano tengah berbaring. Cowok itu diam saja, tidak menjawab pertanyaan Valent. “Oh, jadi ceritanya sekarang lagi mogok ngomong, nih?!”

“Nggak ada yang perlu diomongin, buat apa ngomong?”

“Ada apa sih, Kakakku sayang?” Valent duduk di sisi Septiano. “Elo ada masalah sama Vera?”

“Nggak. Dan nggak bakal ada masalah lagi sama dia. Kita udah putus,” kata Setiano seraya bangkit dan duduk. Pelan dia mendesah kemudian. “Seharusnya emang gue nggak perlu bilang ke Vera soal penyakit gue. Kalo aja gue nggak bodoh, kalo aja gue nggak bilang ke dia kalo gue punya penyakit jantung, mungkin dia nggak bakal ninggalin gue,” lanjutnya.

“Oh, jadi kalian putus.” Valent meraih guling dan memangkunya. “Udah, deh! Cewek gituan dipikirin. Nggak ada untungnya. Lupain aja, deh!” katanya.

“Mudah kalo cuma bilang. Tapi gue nggak bisa, Lent. Gue cinta mati ama dia.”

“Eh, gue bilangin, ya. Cewek macam Vera tuh nggak berhak dapet cinta tulus elo. Gue jadi nggak ngerti elo, deh. Bisa-bisanya elo jatuh cinta ama Vera. Padahal kan dia .....”

“Udah, Lent. Cukup. Gue nggak butuh denger elo bilang hal-hal jelek tentang Vera lagi. Gue udah cukup denger semua itu.”

Valent menurunkan guling dari pangkuannya lalu berdiri.

“Emang susah ngomong ama elo!”

Sekarang giliran Valent yang membanting pintu kamar Septiano. Begitu keras pintu itu dibanting sampai-sampai foto yang tergantung di dekatnya bergoyang, nyaris jatuh. Septiano memandang foto itu, fotonya bersama Vera, cewek yang sangat dia sayangi. Sayang cewek itu justru memilih melangkah pergi saat Septiano mulai berani mengungkapkan kejujurannya. Dia memilih pergi saat Septiano berani mengatakan tentang penyakit jantung bawaannya. Sayang.

***

“Gimana, Dok?” tanya Septiano begitu selesai diperiksa.

“Kayaknya kamu lagi ada masalah, ya? Keadaan kamu bukannya jadi baik malah tambah buruk. Kenapa?” kata dokter itu.

Septiano tersenyum tipis. “Nggak pa-pa kok, Dok. Cuma lagi stress mikir ujian.”

“Ya udah. Jangan terlalu membebani pikiran kamu. Jaga kesehatan.”

Septiano, cowok itu melangkah keluar kamar praktek dokter Trisula setelah berpamitan. Pelan dia melangkah melewati koridor-koridor rumah sakit.

“Septiano!” Seorang cewek berjalan cepat ke arah Septiano yang menghentikan langkah saat mendengar namanya dipanggil. “Hai,” sapa Amanda, cewek itu, teman sekelas Septiano.

“Hai, Man.”

“Siapa yang sakit?” tanya Amanda kemudian.

“Gue. Kena wabah flu, nih,” katanya berbohong.

“Ya udah. Cepet sembuh!”

Thanks. Gue duluan,” kata Septiano yang lantas melangkah meninggalkan Amanda.

Amanda dengan cepat menuju kamar praktek papanya setelah Septiano meninggalkannya.

“Siang, Dok,” sapa Amanda dengan suara dibuat-buat.

“Siang, Sayang,” kata dokter Trisula yang lantas memeluk putri kesayangannya itu.

“Jadi nggak, Pa?”

“Jadi. Sebentar, papa beres-beres dulu.” Dokter Trisula mencuci tangannya di wastafel. “Eh, kamu tadi ketemu nggak?” tanyanya sambil mengeringkan tangan.

“Ketemu siapa?”

“Temen kamu. Siapa ya namanya, mmmm, oh iya. Namanya Septiano Tennant. Katanya dia temen kamu sekelas.”

“Septiano?” tanya Amanda kaget.

“Iya. Kamu kenal?”

Amanda mengangguk. “Emang dia sakit apa, Pa?”

“Oh itu. Ada masalah sama jantungnya sejak dia lahir.”

“Parah nggak?”

Dokter Trisula menatap putrinya. Hanya menatapnya tanpa menjawab pertanyaan yang baru saja terlontar.

“Yuk. Keburu tokonya tutup,” katanya kemudian seraya melangkah ke pintu.

***

Bel masuk berbunyi tepat ketika Septiano keluar dari tempat parkir. Setengah berlari, cowok berdarah campuran Kanada – Jawa itu menuju kelasnya. Baru saja dia duduk, guru piket masuk kelas dan memberikan tugas karena guru yang mengajar hari ini tidak bisa masuk.

Septiano tiba-tiba merasakan dadanya sakit, amat sakit begitu guru piket meninggalkan kelas. Cowok itu menelungkup di meja dalam lindungan tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegangi dadanya. Lumayan lama kemudian, rasa sakit itu hilang.

“Elo kenapa?” tanya Ardiansyah, teman sebangku Septiano yang baru saja masuk kelas.

“Nggak pa-pa,” jawab Septiano. Dia lantas berdiri dan melangkah keluar kelas.

Tanpa Septiano sadari, sepasang mata mengamatinya dari pojok kelas. Amanda hanya bisa tersenyum pahit.

***

“Pagi ini saya akan mengambil nilai untuk lari seratus meter,” kata Guru Olah Raga dengan sebelah tangan memegang stop watch dan sebelah lagi memegang buku nilai.

“Waaaaaaaaaa,” teriak seluruh kelas kecewa. Yah, memang hampir semua anak membenci olah raga yang satu ini.

Satu jam pelajaran berlalu lama untuk semua murid. Lama dan melelahkan. Masih ada satu jam pelajaran lagi. Murid yang sudah lari diperbolehkan ganti baju duluan. Septiano bergegas ke ruang ganti cowok begitu dia menyelesaikan larinya. Tapi baru saja dia menyentuh pintu loker, rasa sakit di dada kirinya datang lagi. Dia berusaha meraih obatnya yang ada di rak atas loker, tapi nggak bisa. Tubuh Septiano keburu jatuh di ruang ganti yang pagi ini masih kosong.

Amanda yang baru saja berganti pakaian di ruang ganti cewek, tepat di sebelah ruang ganti cowok urung melangkah ke kelas saat dia dari pintu ruang ganti yang sedikit terbuka melihat Septiano yang memegangi dadanya. Cewek itu tanpa pikir dua kali langsung masuk ke ruang ganti cowok. Septiano nampak kesakitan sampai tidak mampu meraih botol obatnya tergeletak di lantai lumayan jauh darinya.

Bergegas Amanda mengambil botol obat Septiano dan mendatangi cowok itu, meminumkan sebutir obat padanya.

“Elo nggak pa-pa?” tanya Amanda begitu Septiano nampak baikan. Septiano mengangguk pelan.

Thank God. Nggak ada yang liat kejadian tadi,” kata Septiano amat lirih. Amanda menatapnya tak mengerti.

“Apa hal ini perlu disembunyiin?” tanya Amanda.

Septiano tidak langsung menjawab. Dia menatap Amanda sesaat lantas angkat bahu.

“Gue cuma nggak mau orang menatap kasihan ke gue, Man. Gue udah bosen selalu dikasihani.”

Pintu ruang ganti tiba-tiba terbuka lebar dan beberapa cowok menyerbu masuk.

“Eh, ngapain elo di ruang ganti cowok?” tanya Hary, salah satu dari cowok itu. Amanda buru-buru berdiri.

“Hayo Amanda, elo habis ngapain sama Septiano?” goda yang lain. Amanda hanya tersenyum lantas dengan cepat keluar ruang ganti.

***

Hot news esok paginya; ADA APA ANTARA AMANDA DAN SEPTIANO???

Berita tentang Amanda yang ada di dalam kamar ganti cowok bersama Septiano menyebar ke seluruh sudut sekolah. Hampir semua murid di sekolah itu membicarakan hal tersebut. Kali ini bahkan lebih heboh dari beberapa hari sebelumya saat berita putusnya Septiano dan Vera menyebar.

“Sebenernya kalian kemaren tuh ngapain berduaan di ruang ganti cowok?” tanya teman sebangku Amanda waktu ganti pelajaran. Amanda hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyuman.

***

Sebuah motor berhenti di depan rumah tingkat dekat pantai. Nggak lama, pengendara motor itu turun dari motornya dan memencet bel. Pintu akhirnya terbuka.

“Elang!” kata Valent senang saat tahu siapa tamunya. Cewek bermata coklat itu tersenyum ramah menyambut tamunya. “Ayo masuk! Tian ada di kamarnya.”

Elang, cowok itu, sahabat Septiano sejak kecil. Dia melangkah cepat menapaki anak-anak tangga menuju kamar Septiano. Perlahan dia membuka pintu kamar dan amat sangat terkejut saat menemukan Septiano nggak sadarkan diri di lantai dengan obat berceceran.

“Tian!” panggilnya seraya merengkuh tubuh Septiano dan menidurkannya di atas tempat tidur.

Dengan cepat Elang mengambil obat dan meminumkannya pada Septiano. Sesaat kemudian, cowok itu akhirnya bangun.

“Elo kenapa?” tanya Elang cemas. “Gue lihat akhir-akhir ini elo sering sakit.”

“Gue emang dari dulu sakit,” kata Septiano pelan.

“Oh, come on! Elo tahu maksud gue, kan?”

“Iya. Gue tahu.”

“Elo masih mikirin Vera?”

Septiano menggeleng. Tapi dia tahu, dia nggak akan pernah bisa bohong sama Elang, orang yang amat sangat memahaminya.

“Udahlah. Nggak usah deh mikirin cewek itu lagi.”

Nggak ada kata yang keluar dari mulut Septiano. Buat beberapa saat, kamar itu hening.

Pintu kamar terbuka dan Valent masuk dengan baki berisi makanan dan minuman. Sambil tersenyum, dia menawarkan minuman ke Elang lantas duduk di sisinya.

Baru saja tangan Elang menyentuh gelas, Septiano buru-buru mencegah cowok itu meminum isinya.

“Jangan! Elo kan tahu kalo tuh anak naksir elo. Jangan-jangan minuman ama makanan itu udah dia dukunin. Ntar kalo elo kepelet gimana? Gue kan sayang elo, Lang. Gue nggak mau elo jatuh ke tangan cewek kejam macam Valent,” kata Septiano panjang lebar.

Septiano menoleh ke arah Valent dan mendapati cewek itu sudah mengangkat bantal yang tadi dipangkunya, siap memukulnya. Dan cewek itu memang akhirnya memukulkan bantal itu ke punggung kakaknya. Perang bantal dimulai!

***

Kejadian di ruang ganti cowok dua hari lalu ternyata nggak mudah dilupakan. Berita itu masih santer dibicarakan.

“Elo jadian ama Amanda, nggak?” tanya seorang cewek pada Septiano di kantin, salah seorang fans-nya.

“Emang kenapa?” tanya Septiano nggak antusias.

“Ya ........ ya nggak pa-pa, sih! Nanya aja.”

Pelan Septiano mengaduk minumannya. Kedua matanya nggak berhenti menatap Vera, cewek cantik kembang sekolah yang sedang bercanda dengan teman-temannya tak jauh dari tempat Septiano duduk.

Sebelum putus, mereka -Septiano dan Vera- biasa menghabiskan jam istirahat di kantin berdua.

“Sebenernya kalian di ruang ganti ngapain, sih?” tanya seorang cewek yang tiba-tiba duduk di hadapan Septiano.

Kedua mata menatap cewek yang duduk di hadapannya. Dia sudah malas membahas masalah itu. Nggak tau kenapa kekesalannya memuncak setiap kali ada yang menanyakan hal itu.

“Ditanyain juga!” tegur cewek itu.

Tangan Septiano bergerak cepat meraih tangan Amanda yang kebetulan melintas di sebelahnya, memaksa cewek itu duduk di sisinya. Sebuah spontanitas yang cukup membuat beberapa pasang mata memandang cemburu.

“Kalian pengin tahu apa yang terjadi di ruang ganti cowok siang itu?” tanya Septiano dengan keras. Semua mata yang ada di kantin langsung menatap ke arah cowok indo itu. “Ini yang terjadi,” katanya lagi sebelum kemudian dia mengecup bibir Amanda.

Kedua mata Septiano melirik ke arah Vera yang nampak kesal. Dia melihat cewek itu dengan cepat melangkah keluar kantin bersama teman-temannya.

Amanda yang sama sekali nggak mengerti apa yang terjadi untuk sesaat hanya diam saat bibir Septiano menyentuh bibirnya. Tapi dia lantas mendorong tubuh cowok itu dan berdiri.

Plak! Tangan Amanda mendarat di pipi Septiano. Ada amarah di kedua matanya. Dia lantas melangkah cepat meninggalkan kantin.

Sebelah tangan Septiano mengelus pipinya yang terkena tamparan Amanda. Semua orang di kantin langsung berbisik-bisik sambil menatapnya. Cowok itu akhirnya meninggalkan kantin, mengejar langkah Amanda.

“Manda, tunggu!” teriaknya saat menemukan sosok Amanda yang melangkah cepat ke kelas. “Tunggu, Man!” teriaknya lagi sambil berlari mendatangi cewek itu.

Langkah kaki Amanda bukannya melambat malah bertambah cepat saat dia mendengar Septiano memanggil namanya. Septiano akhirnya berhasil mengejar langkah Amanda. Dia meraih tangan cewek itu, memaksanya berhenti.

“Apa?” tanya Amanda galak saat Septiano memintanya menghentikan langkah.

“Maafin gue, Man,” kata Septiano pelan. Dia menatap lurus ke dalam kedua mata Amanda. “Yang di kantin tadi itu .........” Septiano diam sebentar. “Elo nggak benci gue kan, Man?”

“Gue nggak benci elo.”

“Lantas?”

“Lantas apa?” tanya Amanda balik. “Lantas kenapa tadi gue menampar elo?” Septiano mengangguk. “Karena elo mempermainkan gue! Karena elo melakukan hal itu bukan karena elo cinta ke gue. Elo melakukan semua itu karena elo pengin membuat Vera cemburu. Elo melakukan semua itu biar semua orang tau kalo elo hebat!” kata Amanda kemudian keras.

Genggaman tangan Septiano di tangan Amanda mengendur begitu dia mendengar kata-kata yang meluncur keras dari mulut Amanda. Dia berdiri terpaku bahkan sampai saat Amanda melangkah cepat meninggalkannya.

***

Vera membanting tas sekolahnya ke lantai dengan kesal. Dia sama sekali nggak mengerti maksud Septiano dan ciuman yang dia berikan pada Amanda di kantin tadi.

“Tian bodoh!” teriaknya sambil melemparkan boneka kelinci kesayangannya ke arah foto Septiano yang dia letakkan di sisi tempat tidurnya.

Suara ponsel sedikit membuat amarah Vera reda. Apalagi nama yang terpampang di layar ponsel itu.

“Ada apa?” tanya Vera.

“Besok malem keluar, yuk!” ajak cowok yang menelponnya.

”Ya. Jemput jam tujuh, ya?”

“Oke, Hon.” Vera tersenyum. “I love you,” kata cowok itu lagi setengah berbisik sebelum kemudian menutup telpon.

***

Sekolah mulai sepi setelah dua puluh menit yang lalu bel pulang berbunyi. Septiano melangkah pelan meninggalkan ruang BK setelah mengumpulkan buku jurnal dan absen yang wajib dikumpulkan setiap hari Sabtu. Dia kemudian mengambil motornya di tempat parkir dan berniat pulang.

Sosok Amanda yang berdiri di luar pagar sekolah membuat Septiano mengurungkan niatnya untuk pulang. Dia menghentikan motor di depan Amanda.

“Belum pulang?” tanya Septiano sambil membuka helm fullface-nya. Rambut coklatnya semakin terlihat coklat karena tertimpa sinar matahari.

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Amanda.

“Elo masih marah sama gue?” tanya Septiano lagi.

“Gue nggak marah sama elo.”

“Sori, ya?”

“Iya iya. Elo udah berulang kali bilang hal itu.” Amanda menatap Septiano. “Sudahlah,” katanya lagi.

Vera melintas di hadapan kedua orang itu. Septiano tersenyum, mencoba ramah. Tapi cewek itu nggak membalas senyuman Septiano, dia bahkan sama sekali nggak memalingkan wajahnya pada Septiano.

Amanda menggelengkan kepalanya pelan seraya tersenyum.

“Kenapa?” tanya Septiano nggak mengerti dengan arti senyuman Amanda.

“Nggak apa-apa. Eh, gue duluan, ya?” kata Amanda saat sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di hadapannya.

Jendela mobil itu terbuka dan seorang yang amat dikenal Septiano melambaikan tangannya pada cowok itu.

“Apa kabar?” tanya dokter Trisula dari dalam mobil.

“Baik,” jawab Septiano.

“Duluan, ya?” kata Amanda lagi. Dia naik ke dalam mobil yang lantas melaju pelan meninggalkan Septiano.

***

Puluhan kali Vera mematut dirinya di depan cermin. Lima menit lagi Bintang, cowok barunya, akan menjemputnya.

Bel depan berbunyi, nggak lama pintu kamar Vera diketuk pelan.

“Ver, ada temen kamu, tuh!”

“Iya, Ma. Sebentar.”

Sekali lagi Vera memandang bayangannya di cermin. Baru saja dia mencapai pintu, pigura yang berisi foto Septiano tiba-tiba jatuh. Vera langsung menghentikan langkah. Ditatapnya pecahan pigura foto yang ada di lantai itu sesaat sebelum kemudian dengan sedikit malas dia membersihkannya.

Vera akhirnya keluar kamar setelah membersihkan pecahan pigura itu. Bintang sudah menunggunya di ruang tamu. Cowok yang dikenalnya tepat sehari setelah dia putus dengan Septiano itu tersenyum saat Vera mendatanginya.

“Pergi dulu, Tante,” kata Bintang ramah pada mama Vera.

“Hati-hati, ya?! Pulangnya jangan terlalu malam,” kata mama Vera yang dengan cepat disambut anggukan kepala Vera dan Bintang.

“Kita mau kemana?” tanya Vera saat Bintang memboncengnya.

“Nonton. Habis itu kita ke restoran baru, punya temen gue. Baru aja dibuka,” jelas Bintang. Vera hanya ber-o pendek.

Dua jam berlalu cepat di dalam bioskop. Bintang melajukan motornya ke sebuah restoran nggak jauh dari bioskop.

“Ayo turun,” kata Bintang. “Nah, tu dia pemilik restoran,” kata Bintang seraya menunjuk seorang cowok yang hampir melangkahkan kakinya memasuki restoran. Seseorang yang pernah sangat dikenal oleh Vera. “Elang!” teriak Bintang seraya menarik tangan Vera, mengajaknya berlari mendatangi Elang yang langsung menghentikan langkah saat mendengar namanya disebut.

“Eh, elo, Bin. Pa kabar elo?” tanya Elang.

“Baik. Eh, kenalin. Ini cewek gue,” kata Bintang.

Ragu-ragu Vera mengulurkan tangan pada Elang. Cowok itu tersenyum saat menggenggam tangan Vera.

“Elang,” katanya pendek, memperkenalkan diri.

“Vera,” kata Vera pelan. Dia bisa bernapas lega karena Elang nggak mengungkit-ungkit masalah Septiano di hadapan Bintang.

“Masuk, deh! Sori ya gue nggak bisa nyariin tempat. Soalnya lagi penuh banget,” kata Elang.

“Nggak pa-pa, kok! Biar kita nyari sendiri aja,” kata Vera.

“Iya. Biar kita cari sendiri aja,” tambah Bintang.

Elang melangkah mendahului Vera dan Bintang ke dalam restoran. Vera dan Bintang lantas duduk dan memesan makanan.

“Gue ke toilet sebentar, yah!” kata Bintang yang lantas meninggalkan Vera.

Vera lumayan terkejut saat Elang datang mengantarkan makanan. Cowok itu duduk di hadapan Vera tanpa disuruh.

“Bintang mana?” tanya cowok itu.

“Toilet,” jawab Vera pendek. “Tian nggak dateng?”

“Nggak. Dia lagi sakit,” jawab Elang. “Gue pikir elo udah lupa sama Tian,” katanya lagi. Membuat Vera menghela napas.

“Udah, deh!” katanya.

“Gue nggak nyangka elo ninggalin Tian buat cowok macam Bintang,” kata Elang. Vera menatapnya nggak mengerti. “Gue nggak nyangka ternyata elo tuh bodoh!”

“Udah, deh, Lang! Jangan hakimi gue!” kata Vera kesal. “Gue melakukan ini buat masa depan gue.”

“Oh, buat masa depan elo? Jalan sama cowok macam Bintang, juga buat masa depan elo?”

“Emangnya ada yang salah sama Bintang?” tanya Vera nggak mengerti.

Belum sempat Elang menjawab, Bintang sudah datang.

“Eh, makanannya udah dateng, ya?” katanya.

Elang berdiri lantas melangkah meninggalkan meja itu tanpa sepatah kata-pun.

Tak lama, Bintang dan Vera menyudahi makannya. Mereka meninggalkan uang di meja lantas bergegas melangkah keluar dari restoran itu.

Elang sedari tadi menatap ke arah Vera, cewek yang dulu pernah ada di hatinya itu. Dia melihat Vera selalu menghindar setiap kali Bintang berusaha mencuri ciuman. Elang nggak habis pikir bagaimana Vera bisa meninggalkan cowok sebaik Septiano buat cowok bermasalah macam Bintang. Kalo dulu dia merelakan Vera buat Septiano, itu karena dia percaya pada Septiano. Dia tahu Septiano adalah cowok baik-baik, nggak seperti Bintang. Dia nggak bisa merelakan Vera buat cowok itu.

Baru saja akan mulai bekerja, Elang tiba-tiba melepas celemeknya dan berjalan cepat ke arah motornya yang ada di tempat parkir. Nggak tahu kenapa, perasaannya nggak enak. Dia akhirnya mengikuti motor Bintang.

Elang sempat kehilangan Bintang di perempatan dekat rumah Bintang. Tanpa pikir dua kali, Elang langsung mendatangi rumah Bintang. Dan dia menemukan motor Bintang di halaman rumah itu.

Lumayan lama Elang menanti di depan rumah Bintang. Nggak tahu kenapa, dia merasa harus terus berada di sana sampai Bintang mengantar Vera pulang.

Prang! Suara gelas yang pecah dari dalam rumah Bintang membuat Elang turun dari motornya dan berusaha masuk ke dalam rumah itu tapi pintu rumah itu terkunci dari dalam.

“Jangan, Bin,” kata Vera memohon. Elang bisa mendengarnya dengan jelas.

“Udah, deh! Nggak usah sok suci gitu!” kata Bintang dengan marah. Dari jedela yang tirainya tidak ditutup, Elang bisa melihat Bintang berusaha menelanjangi Vera.

“Jangan, Bin!” kata Vera lemah.

“Elo mau teriak?” tanya Bintang masih sambil berusaha membuka baju Vera. “Teriak aja! Nggak bakal ada yang denger! Di rumah ini cuma ada kita dan tetangga gue nggak bakal peduli.”

Elang lantas mengangkat kursi yang ada di teras dan memecah kaca jendela. Dari sela-sela teralis, dia memutar kunci yang tergantung di pintu. Elang lantas langsung masuk begitu pintu terbuka.

“Biadab lo, Bin!” teriak Elang. Cowok itu lantas memukul Bintang berulang-ulang. Bintang yang ternyata setengah mabuk itu nggak bisa membalas Elang.

“Udah, Lang! Elo bisa membunuh dia!” kata Vera sambil berusaha menghentikan Elang.

Elang nggak lagi memukuli Bintang.

“Jangan berani-berani mendekati Vera lagi atau elo bakal berhadapan ama gue!” kata Elang sebelum kemudian mengajak Vera meninggalkan rumah itu.

Vera nggak bicara apa-apa saat Elang memboncengnya pulang. Kedua tangannya memeluk pinggang Elang erat.

Thanks ya, Lang. Kalo elo tadi nggak nolongin gue, gue nggak tahu .......”

“Stt,” kata Elang seraya meletakkan telunjuknya di bibir Vera. “Udah, Ver. Yang lalu biar aja berlalu. Jaga diri elo baik-baik,” kata Elang lagi sebelum kemudian meninggalkan Vera di halaman rumahnya.

Air mata Vera langsung tumpah begitu dia menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Ada sesal yang menyesaki dadanya. Gimana bisa dia melepas Septiano cuma buat seorang Bintang?

***

“Bener elo pengin balik sama Vera?” tanya Elang. Septiano mengangguk. “Setelah apa yang dia lakukan sama elo?” tanya cowok itu lagi tak percaya. Dan Septiano tetap mengangguk.

“Gue cinta mati sama dia, Lang,” kata Septiano sambil menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Elang diam menatap Septiano. Dia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran cowok itu. Begitu besarkah cintanya sama Vera sampai-sampai dia masih mau balik sama Vera setelah disakiti seperti itu?

Pintu tiba-tiba terbuka dan sebuah wajah menyembul.

“Hai cowok!” sapa Valent ramah pada Elang yang kemudian tersenyum. “Ada temen elo tuh di bawah. Cepetan turun gih!” katanya lagi setelah berpaling pada kakaknya.

“Gue tinggal dulu, ya?” kata Septiano sambil berdiri. Dia kemudian melangkah meninggalkan kamarnya.

“Hai,” sapa Amanda begitu Septiano sampai di ruang tamu.

“Manda? Tumben ke sini?” tanya Septiano. Dia lantas duduk di hadapan Amanda.

“Mmm, gue mau ngomong sama elo,” kata Amanda. “Penting!”

“Kita ke pantai aja,” kata Septiano. Dia berdiri dan mengulurkan tangannya pada Amanda. “Yuk!”

Keduanya lantas melangkah meninggalkan rumah tingkat itu. Menyeberangi jalan, menuju pantai yang malam ini sepi. Septiano lantas menjatuhkan diri di atas pasir pantai. Amanda duduk di sisinya.

“Elo mau ngomong apa?” tanya cowok itu.

“Sep, gue nggak mau bohong lagi sama elo,” kata Amanda tanpa berpaling pada cowok yang duduk di sisinya itu. Kedua matanya menatap lurus ke arah laut. “Gue sayang sama elo,” lanjutnya.

Tidak ada kata yang keluar dari mulut Septiano. Amanda menoleh dan menemukan cowok itu tersenyum.

“Gue tahu, gue emang nggak pantes buat elo. Gue .....”

“Stttt,” kata Septiano sambil meletakkan telunjuknya di ujung bibir Amanda. “Justru gue yang nggak pantes buat elo, Man. Elo tuh cantik, pinter, baek. Gue bener-bener nggak pantes buat elo,” katanya kemudian.

“Jadi, hati elo masih milik Vera,” kata Amanda pelan.

Lagi, Septiano tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.

***

Setengah berlari Septiano melewati koridor-koridor sekolah menuju kelasnya. Dia sudah terlambat lima menit. Kalo lagi untung, dia mungkin masih bisa mengikuti pelajaran jam pertama.

Pintu kelas tertutup waktu Septiano sampai di depan kelas. Cowok itu berhenti sebentar, mengatur napas lantas perlahan membuka pintu.

SURPRISE!!!!” teriak seluruh anggota kelas bersamaan begitu pintu terbuka.

Septiano terpaku di depan pintu. kedua matanya tak berkedip menatap kue ulang tahun yang berhiaskan lilin angka tujuh belas di atasnya yang ada di atas meja guru.

Happy birthday to you ... happy birrthday to you ... happy birthday Septiano ..... happy birthday to you .......”

Septiano melangkahkan kakinya memasuki kelas dengan perlahan. Kelas itu dipenuhi hiasan, persis seperti pesta ulang tahun anak kecil; kertas kreps dan balon.

“Tiup lilinnya .... tiup lilinnya ..... tiup lilinnya sekarang juga .....”

Semua anggota kelas bernyanyi sambil bertepuk tangan. Ada senyum di setiap wajah-wajah itu.

“Tiup lilinnya,” bisik Amanda yang berdiri di dekat kue ulang tahun begitu Septiano sampai di hadapannya.

Api yang menari-nari di atas lilin-lilin itu langsung mati begitu Septiano meniupnya.

“Potongan pertama,” kata Kurniawan, teman sekelas Septiano. “It goes to ...........”

Septiano tersenyum sesaat lantas berpaling pada Amanda dan memberikan potongan kue itu padanya.

“Amanda!!!” lanjut Kurniawan.

Seluruh kelas langsung bertepuk tangan dan bersiul-siul.

“Cium ..... cium ..... cium .....,” kata mereka kemudian.

Septiano dan Amanda saling menatap, saling tersenyum. Amanda tertunduk malu saat Septiano mendekatkan wajah lantas mengecup dahinya. Yah, walaupun dia tahu, dia tidak akan pernah memiliki hati Septiano, dia cukup bahagia bisa membuat cowok itu tersenyum.

***

Siangnya di dekat perpustakaan.

Vera mengejar langkah Amanda saat dia akhirnya menemukan cewek itu.

“Manda, tunggu!” katanya.

Amanda menghentikan langkah. Dia berbalik dan menemukan Vera berlari mendekatinya.

“Ada apa?” tanya Amanda begitu Vera sampai di hadapannya.

“Gue mau ngomong sama elo,” kata Vera.

“Ngomong aja. Ada apa?”

“Mmmmm.” Vera diam sesaat. Dia tidak tahu bagaimana mengatakannya.

“Ini tentang Septiano?” tebak Amanda. Vera mengangguk. “Gue nggak pacaran sama Septiano,” lanjutnya.

“Tapi mereka bilang ......”

“Itu semua nggak bener. Gue nggak pernah pacaran sama dia. Gue nggak pernah bisa memiliki hatinya.”

Amanda lantas melangkah meninggalkan Vera yang masih berdiri mematung, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.

***

Septiano duduk di jendela kamarnya. Kedua matanya menatap lurus ke arah pantai, dimana kemarin malam Amanda mengatakan perasaannya. Dia menyukai cewek itu dan waktu yang pernah dia habiskan dengannya, tapi hatinya sudah terlanjur dia berikan pada Vera. Hanya pada Vera. Dia tidak mungkin melepaskan cewek itu begitu saja.

Dengan cepat Septiano meraih menyambar jaket yang dia gantungkan di belakang pintu.

“Mau kemana?” tanya Valent ketika kaki Septiano menginjak anak tangga terakhir.

“Gue pergi sebentar,” jawabnya sembari melangkah melewati adik semata wayangnya itu.

Suara motor Septiano terdengar jelas sebelum kemudian meninggalkan rumah itu. Tak lama, sebuah motor lain berhenti di depan rumah tepi pantai itu. Valent dengan malas membukakan pintu untuk tamunya.

“Elang?” kata Valent begitu membuka pintu.

“Tian ada?” tanya Elang, masih berdiri di pintu.

“Wah, Tian baru keluar, tuh! Lagian ngapain sih setiap kemari pasti nyariin Tian. Kenapa sih elo nggak pernah nyariin gue?” tanya cewek itu sambil cemberut. Elang tertawa.

“Ngapain juga gue nyariin elo. Orang elo aja selalu ada di rumah. Apa coba gunanya gue nyariin elo?”

Valent tersenyum. Dia kemudian menyuruh Elang masuk dan duduk di ruang tamu.

“Kira-kira kakak elo perginya masih lama nggak?” tanya Elang begitu duduk.

“Mungkin,” jawab Valent dari ruang makan. Elang ber-o pendek sambil manggut-manggut.

Tak lama Valent muncul dengan segelas es sirup.

“Diminum,” katanya.

Tanpa banyak bicara, Elang meneguk isi gelas sampai habis. Dia lantas beringsut ke sisi Valent.

Tidak ada yang bicara buat beberapa saat. Valent entah kenapa tiba-tiba saja jantungnya berdebar keras. Dia memang menyukai Elang sejak dulu. Tapi biasanya jantungnya tidak pernah berdebar sekeras ini jika dia ada di dekat Elang.

“Mmm, Lent,” panggil Elang.

Valent menoleh dan tiba-tiba Elang sudah mengecup bibirnya. Cewek itu kontan kaget. Dia menjauhkan wajahnya dari wajah Elang. Dia melihat cowok itu tersenyum.

“Gue sayang elo, Lent,” bisik Elang kemudian.

***

Senyum manis Vera menyambut Septiano ketika cowok itu tiba di depan rumahnya. Vera nampak sangat senang menemukan Septiano berdiri di depan pintu rumahnya, lagi.

“Hai,” sapa Septiano.

“Hai,” balas Vera.

“Gue pengin ngomong sesuatu. Bisa keluar bentar?” tanya Septiano. Vera dengan cepat menganggukkan kepalanya.

Tak lama, Vera sudah memeluk pinggang Septiano erat di atas motor yang melaju pelan, membelah jalan.

Septiano menghentikan motornya di sebuah restoran. Dia lantas mengajak Vera masuk dan memesan makanan.

Hampir satu jam berlalu waktu Septiano nggak lagi konsen mendengarkan kata-kata yang keluar dari mulut Vera. Dia memang ada di situ, di tempat itu. Tapi pikirannya tidak.

“Elo dengerin gue nggak, sih?” tanya Vera.

“Iya. Gue dengerin elo,” jawab Septiano. “Eh, kita pulang, yuk!” ajak Septiano begitu Vera menghabiskan makanannya.

“Buru-buru amat?” tanya Vera.

“Gue ..... gue ada urusan,” jawab Septiano.

Dan nggak lama, Septiano sudah sampai di rumah setelah mengantar Vera ke rumahnya.

“Kenapa elo senyum-senyum?” tanya Septiano yang urung menaiki tangga waktu liat Valent nonton TV sambil senyum-senyum. Padahal dia lagi nonton perkiraan cuaca. Kan aneh!

Guess what?!” kata Valent tanpa berdiri dari tempatnya duduk.

“Apaan?” tanya Septiano penasaran.

“Gue baru aja jadian,” jawab Valent cepat.

“Jadian? Sama siapa?” tanya Septiano. Valent nggak menjawab. Cewek itu hanya menatap ‘tau sama tau’ ke arah abangnya. “Apa? Yang bener lo?” tanya Septiano nggak percaya. Dan dengan cepat Valent mengangguk. “Dukun elo manjur juga, ya?” kata Septiano yang sesaat kemudian menjadi sasaran bantal kursi yang sedari tadi dipeluk Valent. “Iya deh sori. Selamat ya, Sis!” kata Septiano lagi sambil melempar balik bantal kursi ke arah Valent lantas dengan cepat menaiki tangga menuju kamarnya.

Jendela di kamar Septiano dibuka lebar-lebar. Angin lantas menyapa kamar itu. Septiano menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Dia tak mengerti dengan dirinya. Dia yakin dia sangat mencintai Vera. Dia bahkan tidak peduli dengan omongan orang tentang Vera. Dia nggak peduli dengan apa yang sudah dilakukan Vera padanya. Karena dia sangat mencintai cewek itu.

Tapi apa yang dialaminya barusan bersama Vera benar-benar di luar dugaannya. Hati dan pikirannya tidak ada di sana bersama Vera tadi.

***

Malam Minggu berikutnya.

Septiano sudah siap dengan rencana menghabiskan malam dengan Vera. Cowok itu baru saja akan keluar kamar ketika tiba-tiba entah bagaimana, tas sekolahnya jatuh dari atas meja belajar.

“Sial,” umpat Septiano pelan. Tak urung, didatanginya tas yang isinya berceceran di lantai itu. Lalu dengan malas dia memberesi isi tasnya.

Tangan Septiano langsung berhenti bekerja saat dia menemukan sebuah kertas yang digulung dan dihiasi pita emas. Dia ingat kemarin Amanda yang memberikan benda itu padanya. Dibukanya kertas itu kemudian.

Undangan ulang tahun Amanda, malam ini. Bagaimana dia bisa lupa? Bagaimana dia bisa tidak ingat dengan hari ulang tahun Amanda?

Bayangan-bayangan Amanda seketika memenuhi kepala Septiano. Tiba-tiba saja dia ingat setiap saat yang dia habiskan bersama Amanda. Semua canda tawa, rahasia, pesta ulang tahun kejutan yang Amanda bikin buat dirinya, ketidakpedulian Amanda tentang penyakitnya dan tamparan serta kata-kata yang diucapkan Amanda setelah dia mencium cewek itu di kantin. Dan dia merindukan semua itu.

Dengan cepat Septiano lantas menyambar gagang telpon yang ada di atas meja belajarnya.

“Halo, Vera? ... ”

***

Rumah besar itu sudah ramai oleh tamu undangan. Lampu-lampu dan balon-balon menghiasi kebun di sekitar kolam renang. Sebuah panggung kecil yang lengkap dengan band bahkan sudah siap.

Happy birtthday, yah?” ucap hampir semua tamu pada Amanda.

Acara akhirnya dimulai walaupun orang yang ditunggu oleh Amanda tidak juga datang. Amanda sudah menduga kalo dia nggak bakal datang. Malam minggu ini pastinya Septiano lebih memilih menghabiskan waktu bersama Vera daripada mendatangi pesta ulang tahunnya.

Api di atas lilin-lilin itu padam. Potongan pertama diberikan kepada orang tuanya.

Pesta pun dimulai. Semua nampak senang, kecuali Amanda. Dia tahu kalo Septiano udah balik sama Vera. Dia tahu kalo dia nggak mungkin bisa mendapatkan hati cowok itu dan dia harus melupakannya. Tapi nggak tahu kenapa, dia nggak bisa melupakan Septiano.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan pesta sudah usai. Sudah banyak tamu yang pulang. Tapi yang ditunggu Amanda tetap saja nggak datang.

“Ah, ya sudah!” kata Amanda pelan seraya melangkah menuju rumahnya.

Lampu yang terang benderang tiba-tiba padam. Amanda lumayan takut juga. Soalnya hanya tinggal dia yang ada di dekat kolam renang.

Tiba-tiba seseorang menarik sebelah tangan Amanda, membuatnya berbalik.

Happy birthday to you ...”

Suara itu terdengar bersamaan dengan sebuah lilin kecil menyala di depan wajah Amanda.

Happy birthday to you ...”

Dari remang cahaya lilin, Amanda bisa melihat senyuman yang tersungging di wajah Septiano yang sekarang berdiri di hadapannya.

Happy birthday dear Manda ... happy birthday to you ...” Septiano menyudahi lagunya. “Tiup lilinnya, Man,” bisiknya lagi.

Dan lagi, Manda menurut. Ditiupnya lilin itu. Lampu kembali menyala. Dan suara tepuk tangan langsung terdengar. Papa dan mama Amanda ternyata masih ada di situ. Tapi mereka lantas meninggalkan Amanda dan Septiano berdua.

Sorry for being late,” bisik Septiano.

I thought you wouldn’t come,” kata Amanda tanpa berhenti manatap wajah Septiano.

Well, I’m here now.” Septiano membelai rambut Amanda lembut. “I can’t stop thinking of you,” bisik Septiano kemudian.

Liar,” cemooh Manda. “Terus Vera elo kemanain?”

“Udah, deh! Nggak usah ngomongin Vera ‘coz gue cinta elo, Man. Bukan Vera,” kata Septiano.

Liar,” kata Amanda lagi.

Septiano tiba-tiba menarik Amanda lantas mencium bibirnya. Amanda mati kata. Tak lama, Septiano melepas ciumannya.

Amanda menatap ke arah Septiano dan entah kenapa, ada air mata yang meleleh dari kedua mata indahnya. Septiano menarik Amanda ke dalam pelukannya kemudian.

“Udah, Man. Jangan nangis,” bisiknya lembut.

Tamat (25 Oktober 2001)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan