Mengapa Aku Tak Boleh Membenci?
Aku tak bisa menahannya lagi. Rasa kesal yang menumpuk sejak beberapa
hari ini dan bayangan tentang manusia-manusia menyebalkan itu akhirnya
menumpahkan tangisku.
“Lelah?” tanyanya.
Aku menghapusi air mata yang semenjak tadi terus saja menetes, lalu memaksakan
sebuah senyuman dan menggeleng. “Tidak,” kataku.
“Kamu boleh merasa lelah. Itu manusiawi. Kamu boleh mengeluh. Itu juga
manusiawi.” Dia tersenyum padaku.
“Tapi?” tanyaku, mempertanyakan nada di akhir kata-katanya tadi. Aku
tahu, dari nada yang tergantung itu, ada yang belum dia katakapan padaku.
“Tapi kamu tak boleh menyerah.”
Aku mengulum senyuman. “Ya. Aku tahu. Tenang saja. Aku tak akan
menyerah. Aku bahkan tak lelah.”
“Tapi?” Dia balik mempertanyakan nada akhir kata-kataku.
“Tapi aku hanya jengah.”
Dia tersenyum, mengangguk-anggukkan kepalanya. Aku tahu dia paham apa
yang kurasakan. Dia selalu paham. Dia maha paham.
“Ya, kamu tak boleh menyerah.” Dia mengulangi kata-katanya. “Dan kamu
tak boleh membenci,” imbuhnya.
Kali ini aku memandang tak terima ke arahnya. “Kalo untuk itu, aku tak
bisa menjanjikan.”
“Mengapa?”
“Kamu tahu mengapa.”
Lagi-lagi dia mengangguk-anggukkan kepalanya. Lagi-lagi dia paham. Dia
selalu paham. Dia maha paham.
“Cobalah dulu. Sekesal apa pun kamu pada mereka, semenyebalkan apa pun
mereka, sesakit apa pun hatimu pada mereka, cobalah untuk tak membenci. Hati
itu milikmu. Pemilik kunci pintunya ya kamu sendiri. Kamu yang tahu rumusnya.
Kamu yang tahu doanya. Yang bisa mengaturnya hanya kamu. Yang bisa meminta
untuk merasakan atau tidak merasakan itu kamu.”
Aku menghela napas. Dia benar. Tentu saja. Dia maha benar. Tapi, tetap
saja semuanya tak bisa semudah itu.
“Jika hanya aku yang tersakiti, yang dikecewakan, aku masih akan bisa
meminta padamu agar membuatku tak membenci. Masalahnya, ini tak hanya aku.
Ini juga tentang mereka, tentang orang-orang lain yang sudah berjuang
mati-matian, yang sudah bekerja keras, yang kemudian tak ada sedikit pun
dihargai. Jangankan dihargai, diberi ucapan terima kasih pun tak ada. Atau yang
lebih parah, sikap baik pada mereka pun tak ada. Mereka itu sudah lelah, sudah
rela tak mendapatkan bayaran apa-apa. Tak bisakah mereka dapat penghargaan
sedikit saja dan bukannya bentakan tak tahu sopan santun seperti itu?” Napasku
mulai memburu. “Pada manusia-manusia semacam itu, yang tak bisa menghargai
orang lain seperti itu, tak bolehkah aku membenci?” tanyaku.
Dia menggeleng. “Jangan. Rasa benci itu racun. Dia akan meracuni
hatimu, akan mematikan kemanusiaanmu,” katanya. “Ketika kamu membenci, kebaikan
sebesar apa pun tak akan bisa kamu lihat lagi. Ketika kamu membenci, hatimu
akan selalu terasa berat, akan selalu merasa tersakiti. Kamu sanggup menjalani
hidup seperti itu?”
Dia benar lagi. Tentu saja. Dia maha benar. Hanya saja ….
“Mengapa?” tanyanya. “Berat?”
“Iya,” jawabku cepat. Jujur. “Ini berat sekali. Untuk tak membenci
manusia semacam itu, yang selain tak bisa menghargai orang lain, tak tahu
berterima kasih, dan kurang ajar, juga tak pernah sesuai antara mulut,
tindakan, dan hati. Hari ini bilang apa, besok bilang apa. Di depan bilang apa,
di belakang bilang apa. Sumpah, mereka ini, bagiku, amat sangat harus dibenci.”
Lagi-lagi dia menggeleng. “Jangan,” katanya. “Ayolah. Aku tahu kamu
bisa. Kamu akan selalu bisa melakukan apa saja asal berusaha.”
“Memangnya mengapa jika aku membenci? Toh itu tak merugikanmu!”
“Kata siapa tak merugikanku?” tanyanya. “Merugikanku. Sangat. Karena
aku terlalu menyayangimu. Dan aku merasakan sakitmu. Membenci itu menyakitkan.
Lebih parahnya, membenci itu menular, mudah sekali menular. Semakin banyak yang
membenci, semakin menyakitkan.”
“Bukannya kamu tak membutuhkan kami?” tanyaku. “Kan kami yang
membutuhkanmu. Selalu.”
Dia tersenyum. “Tapi aku menyayangimu, menyayangi kalian semua.”
Kami lantas tak bergeming, saling menatap dalam hening.
“Jadi, masihkah kau akan membenci?”
Aku mengendikkan bahu. “Entahlah.”
“Jangan,” katanya lagi. “Aku tak ingin kehilanganmu.”
“Kehilanganku?” tanyaku bingung.
“Tak tahukah kamu mengapa pada akhirnya kuusir iblis dari surga?”
tanyanya. Aku terdiam. “Aku mengusirnya karena kesombongannya.” Nada suaranya
masih saja semenyejukkan tadi, seperti yang sudah-sudah. “Tahukah kamu bahwa
mereka menderita? Mereka menderita karena itu, karena mereka membenci manusia.
Mereka dibakar amarah, dibanjiri kebencian. Adakah kamu ingin berakhir seperti
mereka?”
Kali ini, dengan cepat aku menggeleng. “Tidak. Aku tidak ingin seperti
mereka.”
Lalu senyuman nampak di wajahnya. “Kamu tak akan membenci, kan? Kamu
akan berusaha, kan? Kamu akan minta padaku agar aku membuat hatimu tak lagi
membenci. Iya, kan?”
Aku ikut tersenyum, lalu mengangguk cepat. “Iya,” kataku, akhirnya,
sebelum kemudian bangkit dari sujudku, menyelesaikan rekaat terakhirku, dan
menghapus air mata yang sudah mengalir deras semenjak tadi. Aku melepaskannya,
semua kekesalan, rasa sakit, dan kebencian itu. Aku melepaskannya.
Komentar