Bayang-Bayang



michelleyeephotos.wordpress.com



Jam yang tergantung di dinding sudah menunjukkan pukul lima lebih lima belas menit. Perempuan yang meja kerjanya berada tepat di depan jam itu tergantung, sudah merasa tidak tenang. Ini sudah lima belas menit sejak jam kerja berakhir, tetapi pintu ruang kerja atasannya belum juga terbuka. Dia sudah sangat ingin pulang. Kepalanya sudah terasa berat setelah semalaman dia tidak bisa tidur membuat laporan-laporan yang secara tidak berkeperimanusiaan dibebankan kepadanya sendiri oleh kepala bagiannya.

“Rani!” teriak sebuah suara dari balik pintu yang tertutup itu. “Cepat kesini!”

Dengan cepat perempuan itu bangkit dari kursinya dan setengah berlari mendatangi ruangan yang pintunya semenjak tadi tertutup.

“Iya, Pak?” tanya perempuan itu begitu sampai di hadapan laki-laki tambun yang sedang duduk di kursi kerjanya.

“Kamu itu goblok atau apa, sih? Lihat ini!” Laki-laki itu melemparkan sebuah map ke atas meja.

Takut-takut si Perempuan membuka map berwarna kuning itu dan melihat isinya, beberapa lembar laporan yang dia buat semalam. Tapi dia merasa bingung saat kedua matanya menjelajahi setiap kata dan angka-angka yang ada di sana dan merasa tidak ada kesalahan yang diperbuatnya. Semua angka-angka laporan keuangan kantornya sudah dia buat sesuai dengan permintaan atasannya kemarin.

“Maaf, Pak. Ada yang perlu diperbaiki lagi?” tanya perempuan itu, merasa putus asa setelah tidak bisa menemukan kesalahan.

“Bego! Kamu itu salah nulis nama saya! Itu kurang huruf S satu! Gelar saya juga salah!” Atasannya nampak marah sekali. “Perbaiki dulu! Besok pagi harus sudah siap di meja saya!”

Sebelah tangan laki-laki itu menyambar tas kerja yang ada di atas mejanya. “Jangan lupa sebelum pulang, itu gelas sama piring bekas makan siang saya dicuci!” katanya.

Laki-laki itu lantas meninggalkan anak buahnya di dalam kantor, yang dengan kesal menghela napas tapi tidak berani membantah. Map yang berisi laporan dia peluk di dadanya, disangga tangan kiri, tangan kanannya mengangkat piring kotor yang ditumpuki gelas, sendok, dan garpu. Dengan sedikit sisa semangat dan tenaga, perempuan itu membawa barang-barang itu keluar dari ruangan atasannya, menurunkan map ke atas mejanya, lalu bergegas menuju dapur kantor yang sudah kosong.

“Sarjana kok mau-maunya diperlakukan kayak gitu,” komentarku. “Pak Bosnya juga keterlaluan. Cuma gara-gara kamu salah nulis nama sama gelar aja sampe kayak gitu.” Aku terus mengomel walaupun aku tahu perempuan itu tidak bisa mendengarku. “Udah tiap hari kamu disuruh ngerjain tugasnya, kalo hasil kerja kamu bagus, dia nggak pernah kasih pujian. Tapi kalo ada sedikit saja yang salah, langsung membentak-bentak, mengatai kamu dengan kata-kata kasar.” Aku bersungut-sungut. “Seandainya kamu sekali saja berani menunjukkan keberanianmu, bahwa kamu tidak dilahirkan untuk diinjak-injak, pasti atasanmu nggak bakalan tuh bersikap kayak gitu!”

Perempuan itu mengeringkan tangannya setelah selesai mencuci piring dan gelas, melangkah kembali ke meja kerjanya, membereskan barang-barangnya, lalu bergegas melangkah pulang ke kamar kosnya yang sempit. Setelah membersihkan wajah dan mandi, dia langsung mematikan lampu dan merebahkan tubuh ke atas kasur, membayar hutang hak tidur yang semalam tidak dia dapatkan secara penuh.

Tapi, seperti biasa, tidurnya malam ini tidak nyenyak. Bahkan di dalam tidurnya dia menangis sampai akhirnya terbangun dan langsung meraih telpon genggam yang dia letakkan di dekat bantal. Jam di ponselnya masih menunjukkan pukul satu dini hari. Napas lega langsung terdengar terhembus darinya. Sepertinya dia lega karena dia tidak bangun kesiangan dan harus menerima makian dari atasannya.

Ya ampun. Lama-lama aku tak tahan juga dengannya, dengan sikapnya. Dia ini kan manusia. Mengapa dia bertingkah seperti bayang-bayang? Aku saja yang bayang-bayang, yang harus menuruti dan mengikuti apapun yang dia lakukan, bahkan gerakan sekecil apa pun yang dia lakukan, yang harus rela dipanjangkan dan dipendekkan oleh cahaya, selalu punya keinginan untuk keluar dari kekangan, mengapa dia tidak? Mengapa dia menurut-menurut saja? Mengapa dia menyia-nyiakan semua hak yang Tuhan sudah berikan padanya?

 “Kamu itu manusia kok sama manusia lain takut, sih? Takut itu sama Tuhan!” bentakku dengan jengkel.

Perempuan itu melompat dari kasurnya dan mendatangi saklar lampu, menghidupkan lampu kamarnya.

“Siapa yang tadi berbicara? Keluar!” katanya.

Aku tahu nada suaranya sengaja dia tinggikan untuk menutupi rasa takutnya. Aku tahu karena sebenarnya dia tampak kaget sekali, sama denganku. Aku juga lumayan kaget sewaktu tahu bahwa ternyata dia bisa mendengar suaraku.

“Kamu bisa mendengarku?” tanyaku. Ada perasaan lega yang bercampur dengan rasa kaget yang aku rasakan barusan. Aku lega, ternyata aku bisa berkomunikasi dengannya.

Cepat keluar! Aku bisa mendengar suaramu tadi! Jadi mengapa sekarang kau diam? Cepat keluar atau aku laporkan polisi!” Perempuan tampak mulai memasuki fase takut. Ada rasa takut di kedua matanya yang tengah menjelajahi ruangan.

“Aku yang bicara, aku di sini,” ucapku dengan bersemangat.

“Hei, kenapa sekarang diam?” tanya Perempuan. Dia masih memasang kuda-kudanya.

Aneh, sekarang dia tidak bisa mendengarku. Padahal tadi bisa.

“Mungkin aku cuma kecapean,” gumamnya kemudian. Dia mengendurkan kuda-kuda yang dia pasang lalu kembali mematikan lampu kamarnya.

“Aneh sekali,” kataku.

Tiba-tiba lampu kamar menyala lagi. “Siapa itu?” tanya perempuan itu lagi.

Ah, aku paham sekarang. Dia hanya bisa mendengarku di duniaku, di dunia bayang-bayang, ketika tak ada cahaya. Jadi aku menunggu. Aku menunggunya kembali mematikan lampu. Dan itu, tak butuh banyak waktu karena tak sampai lima menit kemudian dia mematikan lampu lagi, kembali menganggap dirinya berhalusinasi.

“Kau jangan takut. Aku bukan penjahat,” kataku begitu perempuan itu mulai tenang. “Dengarkan aku, jangan kau nyalakan lampu jika kau ingin mendengarku.”

Perempuan itu menurut, tak bergerak, menunggu.

“Bagus,” kataku. Aku bayang-bayangmu. Dan tidak, kau tidak gila.”

Masih tak ada sahutan darinya. Dia masih menunggu.

“Aku tak suka padamu,” kataku akhirnya.

“Kau tak suka padaku?” tanyanya bingung.

“Ya.”

Memangnya apa yang salah denganku? Apa salahku padamu” tanya perempuan itu. Dia masih saja bingung.

“Ya. Ada yang salah denganmu. Amat sangat salah.”

Perempuan lagi-lagi diam.

“Kamu itu manusia. Manusia itu punya hak asasi. Manusia punya kedudukan yang sama dengan manusia lainnya. Lalu mengapa kamu selalu sebegitu takutnya kepada atasanmu?”

“Aku tidak takut. Aku menghormati.” Perempuan mulai bisa mengatur napas dan debaran jantungnya, bisa mengeluarkan kata-kata dengan lebih tenang.

“Menghormati itu berbeda dengan takut, berbeda dengan menghamba, berbeda dengan menjadi budak!” Aku mulai menaikkan volume suaraku karena, ketika mendengar jawabannya tadi, tiba-tiba ada amarah yang mulai merambatiku. “Menghormati itu dilandasi dengan hati yang tulus dan tanpa beban, bukan hati yang penuh ketakutan seperti kamu. Menghormati juga bukan berarti rela dikatai goblok untuk satu kesalahan sepele yang pasti semua manusia suatu hari nanti melakukan jika tenaganya terus-menerus diperas. Menghormati juga bukan berarti diam saja saat hasil kerja kerasnya diaku hak oleh orang lain.”

Perempuan tidak berkomentar. Tapi aku tahu pasti bahwa di dalam kepalanya, kata-kata berloncatan, siap dikeluarkan disaat dia membutuhkan pertahanan diri.

“Menghormati juga tidak berarti harus memaksakan sebuah senyuman di hadapan orang yang dihormati padahal di dalam hati menangis dan menghujat di belakang orang yang dihormati.” Aku menghela napas keras-keras dengan kesal. “Apa gunanya membicarakan orang di belakang? Orang yang dibicarakan tak akan mendengar, tak akan mengubahnya, tak akan mengubah keadaan. Jika kamu memang tidak suka ya bilang saja di depannya. Jika ada masukan, ya katakan saja langsung dengan kata-kata yang tepat. Jika kamu hanya diam, menahan semuanya lalu kamu hanya mengumpat di belakang, apalagi hanya menangis, apa kamu pikir itu bisa mengubah keadaanmu?”

“Manusia itu punya etika, tidak bisa melakukan semua hal sesuai keinginannya. Ada caranya.” Kata-kata akhirnya terlempar dari mulutnya.

“Etika? Punya etika kok memperlakukan manusia lain seperti sampah? Punya etika kok tidak pernah peduli dengan keadaan manusia lainnya yang kekurangan.” cibirku.

Dia diam. Tak mengatakan apa-apa lagi. Aku pun diam, mencoba meredam amarah yang mulai menguasai.

Jika memang kamu diam saja diinjak-injak, dihina, dilecehkan, hanya menurut sewaktu disuruh-suruh, kamu tak lebih dari sebuah bayang-bayang. Buat apa kamu jadi manusia? Lebih baik aku saja yang menjadi manusia dan kamu yang menjadi bayang-bayang,” kataku kemudian.

“Maksud kamu?” Perempuan itu kembali bingung dan ketakutan. Dia pasti tahu maksud kata-kataku.

“Aku tidak rela hanya menjadi bayang-bayang yang harus rela diinjak-injak oleh manusiaku, yang harus patuh mengikuti apa pun yang  dilakukan oleh kamu, manusiaku. Aku tidak rela hanya menjadi bayang-bayang sedangkan kamu, manusiaku, yang diberi hak, diberi kebebasan, diberi kecerdasan yang melebihi makhluk hidup lain, yang diberi hak asasi, hanya diam saja ketika diinjak-injak manusia lain, hanya menurut disuruh apa pun, yang bahkan sebenarnya bukan pekerjaanmu dan bahkan bukan suatu hal yang pantas dilakukan. Aku tidak rela hanya menjadi bayang-bayang sedangkan kamu, sebagai manusia yang seharusnya cerdas, hanya diam saja ketika dibodoh-bodohkan, ketika hak kamu diambil, ketika kamu dipaksa bekerja keras yang tidak manusiawi.”

Air mata mulai turun satu-satu dari kedua mata perempuan itu.

Jika aku melawan, aku akan dipecat. Aku malu jika sampai menganggur.”

“Dasar manusia.” Aku mencibir. “Lebih baik kamu dipecat dari kantor itu. Daripada kamu di sana, menimbun dosa. Kamu sebenarnya tahu kan bahwa apa yang kamu lakukan itu adalah pelanggaran hukum? Bahwa mengubah angka-angka dalam laporan keuangan itu dosa namanya? Mana yang lebih memalukan, tidak bekerja di sana atau ditangkap polisi karena ketahuan melakukan korupsi?”

“Cukup! Kamu itu cuma bayangan! Kamu tak akan mengerti!” bentak perempuan itu sambil menutup kedua telinganya dengan kedua telapak tangannya.

“Lawan dia. Kamu harus melawan. Kamu itu manusia. Perjuangkan hakmu.

Perempuan itu buru-buru berdiri dan menyalakan lampu kamarnya, tahu bahwa cahaya akan menghilangkan suara-suaraku.

Lalu suaraku menghilang dari telinganya, tertelan cahaya, tak peduli sekeras apa pun aku berteriak padanya. Sekarang yang ada hanya tinggal aku, bayang-bayang berwarna hitam yang muncul karena cahaya lampu, bayang-bayang yang siap mengikuti gerakan sekecil apapun yang dilakukan olehnya.

“Ah, menyebalkan. Seharusnya aku yang menjadi manusia, bukan dia!” teriakku kuat-kuat.

“Jika memang tak tahan, lepaskan saja dirimu darinya.”

Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Sebuah bayang-bayang berdiri di dekat jendela yang malam ini sengaja dibuka untuk memberikan hawa. Dia, bayang-bayang seorang manusia, seorang pria. Tapi anehnya, dia bisa berada di sini tanpa manusianya. Dia bebas, tak terikat pada manusianya.

“Kau… Bagaimana….” Ah, aku bahkan tak lagi mampu menyusun kata-kata.

Dia, bayang-bayang itu, tersenyum. “Kau mau tahu caranya?”





Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan