Cuma Lima Ratus



colorlava.com



“Sudah, kasih aja. Cuma lima ratus rupiah ini!” teriak seorang laki-laki yang ada di belakang kita dengan tak sabar. Teriakannya mewakili keresahan pengantri lain yang merasa terpaksa berhenti dan kemudian mengular di belakang kita.

Tapi kamu tak bergeming, tak peduli pada teriakan dan gumaman kesal orang-orang di belakang kita. Sedangkan aku, tak ada kata yang aku ucapkan. Tak ada komentar yang aku lemparkan. Aku sudah cukup lama mengenalmu untuk tahu bahwa kamu tak akan mempedulikan mereka. Jadi apa pun yang aku katakan untuk membuatmu peduli pada teriakan orang-orang itu, tak akan ada gunanya, aku tahu.

“Bapak bayar saja. Kan cuma lima ratus rupiah. Apa sih susahnya membayar uang segitu, Pak?” Laki-laki berseragam yang meminta uang padamu itu juga terlihat mulai kesal.

“Ya kalo tidak ada karcisnya, saya tidak akan membayar.” Kamu berkeras.

“Ya kalo bapak tidak bayar, bapak tidak bisa masuk.”

“Atas dasar apa bapak melarang saya masuk. Kantor Pos itu tempat pelayanan publik, Pak. Jika memang yang bapak minta adalah uang parkir, ya saya minta karcis parkirnya. Jika tidak ada karcis parkir, tidak ada bukti pembayaran, namanya pungli, Pak.” Kamu masih saja berkeras.

“Sudahlah, yang waras ngalah aja,” teriak suara lain dari belakang kita.

“Ya sudah. Masuk aja. Pelit banget sih jadi orang.” Laki-laki berseragam itu akhirnya membiarkan kita masuk tanpa membayar.

Lalu suara-suara lain mulai terdengar dari belakang kita. Antara lega dan kesal yang masih tersisa. Apa pun kata mereka, aku tahu kau tak akan membalas kata. Aku juga. Aku tahu sudah tahu bahwa menanggapi komentar mereka itu tidak berguna.

“Kamu mau ikut masuk apa nunggu di sini?” tanyamu.

“Ikut masuk laah,” kataku sambil mengikutimu.

Kamu. Ini bukan pertama kalinya aku terjebak di antara makian orang karenamu. Kamu pasti ingat kita pernah dimaki petugas berseragam lain karena kamu menolak menyerahkan uang seribu rupiah. Hanya seribu rupiah, kata mereka. Sama juga denganku. Waktu itu, waktu kita baru saja bertemu dan aku baru saja mengenalmu, aku juga mengatakan seperti itu. Hanya seribu rupiah. Apa susahnya mengeluarkan uang sebesar itu untuk membayar mereka. Tapi kamu tak peduli apa pun kataku. Kamu berkeras menolak membayar mereka dan memilih diam ketika mereka akhirnya hanya bisa berteriak memakimu, mengeluarkan kekesalan mereka.

Lalu malam itu, makan malam pertamaku bersamamu. Kamu pasti juga ingat aku merajuk dan tak mau berbicara denganmu, lebih memilih berpura-pura tak mengenalmu. Aku bilang padamu, aku malu. Aku malu karena setelah makan, kamu mempermasalahkan uang kembalian yang tidak sesuai dengan perhitunganmu: kurang lima ratus rupiah. Malam itu, padamu, aku marah sekali. Aku merasa malu sekali. Kamu itu punya kehidupan mapan tapi hanya uang sebesar itu saja kamu urus, kamu tuntut setengah mati. Apa susahnya coba memberikan uang sebesar itu? Apa juga ruginya? Kan hanya lima ratus rupiah. Siapa tahu uang itu bisa membantu pegawai di tempat kita makan, menjadi uang tip baginya. Tapi kamu tak terbantahkan. Kamu baru pergi begitu sekeping uang itu akhirnya diserahkan kepadamu.

Tapi kemudian aku tak lagi malu, aku tak lagi merasa terganggu ketika akhirnya kita mempertengkarkan lima ratus rupiah dan aku tahu alasanmu setengah mati memperjuangkan koin itu. Bukan nilainya, katamu. Bukan nilai dari uang itu yang kamu perjuangkan. Tetapi kejujurannya. Kamu bilang, memang tidak sulit untuk mendapatkan uang sebesar itu. Masalahnya, ketika kamu merelakan uang itu diambil darimu tanpa ijin atau kamu membiarkan pungli dan membayar saja ketika diminta, artinya kamu telah membantu perbuatan dosa. Kamu hanya tidak mau terciprat dosa, tidak mau nantinya harus berurusan dengan api neraka hanya karena sekeping uang.

“Cuma lima ratus rupiah dan harus berurusan dengan neraka itu sungguh tak sepadan,” katamu. “Ketika aku relakan, uang itu memang tak akan membawa dosa pada penerimanya. Tapi masalah tidak selesai sampai di situ. Bagaimana jika dia juga melakukannya pada orang lain? Bagaimana jika orang lain itu tidak rela tapi diam saja? Bagaimana jika itu lantas menjadi kebiasaannya? Tak kasihankah kamu padanya? Tak inginkah kamu menyelamatkannya dari neraka?”

Malam itu aku terdiam, hanya bisa bungkam. Kamu benar: Cuma lima ratus rupiah dan harus berurusan dengan neraka itu sungguh tak sepadan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan