Menikmati Aib

bella-annisa.tumblr.com





“Aku heran padamu,” kata suara dari cubicle sebelah.

“Kenapa memang?” tanyaku heran. Tak ada angin, tak ada hujan, perempuan yang biasanya tak pernah terdengar suaranya itu tiba-tiba menyeletukkan kata-kata itu padaku.

Aku berdiri, lalu melongok ke cubicle sebelah, tempat asal suara tadi.

“Kamu ini benar-benar tak punya hati.” Dia memutar layar komputernya, mengarahkannya kepadaku.

Aku melihat laman profilku di salah satu media sosial terpampang di layar komputernya. Dahiku masih saja berkerut, kedua alisku masih terkait, masih tak paham maksudnya.

“Apa yang salah dengan itu?” tanyaku akhirnya.

“Gambar-gambar itu,” katanya. “Video-video itu,” imbuhnya. Dia menunjuk ke beberapa gambar dan video yang aku bagikan di dinding profilku.

“Ada yang salah?”

Perempuan itu menghela napas. “Tak ada yang salah,” katanya. “Jika kamu tak punya hati.”

Mendadak seperti ada pisau yang dilemparkan kepadaku dan menancap tepat di ubun-ubunku. Sakit.

“Maksudmu aku tak punya hati?” tanyaku tak terima. “Aku kan hanya membagikan gambar dan video lucu itu. Apa salahnya dengan itu. Toh bukan aku saja yang membaginya!”

“Iya, memang bukan kamu saja.”

“Lantas kenapa? Takut terkena pasal penghinaan terhadap presiden gitu?” tanyaku lagi, mengingat salah satu meme yang aku bagikan di kronologiku itu adalah tentang presiden.

“Dia manusia bukan?” tanyanya.

“He?” Aku lagi-lagi tak paham.

“Dia itu, presiden atau siapa pun itu, yang gambarnya kamu jadikan bahan hina-hinaan, kamu buat memenya itu, dia manusia bukan?”

“Apa, sih?”

“Menurutmu dia punya hati tidak? Punya perasaan tidak? Menurutmu dia punya orang-orang yang mencintai dia tidak? Keluarga? Istri? Anak?”

Aku mendadak bisu.

“Sekarang seandainya itu kamu atau bapak kamu atau orang yang kamu sayangi yang dijadikan bahan meme seperti itu, dijadikan bahan hinaan, bagaimana perasaanmu?”

Aku masih membisu.

“Lalu ini, video ini. Senang sekali kamu melihat paskibra yang roknya melorot ketika bertugas. Apa bagusnya? Apa lucunya coba?”

Dan aku masih saja bisu.

“Kamu tahu tidak kalo itu aib baginya? Bagaimana rasamu jika itu kamu? Bagaimana jika di tengah acara resmi, di hadapan begitu banyak orang, rokmu melorot, lalu ada yang mengabadikannya dan menyebarluaskannya?”

Pandanganku mulai turun, tak lagi berani menatap matanya.

“Seperti ini kamu masih tak terima jika kubilang tak punya hati?” Dia bertanya lagi. “Kamu membuat orang menjadi aib. Lebih parahnya, kamu menikmati aib! Sedang Alloh yang Maha Hebat saja dengan baik hati bersedia menutupi aibmu. Lalu mengapa kamu yang tak punya apa-apa, yang bahkan tak hak untuk sombong, tega melakukan itu? Di mana hatimu?”

Aku melorot, menyembunyikan wajahku di balik pembatas cubicle. Cepat-cepat aku membuka setiap laci meja kerjaku, mencari hatiku. Mungkin dia tersembunyi di balik tumpukan berkas kerja itu, siapa tahu.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Belum Adzan

Hidup dari Jendela Bus