Tak Lelahkah Kau Membenci?


rebloggy.com




“Lihat! Lihat!” katamu. “Lihat pemimpin kafir itu! Lihat lagaknya! Marah-marah melulu!” Kau mulai mencibir lagi. “Memangnya dia pikir siapa dirinya? Memangnya dia pikir, dia sudah manusia paling baik sedunia? Merasa selalu paling benar?”

Aku memilih diam, tak menanggapi.

“Kau tahu? Pemimpin negeri itu hebat sekali. Dia begini, begini, dan begini. Seharusnya memang seperti itu, tak seperti pemimpin negeri ini. Kau tahu, kan? Masak dia begitu? Pemimpin macam apa itu?”

Aku masih bertahan untuk tak mengomentari kata-katamu. Aku hanya diam menatapmu, terlalu bingung denganmu, terlalu heran dengan sikapmu. Yah, aku tahu ilmu agamaku tak setinggi dirimu. Aku tahu, mungkin nanti ketika ditimbang, amalanku tak sebanyak dirimu. Dan aku mengagumimu karena itu. Karena kau selalu bisa menjawab semua pertanyaanku dengan dalil-dalil dan menunjukkan sumber yang dapat dipercaya, yang sahih, katanya.

Tapi…. Tapi kau juga begitu hebat ketika membenci. Berteriak lantang dan menunjuk dengan terang-terangan pada kejelekan orang, pada kesalahan orang lalu membandingkannya dengan orang lain yang kau anggap begitu baik, yang kau puja. Kau seolah lupa bahwa yang kau lakukan itu juga dosa. Bukankah itu gibah, namanya?

Lebih parahnya, semua kebencianmu itu tak cukup hanya kau ucapkan dalam kata. Kau menuliskannya di sana, di tempat yang orang bilang adalah social media, di mana semua temanmu bisa membaca. Lalu mereka mulai berkomentar, mengiyakan setiap kata yang kau tuliskan. Lalu kalian saling bertukar komentar, menambah daftar cercaan, menambah dosa. Padahal kau juga selalu mengeluhkan tentang betapa menderitanya dirimu, agamamu karena orang begitu mudahnya menilaimu dan agamamu sebagai teroris. Padahal dulu kau begitu keras menunjukkan bahwa kau tidak seperti itu, bahwa kau dan agamamu bukanlah teroris, bahwa kau dan agamamu adalah pembawa pesan damai. Tapi coba lihat lagi akibat dari tulisanmu. Kau membenci. Pembawa kedamaian tidak membenci. Kau mengajarkan untuk membenci. Kau menyebarkan virus untuk membenci. Tak sadarkah kau apa akibatnya nanti? Kau akan melahirkan generasi yang saling membenci, saling mencurigai, lalu rasa aman itu tak akan ada lagi. Jika sudah begini, apa sebenarnya maumu, aku tak tahu lagi.

“Nah, apa kubilang? Harga BBM naik lagi, kan? Dasar pemimpin dzalim!”

Ah, sudahlah. Aku tak tahan lagi.

“Tak lelahkah kau membenci?” tanyaku akhirnya.

Kau diam. Raut wajahmu berubah. Sepertinya tak suka aku menyela.

“Siapa yang membenci?” tanyamu kemudian. “Aku tak sedang membenci. Aku membicarakan fakta.”

“Maaf. Aku tak tahan lagi.” Aku berdiri.

“Hei, kau dengar aku dulu!” teriakmu. “Kau bicara apa sebenarnya? Kebencian apa? Ini kenyataan, Teman. Pemimpin negeri ini memang seperti ini. Dzalim. Tak punya hati. Lebih parahnya, dia itu dikendalikan oleh bla bla bla bla bla…..”

Ah, sudahlah. Sebaiknya memang aku melangkah pergi. Aku lelah mendengarmu membenci. Aku tak ingin menjadi pembenci. Aku tahu, jika aku tak segera pergi, akan dengan mudah kepala dan hatiku disusupi benci lalu aku akan berakhir sama denganmu, menjadi seorang pembenci.

Komentar

arigetas mengatakan…
Hm.. ditunggu lanjutane Te Fin..

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Belum Adzan

Hidup dari Jendela Bus