Bukan Saya!
photo source: www.govloop.com |
“Dek, tolong itu gelas plastiknya dibuang di tempat sampah,” katanya,
seorang wanita, dengan lembut pada anak perempuannya.
“Nggak mau. Orang bukan gelas bekas minumku!” Anak kecil itu tidak
bergerak dari tempatnya berdiri.
“Iya, mama tahu. Tapi katanya adik cinta sama Alloh? Berarti harus
cinta juga dong sama alam, sama ciptaan Alloh?”
Entah dengan setengah hati atau tidak, anak kecil itu akhirnya memungut
gelas plastik yang tergeletak tepat di dekat kakinya itu, lalu membawanya ke
tempat sampah.
“Nah itu bisa. Anak sholeh, anak pinter.” Wanita itu mengacak rambut
anaknya lalu bergegas mengajaknya beranjak.
Saya masih duduk di sini, masih mengamati keduanya yang melangkah
menjauh. Saya masih saja mengamati mereka dengan kepala yang dipenuhi suara
desingan, lompatan pikiran tentang apa yang baru saja saya lihat dan
membandingkannya dengan apa yang telah selalu saya lihat sebelumnya.
Bukan saya. Entah sudah berapa ribu kali dalam hidup ini, saya
mendengar dua kata itu. Dua kata pembelaan, yang menunjukkan sifat manusia yang
begitu tidak maunya disalahkan, begitu susahnya untuk bertanggung jawab, atau
paling tidak hanya sekedar untuk ikut peduli.
Contoh yang paling mudah saja, masalah sampah. Hampir mirip dengan apa
yang baru saja saya ceritakan di atas. Ketika ada sampah berserakan, kebanyakan
dari kita hanya mendiamkannya, enggan untuk mengambil dan membuangnya di tempat
sampah, tempat yang seharusnya. Alasannya simpel: bukan saya. Bukan saya yang
membuang sampah itu, mengapa pula harus saya yang membersihkannya? Padahal ketika
nanti sampah menumpuk banyak, mulai berbau, lalu muncul penyakit, semuanya
mengeluh. Padahal, pada akhirnya, tetap semuanya akan terkena dampaknya. Tapi,tetap
saja bukan saya.
Lebih menyedihkan lagi, ini tidak hanya terjadi pada satu masalah itu.
Ini terjadi pada hampir setiap masalah. Daerah ini terkena asap, bukan saya.
Daerah ini terkena banjir, bukan saya. Di daerah ini angka penyakit X tinggi,
bukan saya. Angka kecelakaan lalu lintas tinggi, bukan saya. Tak pernah mau
peduli, tak pernah mau ikut andil untuk menyelesaikan masalah atau mencegah
suatu masalah, tapi jika nanti terkena getahnya, mengeluh, lantas mencari
kambing hitam, menyalahkan pihak ini itu.
Eh, tapi ini kasusnya berbeda loh dengan kondisi di mana ada seorang
yang ketika dikeluhi masalah kemudian mengatakan “bukan urusan saya”. Tidak,
saya tidak bermaksud membela beliau. Tetapi, memang ketika kita menemukan suatu
masalah, kita selalu dianjurkan untuk bertanya kepada orang yang paham. Mungkin
beliau menganggap bahwa dirinya bukan orang yang benar-benar paham dengan
masalah tersebut, dan ada orang lain yang lebih paham dan dapat menyelesaikan
masalah tersebut.
Kembali ke masalah awal. Jika mengingat ini, saya jadi merasa trenyuh.
Saya ikut berduka untuk Tuhan karena seolah Dia memberikan otak dan hati, akal
pikiran dan rasa, kepada manusia dengan sia-sia. Para manusianya tidak mau
menggunakannya. Artinya iblis sudah cukup berhasil membisiki hati mereka,
merasuki otak mereka untuk tidak peduli, untuk tak ada rasa. Lalu, …. ah, saya
tidak sanggup lagi membayangkan apa yang terjadi nanti. Yah walaupun, saya
percaya, masih ada juga manusia yang memiliki akal dan rasa, yang menggunakannya
dengan cara yang benar. Namun saya juga tahu bahwa jumlahnya tidak seberapa
jika dibandingkan dengan yang tidak memiliki, tidak menggunakan keduanya. Tapi
tetap saja, saya tidak berani membayangkan bagaimana ke depannya. Bagaimana
jika nanti sampai…. ah, tak tahulah. Toh apa pun yang nanti terjadi, itu bukan
saya!
Komentar