Suara-Suara dan Sirkus



www.pinterest.com





Aku cuma bisa tersenyum pahit mendengar suara-suara itu. Ya, suara-suara. Suara-suara yang sebenarnya tidak keras, hanya lirih, tapi entah bagaimana justru begitu memekakkan telinga, menusuk sakit kedua telingaku dan bahkan sampai ke dalam hati. Aneh memang. Tapi begitulah adanya.

Wanita yang duduk berseberangan meja denganku masih sibuk mempresentasikan proposal yang disusunnya. Bagiku, apa yang disampaikan wanita itu,baik secara isi maupun penampilan, sudah cukup bagus mengingat betapa terbatasnya waktu yang diberikan oleh atasan untuk menyusun proposal itu. Tapi, karena tujuan hari ini adalah untuk menerima masukan dari narasumber yang sengaja diundang oleh perusahaan, maka ada lumayan banyak masukan yang diterima wanita itu. Oke, sampai di sini memang tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah suara-suara yang ada di kanan kiriku.

“Iya, itu kan salah. Masak bikinnya kayak gitu?” bisik seorang wanita yang duduk di sisiku dengan nada mencaci sewaktu dia mendengar masukan yang diberikan oleh narasumber. “Kata narasumbernya tuh yang betul, bukan kayak dia buat,” lanjutnya sambil menunjuk wanita yang duduk di hadapanku dengan janggutnya.

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum pahit. Ini bukanlah komentar pertama yang dilontarkan dengan volume rendah oleh wanita yang duduk di sisiku. Ini juga bukan satu-satunya komentar (yang buatku) menyakitkan, yang terdengar di ruangan rapat itu. Walaupun tidak semua orang, tetapi sepertinya hampir semua orang melakukan hal yang sama, mengeluarkan suara-suara itu.

Aku menutup mulutku dengan sebelah telapak tangan, berusaha keras menyembunyikan suara kikikku.

Tiba-tiba wajah orang-orang yang mengeluarkan suara-suara menyakitkan itu berubah menjadi wajah ikan. Kepala bulat mereka berubah menjadi pipih. Hidung mereka menghilang lalu kedua mata mereka yang tadinya di depan, tiba-tiba menyamping, ada di kanan-kiri wajah mereka. Rambut mereka menghilang, berganti sisik berwarna perak. Kulit cokelat mereka menjadi mengkilap. Tapi satu hal yang nampak tidak berubah; mulut mereka terus-menerus membuka-menutup, mengeluarkan gelembung-gelembung udara. Ya, kata-kata yang mereka keluarkan dari mulut, tidak berbeda dari gelembung udara, tidak ada apa-apanya, terlalu ringan, tidak berbobot, dan begitu cepat menguap.

Hahaha.. Buatku, lucu sekali melihat mereka seperti itu. Sama-sama tak paham, tapi selalu sok paling paham. Lucu sekali

Sebuah helaan napas akhirnya menggantikan tawa geliku. Tawaku kemudian berubah senyuman pahit. Semuanya sama, berlagak tahu ketika sebenarnya tak tahu, lalu ikut menyalahkan tapi tak pernah bisa memberikan solusi.

***

Aku menyandarkan punggungku, menegakkan tubuhku, dan menutup mulutku dengan sebelah tangan, berusaha agar tawa kecilku tak terdengar. Ini terjadi lagi. Bedanya, aku tak lagi melihat mereka berubah menjadi ikan. Aku melihat mereka mulai berubah menjadi sirkus.

Lelaki yang duduk di hadapanku itu mendadak tubuhnya berubah pendek, berperut tambun. Lalu di wajahnya mendadak tumbuh kumis lebat yang ujungnya melengkung ke atas. Sebuah topi tinggi muncul di atas kepalanya dengan warna senada dengan pakaiannya. Lalu sebuah cambuk muncul di tangan kanannya.

“Saya tahu mereka salah. Saya tahu mereka sudah melanggar peraturan. Makanya saya datang ke sini untuk memohon agar mereka dicarikan jalan keluar agar bisa lulus, agar masalah ini selesai,” katanya, memohonkan ampun bagi anak-anaknya yang sudah jelas melanggar peraturan. Laki-laki dengan cambuk di tangan itu memohon. Lucunya, tampangnya justru berubah garang, tangannya siap mengayunkan cambuknya.

“Saya minta maaf. Peraturan yang dilanggar sudah jelas. Buktinya pun jelas.” Perempuan itu menatap tanpa rasa takut. Kedua matanya menunjukkan ketegasan, kekuatan, keberanian. Serupa singa.

“Iya. Tapi kita ini kan guru. Guru itu harus punya hati.” Lelaki itu mencoba menyerang.

Dia mulai mengayunkan cambuknya. Singa itu tak bergeming. Dia justru tersenyum.

“Saya sepakat dengan Anda. Kita ini guru. Kita harus punya hati. Lalu, di mana hati kita ketika melihat anak-anak kita melanggar peraturan dan kita meloloskannya tanpa ada sanksi? Di mana hati kita terhadap anak-anak kita yang sudah berusaha keras untuk dapat memperoleh ilmu? Yang setiap hari berusaha datang sekolah tepat waktu? Yang menaati peraturan?” Perempuan itu bertahan dengan wajah dihiasi senyuman. “Pak, semua prosedur sudah saya jalankan. Semua usaha sudah saya laksanakan sesuai peraturan. Lantas saya harus bagaimana lagi?”

“Bukan begitu.” Kedua kata itu berubah suara di telingaku. Tak lagi sesimpel itu.

“Kau ini melawan sekali!”

Ya. Berubah menjadi itu.

“Lantas bagaimana?”

“Anak-anak ini hanya tidak lulus di satu mata pelajaran saja. Masak iya kita tega? Kita ini pendidik. Tugas kita mendidik hingga tuntas.”

Cambukan dilakukan lagi sambil dia berteriak lantang, “Sudahlah! Ikut saja apa kataku!”

Singa itu masih menatap pencambuknya dengan penuh keberanian. Lalu orang-orang di kanan kiriku mulai berkomentar, mengeluarkan suara-suara tak jelas. Lalu mereka perlahan mulai berubah. Mulut mereka menjadi monyong dan lebar, kepala mereka mengecil, kedua tangan mereka memanjang, dan di bokong mereka muncul ekor panjang. Ya, mereka berubah menjadi monyet yang bergantungan di pintu kandang dan menyoraki singa yang terkena cambukan.

“Hei, sudah, Bu. Ikut saja,” bisik seorang laki-laki yang duduk di sisi perempuan itu.

Hei, ikut saja. Mau mencoba melawan? Mau cari mati kau?” teriak monyet itu.

Perempuan itu hanya tersenyum, tak menanggapi.

“Bapak benar. Kita ini pendidik. Ketika anak-anak ini tidak lulus karena mereka tidak mampu, karena mereka gagal dalam ujian, memang tugas kita untuk menuntaskannya, untuk membuat mereka paham, membuat mereka mengerti. Sama halnya dengan sekarang. Ketika mereka tidak lulus karena masalah etika, kedisiplinan, maka tugas kita juga untuk menuntaskannya, membuat mereka beretika, membuat mereka disiplin. Dan inilah caranya. Kita harus mendidik mereka menghargai perturan,” katanya. Perempuan itu masih saja tersenyum. Senyuman juga mampir di wajahku ketika mendengar kata-kata perempuan itu. Bagiku, dia tidak salah.

Kemudian hening.

“Bolehkah saya bertanya?” Perempuan itu memecah keheningan. “Kita ini pendidik, tugas kita mendidik. Salah satu hal yang perlu kita didikkan kepada anak-anak kita adalah keadilan. Jika saya meluluskan kedua anak yang sudah jelas terbukti dan diakui melanggar peraturan, adilkah saya terhadap teman-temannya yang lain yang telah mengikuti peraturan dan berusaha jauh lebih keras dari mereka berdua?”

“Bu, keadilan itu subyektif.” Laki-laki itu menyambar dengan cepat. Pendek. Ketus.

Sebelah tangannya mengayunkan cambuk berulang-ulang. Lelaki itu berteriak, “Diam! Kau banyak bicara! Terlalu banyak bicara! Kau pikir kau siapa berani melawanku?!”

“Baiklah. Ya sudah jika memang begitu. Saya tidak tahu lagi mau bicara apa. Jadi terserah bapak saja. Tapi sebelumnya ijinkan saya mengingatkan. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.” Perempuan itu mengutip undang-undang tentang guru dan dosen. “Berakhlak mulia. Bertanggung jawab.” Dia mengulangi dua kata itu, memberi jeda di antara keduanya, memberi ketegasan. “Dan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika.” Dia lagi-lagi tersenyum. “Tapi, yah, saya pada akhirnya hanya bisa sampai di sini. Sisanya, saya kembalikan kepada bapak.”

Singa itu berdiri lalu melangkah dengan gagah meninggalkan sirkus, tak peduli dengan tubuh penuh dengan luka cambukan. Meninggalkan monyet-monyet yang kembali ribut dan berteriak-teriak tak jelas. Meninggalkan pria bercambuk yang mulai memelintir kumisnya, menunjukkan kemenangannya.

Aku lagi-lagi hanya menghela napas lalu ikut berdiri dan meninggalkan sirkus itu. Jadi memang pilihannya hanya tinggal ini; bertahan dan mengikuti arus agar selamat tapi menjadi serupa monyet, bertahan dan melawan tapi berakhir terluka dan tertekan serupa singa, atau melangkah pergi sebelum berakhir menjadi keduanya. Dan akhirnya saya memilih ini, melangkah pergi.

www.pinterest.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan