Sore di Dekat Danau
“Kita pernah ketemu, kan?”
Aku
mendongakkan kepala, meninggalkan buku yang sedang aku baca buat sesaat.
Seorang cewek dengan rambut lurus sepinggang berdiri di hadapanku sambil
tersenyum. Sebelah tangannya menggenggam gelas plastik berisi jus jeruk.
”Iya.
Kita pernah ketemu. Kita pernah kenal. Aku yakin.” Cewek berambut sepinggang
itu menatapku. Dia lantas ikut duduk di sisiku, di bawah pohon.
Nggak
ada kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya diam, menatap cewek yang baru saja
duduk di sisiku itu. Sejenak, aku meneguk es teh yang tadi sempat aku beli
sebelum masuk ke taman ini.
”Kamu
banyak berubah, ya?” kata cewek itu lagi. ”Dulu, kamu tuh selalu ceria, selalu
bersemangat. Kamu tau nggak? Semangat kamu dulu itu udah bikin banyak orang
tetep berusaha buat mencapai mimpi mereka.”
Aku
kembali menundukkan kepala, menekuni rangkaian kata-kata yang ada di bukuku.
”Kamu
masih inget sama mimpi kamu, bikin orang lain bahagia? Kamu masih inget? Terus,
kamu juga pengen nulis buku, kan? Kamu pengen berbagi kebahagiaan dengan orang
lain.”
”Sori
aku nggak inget,” jawabku tanpa menatapnya.
“Kamu
bener-bener nggak inget atau kamu nggak mau inget?”
Buku
yang ada di hadapanku itu akhirnya aku tutup. Aku menatapnya, menunggu cewek
itu mengatakan hal-hal lain yang dia tahu tentang aku.
”Aku
mau liat senyuman kamu.”
Rangkaian
kata-kata itu, bukan kalimat itu yang aku harapkan keluar dari mulutnya. Aku
menghela napas. Buku yang tadi sempat aku tutup, aku buka lagi.
”Dani
masih nungguin buku kamu, loh!” Cewek itu menyedot separuh isi gelasnya.
”Terus, dia bilang kalo kamu udah ngecewain dia dengan melakukan semua ini,”
lanjutnya sambil menarik sebelah tanganku. Bekas luka sayatan langsung nampak.
Dengan
kasar aku menarik tanganku lalu menutup buku yang tadinya aku baca.
”Mau
kamu apa, sih?” bentakku.
”Aku
kan sudah bilang, aku mau liat senyuman kamu,” jawab cewek itu sambil memainkan
sedotan yang ada di gelasnya. ”Aku pengen liat kamu yang dulu lagi.”
Dengan
terpaksa, aku tersenyum padanya.
”PUAS??”
tanyaku kemudian. ”Sekarang kamu silakan pergi!”
”Kalo
aku nggak mau pergi gimana?” tanyanya. ”Ini kan tempat umum. Siapa aja boleh
duduk di sini. Lagian. Di sini kan enak; teduh, anginnya sepoi-sepoi, bisa liat
danau lagi. Eh, dulu Dani juga suka duduk di sini, yah?”
Sebenernya,
cewek ini siapa, sih? Kenapa dia tahu soal aku? Kenapa dia kenal sama Dani?
Kenapa aku sama sekali nggak inget pernah ketemu sama cewek ini?
Cewek
itu mencari sesuatu dari dalam tasnya. Tangannya keluar dari dalam tas bersama
tempat makanan anak TK berwarna kuning dengan tutup bergambar dua ekor kelinci
putih. Persis banget sama tempat makananku di TK dulu.
”Ini,
aku tadi pagi bikin ini khusus buat kamu.” Cewek itu membuka tempat makanan
itu. Aroma roti coklat langsung menyapa hidungku, seolah roti itu baru keluar
dari oven. ”Cobain, deh!” katanya sambil menyodorkan makanan itu padaku.
Dadaku
tiba-tiba sesak dan kedua mataku tiba-tiba panas, air mataku siap tumpah
sewaktu melihat roti coklat yang disodorkan kepadaku. Tapi, aku buru-buru
mengambil napas dalam, berusaha mencegah tangisku pecah. Cowok nggak boleh
nangis!
Kepalaku
langsung dipenuhi bayangan Dani, Dania Eka Putri, dan semua hal yang sudah aku
lewati sama cewek itu. Semuanya, seperti film yang diputar di dalam kepalaku.
”Hei,
kamu melamun tentang apa?”
Sosok
Dani langsung menghilang sewaktu aku merasakan seseorang menggoyang bahuku. Aku
menoleh dan menemukan diriku masih duduk di bawah pohon tepi danau bersama
cewek menyebalkan yang sekarang sedang mengunyah roti coklat.
”Kamu
banyak berubah, ya?” kata cewek itu sambil terus mengunyah roti coklat. ”Kamu
jadi pendiam, nggak pernah tersenyum, yah, biarpun kamu masih tetep nggak
pernah nangis. Tapi, secara keseluruhan kamu berubah. Semangat sama keceriaan
kamu kemana? Kamu simpan dimana? Atau, jangan-jangan mereka kalah sama amarah
kamu buat dunia?”
Buat
sesaat, aku nggak berkomentar apa-apa. Tapi, nggak tau kenapa, tiba-tiba saja
luapan emosi yang tadi bisa aku tahan, berubah menjadi luar biasa besar. Aku
nggak bisa lagi menahannya.
”Kamu
ini siapa, sih? Aku nggak merasa kenal sama kamu. Tapi, kamu tiba-tiba aja
dateng, sok akrab, sok kenal, sok tau, sok ngatur, dan kamu tuh udah ngebuka
file-file di dalam otak aku yang nggak pernah pengen aku buka lagi!”
Cewek
itu nggak langsung menjawab pertanyaanku. Dia meraih telunjuk yang aku arahkan
ke mukanya, menggenggam telunjukku dan lagi-lagi tersenyum.
”Aku
nggak sok kenal. Aku emang kenal kok sama kamu. Aku pernah deket banget sama
kamu, pernah akrab sama kamu. Kamunya aja yang nggak mau kenal sama aku lagi.
Kamunya aja yang ngawur, nggak jelas marah ke siapa tapi semuanya dimarahi,
dijauhi. Padahal aku nggak merasa punya salah ke kamu,” kata cewek itu. Dia
masih menggenggam telunjukku.
”Mungkin
karena hal itu aku marah sama kamu. Kamu tuh sombong! Cuma orang sombong yang
merasa nggak punya salah!” kataku, masih dengan nada bentakan.
”O
ya?” tanya cewek itu. ”Lantas apa nama yang tepat buat orang yang menyalahkan
orang-orang yang nggak bersalah? Apa nama yang tepat buat orang-orang yang rela
mengorbankan orang lain buat pelampiasan amarahnya sendiri?”
Aku
menatapnya bingung.
”Aku
cuma pengen liat kamu yang dulu lagi. Boleh?” tanyanya.
”Semuanya
bisa berubah. Aku juga.” Aku menarik telunjukku dari dalam genggamannya. ”Aku
sudah bukan aku yang dulu lagi. Jadi jangan harap aku bersikap seperti aku yang
dulu!”
”Kenapa
nggak? Kamu yang dulu lebih baik kok dari kamu yang sekarang, yang kerjaannya
cuma lari dari masalah sama nyalahin orang lain.” Cewek itu menatapku. ”Aku tau
kamu sedih gara-gara papa sama mama kamu hilang waktu pesawat yang mereka
tumpangi jatuh ke laut. Aku tau kamu juga nyesel karena Dani, sodara kembar
kamu, meninggal di tangan seniornya di kampus. Aku tahu kamu kecewa karena
dunia nggak peduli sama semua itu. Aku juga tau kalo kamu kehilangan mereka dan
berharap mati bersama mereka. Iya, kan?”
Aku
diam, menatap cewek itu.
”Tuhan
sayang sama kamu, sama kita semua.”
”Kalo
Tuhan emang sayang sama aku, sama papa, mama, Dani, kenapa Tuhan misahin kami?
Kenapa papa, mama, Dani, harus pergi dengan cara seperti itu? Mereka orang
baik. Harusnya Tuhan mengambil mereka dengan cara yang lebih baik.”
Cewek
itu tersenyum. Dia mengalihkan pandangannya ke arah danau yang warna airnya
mulai berubah jadi oranye karena pantulan sinar matahari sore.
”Kalian
sudah bertemu, pasti berpisah.” Cewek itu mengambil napas panjang. ”Tuhan
sedang butuh banyak malaikat buat menemani-Nya. Kamu bilang mereka orang baik,
kan? Makanya itu, Tuhan ngambil mereka.”
”Oh,
jadi aku kurang baik buat Tuhan.”
Cewek
itu tersenyum lagi.
”Tuhan
punya rencana lain buat kamu. Tuhan masih pengen kamu di sini. Tuhan mau kamu
masih di dunia buat membagi semangat sama keceriaan kamu, buat membagi cerita
kepada dunia tentang kebaikan orang tua kamu sama Dani. Tuhan pengen kamu
mewujudkan keinginan mereka yang belum tercapai. Kalo Tuhan memanggil kamu
juga, siapa yang bakal melakukan semua itu?”
Buat
sesaat, aku diam.
”Kalo
emang Tuhan sayang sama aku. Harusnya Dia tahu kalo aku nggak pengen berpisah
sama mereka. Harusnya Dia nggak misahin kami.” Aku mulai mencari-cari kesalahan
Tuhan.
”Kalo
Tuhan ngabulin semua keinginan kamu, kamu bakalan jadi manja. Kamu nggak
bakalan mau berusaha melakukan apa-apa. Iya, kan? Memanjakan itu bukan suatu
bentuk kasih sayang.” Cewek itu menoleh ke arahku lantas tersenyum.
Sekarang
di dalam kepalaku ada perang. Semua kata cewek itu bisa jadi benar. Tapi, kalo
emang Tuhan beneran sayang sama aku, kenapa Dia buat aku sedih? Kenapa?
”Aku
pengen liat kamu yang dulu lagi,” kata cewek itu lagi.
Aku
menghela napas, memasukkan buku ke dalam tas, lalu berdiri. ”Terserah!” kataku
ketus. Aku bersiap meninggalkannya.
Cewek
itu meraih tanganku. ”Aku sekarat. Kalo kamu kayak gini terus, aku bisa mati.”
Cewek itu menatap lurus ke kedua mataku. ”Tolong,” katanya kemudian.
Sekarang
aku baru sadar kalo wajah ceria cewek itu begitu pucat.
”Apa
hubungannya sama kamu? Ini hidupku!”
”Please.
Dunia ini butuh orang kayak kamu. Kamu harus kembali. Jadilah orang yang ceria
dan bersemangat. Semangat kamu itu bisa menginspirasi orang lain. Kalo nggak,
dunia ini bakalan hancur. Bakalan banyak orang yang putus asa. Please. Tolong
aku.”
”Kenapa
harus? Emangnya kamu siapanya aku?” tanyaku ketus. Aku mengibaskan tangan,
berusaha melepaskan genggaman cewek itu.
”Harapan,”
kata cewek itu. Dia lantas menghilang.
Aku
terbangun. Ah, mimpi yang aneh! Aku menguap, meluruskan badan. Matahari sore
membuat danau di hadapanku berwarna oranye. Aku menoleh dan menemukan kotak
makanan berwarna kuning dengan tutup bergambar dua ekor kelinci putih. Mirip
banget sama kotak makananku waktu TK dulu, mirip banget sama yang ada di
mimpiku tadi.
Ragu-ragu
aku membuka tutup kotak makanan itu. Aroma roti coklat langsung menyapaku. Aku
meraih satu roti coklat dan menggigitnya. Semua perasaan langsung campur aduk
jadi satu waktu roti itu lumat di dalam mulutku. Ini roti buatan mama, aku
yakin. Dulu aku dan Dani suka sekali makan roti ini. Suka sekali.
Aku
tersenyum, sesuatu yang sudah lama sekali nggak aku lakukan.
Baiklah.
Kalo memang ini yang Tuhan mau dariku, aku akan melakukannya. Orang lain nggak
harus melalui jalan yang aku lalui. Aku akan membangun jalan baru yang penuh
senyuman, tawa, dan kebahagiaan.
***
Launching
buku pertamaku baru saja selesai. Aku melangkah cepat meninggalkan kafe tempat
aku mempresentasikan bukuku; Chocolate Cake.
”Kita
pernah ketemu, kan?”
Kalimat
itu cukup untuk membuat langkahku terhenti. Aku menoleh. Seorang cewek dengan
segelas jus jeruk di sebelah tangannya, menanyakan pertanyaan itu kepada seorang
cowok yang tengah duduk sendirian di kursi dekat pintu. Cowok yang buru-buru
menarik lengan kaosnya, menutupi bekas luka sayatan di tangannya.
”Iya.
Aku yakin banget kita pernah ketemu.”
Aku
tersenyum lalu melanjutkan langkahku meninggal-kan kafe. Aku akan membuat dunia
bahagia.
Sore di Dekat Danau - Tamat,
24 April 2007
Komentar