Vertigo
Tuhan, Kau sibuk hari ini? Pastinya ya? Bodoh memang aku
ini, menanyakan hal yang sudah kutahu pasti jawabannya. Tapi aku yakin, Kau ada
waktu buatku. Iya, kan?
Tuhan, aku kehilangan keseimbangan di hidupku. Rasanya
seperti vertigo saja. Hidupku tak lagi seimbang. Aku kehilangan motivasi. Yah,
tidak dalam segala hal tentunya, tapi sayangnya pada satu hal yang agak besar
nilainya: pekerjaan. Sudah hampir berbulan-bulan aku kehilangan motivasi
kerjaku. Aku tak lagi menemukan asyiknya berangkat kerja pagi dan berlama-lama
di kantor demi menyelesaikan pekerjaan. Aku tak lagi menemukan gairah untuk
segera menyelesaikan pekerjaanku, bahkan ketika tahu besok aku harus
mengerjakan yang lain lagi. Lebih parahnya, aku bahkan seolah tak lagi peduli
bahwa bekerja itu ibadah. Parah, kan? Tapi separah-parahnya itu semua, ada yang
paling parah. Aku merasa terputus dari-Mu. Ya, aku tahu Kau tak pernah menjauh.
Aku tahu, pastinya ini aku. Aku yang membuat diriku sendiri menjauh dari-Mu.
Tapi… entahlah.
Semalam aku bercerita pada temanku. Aku bilang padanya bahwa
aku merasa terputus dari-Mu. Pertanyaan pertamanya setelah aku bercerita
tentang rasaku adalah: “Semenjak kapan?”. Semenjak kapan. Hmm.. Awalnya aku tak
tahu pasti semenjak kapan aku merasa seperti ini. Tapi setelah kupikir-pikir
lagi, seperti sejak awal tahun ini, sejak dilakukan site visite akreditasi,
sejak aku tahu betapa busuknya pekerjaan beberapa orang. Sepertinya sejak saat
itu, sejak aku mulai muak dengan semuanya, dengan orang-orang yang tak bekerja
tapi ‘berhasil’ melaporkan hasil kerja. Hasil kerja dengkulan. Tapi mungkin
juga sebenarnya ini adalah hasil tumpukan kekecewaanku. Aku kecewa karena
orang-orang yang begitu penuh kepalsuan bisa melenggang dengan santainya dan
bahkan merasa memiliki hak untuk menunjuk-nunjuk orang lain dan menyatakan
mereka salah. Padahal orang-orang yang disalahkannya justru orang-orang yang
begitu lurus, yang mengikuti aturan, yang memperjuangkan kebaikan semua,
kebaikan tempat ini, masa depan para penerus bangsa ini. Tapi… entahlah.
Lalu semua yang sudah menumpuk itu diperparah oleh
kepergiannya. Dia, guruku, sahabatku, kakakku, orang yang hampir setiap kata
dan tindakannya telah selalu menjadi motivasiku. Orang yang mengajariku bagaimana
menjadi manusia yang lebih baik, yang lebih dekat dengan-Mu, yang mengajariku
bahwa tugas seorang guru itu mendidik, tak hanya mengajar. Dia mengajarkanku
bahwa tugas kami tak hanya sekedar menyampaikan materi di kelas, tak hanya
menyampaikan teori dan membuat mereka hafal dengan teori-teori itu, tak juga
hanya membuat mereka bisa melakukan suatu tindakan lewat pembelajaran praktika.
Tapi, kami harus mendidik, memberikan contoh tindakan nyata. Kata beliau,
ketika kita mengajar tentang etika, ya seharusnya kita bisa memberikan contoh
bagaimana beretika yang baik. Tak hanya itu. Beliau juga yang mengajariku bahwa
aturan itu dibuat bukan untuk dilanggar, tetapi untuk mengamankan diri kita
sendiri. Beliau yang mengajarkan padaku untuk selalu disiplin dan mengikuti
peraturan yang berlaku. Beliau yang mengajariku untuk memahami setiap peraturan
yang bersangkutan dengan hidup kami. Beliau yang membuatku selalu termotivasi
untuk itu semua, untuk mendidik anak-anak dengan pehamanan yang sama. Beliau
yang membuatku termotivasi untuk datang kerja tepat waktu, untuk bekerja dengan
benar agar tak perlu lagi kulaporkan kepalsuan, untuk memberikan contoh yang
baik kepada anak-anak. Tapi… entahlah.
Aku benar-benar kehilangan keseimbangan sekarang. Kuda-kudaku
goyah. Keseimbanganku hampir hilang seluruhnya. Pekerjaanku mulai berantakan.
Hampir semua yang seharusnya bisa langsung kuselesaikan, kutunda hingga entah
kapan. Lalu jam harianku ikut berantakan, benar-benar tak ada lagi semangat
untuk menjalani hari. Aku mulai membenci semuanya, hampir semua orang. Muak aku
pada mereka. Muak aku pada para manusia bermuka dua, pada para manusia yang
selalu mencari muka, pada para manusia yang begitu munafik; perkataan dan
perilakunya begitu bertolak belakang. Aku muak pada para pengambil keputusan,
para manusia yang berwenang yang menerapkan aturan secara berbeda. Standar
ganda kalau orang bilang. Padahal sebenarnya aku tak ingin membenci. Kau tahu
kan? Membenci itu membebani hati. Membenci itu memperparah ketidakseimbanganku.
Tapi…. entahlah.
Entahlah, Tuhan. Aku sedang tak paham dengan diriku sendiri.
Mungkin benar kata temanku malam itu. Kau cemburu. Kau cemburu karena aku
begitu mementingkan duniaku daripada dirimu. Kau cemburu karena aku begitu
bertopang pada guruku itu, hanya dia yang kujadikan motivator hidupku. Kau
cemburu karena aku melupakanMu. Jadi sekarang Kau menyuruhku pulang padaMu.
Sepertinya memang seperti itu. Maafkan aku. Aku pulang sekarang. Kau masih mau
memaafkanku? Menerimaku?
Komentar