Nurani



hdwallpapers.cat




Berkali-kali aku menghela napas, berusaha melepaskan kekesalan yang tiba-tiba menyesaki dadaku. Ya, aku kesal. Aku kesal menatapi orang-orang itu berjalan berlenggak-lenggok seolah tanpa beban dan tertawa bahagia seolah apa yang mereka lakukan itu benar. Aku kesal mereka masih saja bisa tertawa terbahak-bahak seolah tidak melakukan kesalahan apa-apa dan seolah orang-orang tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Lebih menyesakkan lagi, orang-orang yang sudah tahu semua kebusukan mereka, tetap saja tersenyum dan menundukkan badannya di hadapan mereka. Padahal aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri bagaimana orang-orang itu selalu meledakkan kekesalannya di belakang para penjahat itu. Ah, memang munafik.

Dengan cepat aku berdiri dan melangkah meninggalkan ruang rapat. Aku sudah terlalu kesal, terlalu muak dengan semua tingkah polah mereka. Aku berjalan cepat ke arah balkon yang ada di bagian belakang gedung tempatku mengikuti rapat evaluasi tahunan. Aku lantas bersandar ke dinding, membiarkan kedua mataku menikmati hamparan kota yang dipagari oleh gunung dan laut yang sekarang ini membentang di hadapanku.

“Tuhan, boleh tidak aku bilang aku lelah? Tidak, aku tidak ingin apa-apa. Aku tidak ingin meminta macam-macam padaMu. Aku hanya ingin mengatakan saja bahwa aku lelah. Aku hanya ingin mengeluh saja padaMu. Boleh kan, Tuhan?” kataku pelan seraya menarik turun tubuhku, mulai berjongkok dengan punggung masih bersandar pada dinding.

“Aku heran, Tuhan. Aku benar-benar heran. Bisa-bisanya mereka selalu menyalahkan orang lain atas semua kegagalan yang sebenarnya adalah kesalahan mereka? Aku lebih heran lagi ketika semua kesalahan itu terungkap, mereka masih saja terus mengelak. Mereka bahkan masih bisa tertawa sekeras itu. Aku benar-benar tidak habis pikir. Aku tidak habis pikir Kamu membiarkan semua itu, membiarkan mereka bertindak sesuka hati mereka, melakukan dosa, menuduh orang lain tanpa alasan, mencuri, menyakiti orang lain dengan kata-kata mereka. Aku tidak habis pikir mengapa Kamu masih saja membiarkan mereka tertawa bahagia seolah tanpa beban seperti itu?” Aku menghela napas.

“Tuhan, mereka bisa berbuat sesuka hati mereka. Mereka bisa mencuri, mengatakan semua hal yang menyakiti orang-orang di sekitarnya, menyebarkan kebohongan, menuduh orang lain tanpa bukti, memfitnah, membuka aib orang di depan umum, tapi mereka tetap bisa tertawa lepas tanpa beban. Mereka nampak bahagia dengan semua itu. Kamu bahkan membiarkan mereka melakukan semua itu. Tuhan, jika mereka bisa, tentunya aku juga bisa kan? Aku juga ingin bahagia seperti mereka, Tuhan. Aku ingin berbuat sesuka hatiku dan tidak terbebani dengan apapun seperti mereka. Aku ikuti jalan mereka saja ya, Tuhan?” Aku menengadahkan kepala, menatap langit luas yang siang ini begitu biru.

Jangan!

Suara itu lumayan mengagetkanku. Tuhankah yang berbicara padaku? Ah, tidak mungkin. Memangnya aku ini siapa sampai Tuhan mau berbicara padaku sejelas itu.

Lakukan saja. Sudahlah. Jangan kamu hiraukan suara-suara itu. Cepat, lakukan saja jika kamu yakin itu akan membawamu pada bahagiamu.

Kali ini aku mendengar suara lain di dalam kepalaku. Begitu jelas, begitu menggoda. Sebuah lampu hijau yang merekahkan senyuman di wajahku.

Jangan. Bahagia mereka itu semu. Bersabarlah sedikit lagi.

Keningku kali ini berkerut. Suara lembut yang tadi kembali datang dan mendengung di dalam kepalaku. Membuatku urung mengikuti jalan mereka. Membuatku kembali berpikir betapa berat beban yang nanti akan aku tanggung jika aku mengikuti jalan itu. Tapi aku ingin bahagia seperti mereka juga.

Ah, peduli setan! Bukankah selama ini kamu sudah cukup bersabar? Lantas apa yang kamu dapatkan dari kesabaranmu itu?

Ah, suara itu lagi. Kali ini dia benar. Aku sudah cukup bersabar. Aku sudah lama sekali bersabar menunggu mereka untuk sadar. Aku sudah terlalu lama bersabar dalam ketidakbahagiaanku ini. Apa yang sudah kudapatkan? Tidak ada! Mereka tetap saja mencuri dan meyakiti orang lain. Tapi tetap saja mereka yang bahagia, bukan aku.

Jangan. Bukan sabar namanya jika masih ada batasnya. Bersabarlah sebentar lagi. Ada kebahagiaan yang lebih hakiki menanti. Bersabarlah. Sedikit lagi.

Sial. Suara lembut itu terdengar lagi, membuatku berpikir lagi. Ya, aku tahu surga itu ada dan pastinya bukan untuk mereka. Aku tahu surga itu berarti bahagia. Surga, yang selama ini aku kejar dengan hati yang selalu tersakiti dan berdarah-darah seperti ini. Masihkah aku bisa bersabar? Harus berapa lama lagi aku bersabar? Aku hanya ingin merasakan bahagia. Sebentar saja. Tidak bisakah?

Sudahlah. Apa lagi yang kamu takutkan? Untuk sekali ini saja, lakukan…. Cepat! Setelah ini kamu bisa bertaubat. Bukankah Tuhanmu maha pengampun?

Iya. Bukankah Tuhan itu Maha Pengampun? Jadi, bukannya tidak akan apa-apa aku melangkah di jalan mereka sebentar saja, hanya untuk sekedar mengecap bahagia yang mereka rasakan? Sebentar saja. Lalu aku akan pulang ke jalanMu dan memohon ampunanMu yang Maha Pengampun. Bukannya Kamu menerima setiap taubat. Aku janji hanya sekali ini saja. Tidak akan apa-apa kan?

Ya, Dia maha Pengampun. Dia-pun Maha Penyanyang. Dia menyayangimu. Bagaimana denganmu? Sayangkah kamu pada-Nya? Tegakah kamu menyakiti Dia yang kamu sayangi?

Aku benar-benar tertohok kali ini. Kedua mataku tiba-tiba basah. Tuhan, apa yang sudah kupikirkan? Maafkan aku. Tidak, tidak. Aku tidak mau jalan itu. Aku tidak mau, Tuhan. Aku menyayangimu. Maafkan aku. Aku ikut denganMu saja.

“Astaghfirullohaladzim…” Aku menarik napas panjang.

Bersabarlah sebentar lagi saja. Perjuangan ke sana akan berat. Tapi aku akan selalu ada di sini menemanimu.

Ada senyuman yang kurasakan menghiasi wajahku. Sebelah tanganku masih berusaha menghapusi air mata penyesalan yang menetes. Aku percaya aku akan bisa melalui ini semua tanpa harus menjadi mereka.

“Terimakasih telah membiarkannya tetap hidup, Tuhan,” bisikku.

Aku menarik napas panjang, memasukkan sebanyak mungkin oksigen yang mampu aku hirup, kemudian berdiri dan melangkah masuk ke dalam ruang rapat dengan kepala tegak. Aku akan bisa menghadapi semua ini. Aku tidak ingin lagi menjadi seperti mereka, akan tetap menjadi aku yang punya diri. Aku masih mempunyai nurani. Tamat (Ternate, 07 September 2013)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

No Name dan Cinderella XXX

Hidup dari Jendela Bus

Belum Adzan