(Not) A Sociopath


anetteiren.com


Sosiopat. Kata itu tiba-tiba muncul  lagi di dalam otak saya ketika siang itu saya mengobrol dengan teman sekantor.

Siang itu, kebetulan sewaktu makan siang saya menemukan beberapa teman sekantor saya duduk semeja di tempat saya biasa makan. Tanpa berpikir dua kali, saya kemudian bergabung dengan mereka. Ya walaupun kami tidak bekerja di ruang kerja yang sama, paling tidak kami bekerja di kantor yang sama. Lagipula ruang kerja kami juga dekat, hanya terpisahkan oleh satu kamar mandi dan ruang rapat. Jadi kami sering bertemu. Apalagi salah satu dari mereka adalah teman kos saya.

Saya tidak tahu harus menyebut keputusan saya siang itu sebagai keputusan yang benar atau salah karena yang berikutnya terjadi adalah saya menjadi topik pembicaraan. Saya dan perilaku saya di rumah kos tempat saya tinggal. Sebenarnya dia hanya berusaha meyakinkan dan meluruskan asumsinya saja, asumsinya tentang saya yang selalu mengurung diri di dalam kamar setiap kali sampai di kos. Saya mengiyakan. Saya memang setiap kali sampai di kos, masuk ke dalam kamar, dan hanya keluar seperlunya saja. Selebihnya saya lebih memilih untuk menutup pintu dan tidak keluar-keluar lagi.

Karena percakapan itulah mengapa kata sosiopat tiba-tiba muncul di kepala saya. Saya jadi teringat dengan obrolan lain sebelumnya, dengan teman saya yang lain yang menyebut saya dengan sosiopat karena saya tidak mau bergaul dan selalu memilih untuk menyendiri di kamar atau mencari-cari alasan untuk tidak mendatangi undangan arisan atau pengajian yang diadakan oleh kantor tempat saya bekerja.

Apakah saya benar-benar seorang sosiopat? Tentu saja bukan. Saya bukan seorang sosiopat. Saya bahkan bukan seorang anti sosial. Secara definisi, sosiopat[i] adalah orang yang menampilkan perilaku antisosial yang terutama ditandai oleh kurangnya empati terhadap orang lain, digabungkan dengan tampilan perilaku moral abnormal dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma masyarakat. Beberapa karakteristik lain yang ditampilkan oleh sosiopat adalah mencuri, berbohong, kurangnya penyesalan terhadap orang lain dan terhadap makhluk hidup, perilaku tidak bertanggung jawab, perilaku impulsif, penyalahgunaan alkohol atau obat, melanggar hukum, melanggar hak orang lain, perilaku agresif, dan banyak lagi. Sosiopat sering tidak dapat mengendalikan perilaku dan ekspresi kejengkelan mereka, lekas marah dan mengancam ketika menghadapi situasi tidak menarik bagi mereka dan mereka sering cenderung untuk menggunakan ancaman, agresi, dan kekerasan verbal. Tapi, orang yang menderita sosiopat justru cenderung atraktif, menampilkan perilaku yang memanipulasi orang di sekitar mereka. Mereka memiliki keinginan untuk memegang kendali atas segala seusatu dan semua orang di sekitar mereka. Saya tidak seperti itu.

Saya bukan seorang antisosial. Saya memiliki kehidupan sosial yang cukup sehat. Saya memiliki teman yang saya rasa tidak pernah bermasalah dengan saya. Yah, saya tidak tahu juga sih seperti apa di belakang saya. Yang jelas, ketika berada di depan saya, kami bisa berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik. Bagi saya itu sudah cukup. Bagi saya, dalam sebuah hubungan itu yang akan menjadi urusan saya adalah apa yang orang lain perlihatkan dan katakan di depan saya. Segala hal yang mereka lakukan atau katakan di belakang saya, walaupun itu tentang saya, itu bukan lagi urusannya dengan saya. Hal itu sudah menjadi urusannya dengan Tuhan. Jika memang saya menghindari berkumpul dengan suatu kelompok, kemungkinan besar alasannya adalah:
1.    Kelompok tersebut berisi orang-orang yang ketika berkumpul, topik yang dibicarakan adalah orang lain. Saya tidak suka jika saya dijadikan bahan gunjingan, makanya saya tidak terlalu suka menggunjingkan orang. Apalagi orang yang tidak saya kenal dan tidak memiliki masalah dengan saya. Mau mereka dikabarkan bispak, hamil di luar nikah, gay, mencuri, selingkuh, apa pun itu, saya tidak peduli. Ya, kadang saya masih membicarakan orang lain, terlebih ketika kami memiliki konflik atau kekesalan saya padanya sudah memuncak, saya akan butuh tempat bercerita dan seringnya nama akan tersebut juga. Selain itu, saya berusaha setengah mati untuk tidak melakukannya. Yah, semoga ke depannya saya bisa mengurangi itu.
2.    Saya tidak menyukai orang-orang yang ada di kelompok itu.

Saya masih memiliki empati. Saya bisa merasakan emosi orang yang sedang di hadapan saya. Seingin apa pun saya bercerita tentang hari saya atau apa pun itu, ketika saya merasakan orang yang saya ajak bercerita sedang tidak ingin mendengarkan, atau hanya berpura-pura ingin mendengarkan, saya memilih untuk tidak bercerita. Walaupun mereka minta saya meneruskan, saya akan memilih untuk tidak meneruskan. Saya cukup bisa membaca emosi lawan bicara saya. Tapi memang saya memiliki sedikit masalah untuk menentukan sikap dan untuk tahu apa yang harus dilakukan jika dihadapkan dengan seseorang yang berkeluh kesah apalagi sampai menangis di hadapan saya. Makanya, biasanya, setiap kali ada yang datang ke saya dan berkeluh kesah, sejak awal saya sudah akan menyampaikan kepada mereka bahwa saya bukan seseorang yang akan bisa memberikan solusi bagi masalah mereka, tapi saya akan selalu berusaha menjadi pendengar yang baik.

Saya tidak memiliki masalah dalam mengekspresikan kekesalan dan kemarahan saya. Saya bukan orang yang mudah meledak. Pun ketika saya benar-benar kesal dan marah, saya justru akan memilih untuk diam daripada melepaskannya dalam bentuk ledakan amarah. Karena saya tahu bahwa ketika saya marah kemudian mengatakan apa yang saat itu ingin saya katakan, saya akan menyesali semuanya ketika amarah saya sudah mereda. Saya tahu bahwa akan ada banyak hal yang seharusnya tidak saya katakan, yang akan bisa melukai orang lain, terkatakan jika saya benar-benar melepaskannya ketika saya marah. Termasuk tindakan. Saya cukup beruntung juga karena saya dikelilingi oleh manusia-manusia luar biasa yang siap menjadi pemadam kebakaran saya setiap kali saya marah: ibuk, kakak-kakak, si Mas, dan teman-teman dekat saya. Mereka yang selalu siap menjadi pemadam kebakaran setiap kali saya mulai “panas”.

Tapi sepertinya saya agak memenuhi kriteria terakhir; atraktif. Hahaha.. Yah, paling tidak, berharap tidak ada salahnya. Walaupun sebenarnya saya juga tidak mau menjadi orang yang atraktif tapi sosiopat. Naudzubillahimindzalik.

Jadi, apakah saya seorang sosiopat? Alhamdulillah, dari hasil analisa asal-asalan di atas, bukan. Saya bukan sosiopat. Lagipula akan dibutuhkan pemeriksaan lanjut dan kejelian dari seorang ahli kesehatan jiwa untuk benar-benar bisa mendiagnosa apakah saya ini seorang sosiopat atau bukan. Dan untuk sementara ini, saya sedang tidak ingin memeriksakan diri saya ke dokter ahli jiwa. Hahaha. :D


[i] http://www.kamuskesehatan.com/arti/sosiopat

Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan